Halaman

Budaya Pelalawan

SIENA ANDIKA/PBM/BI
Pelalawan merupakan salah satu daerah yang memiliki jejak sejarah kebudayaan Melayu yang cukup besar. Jejak kebudayaan ini ditinggalkan oleh kerajaan besar yang pernah menguasai wilayah ini, yaitu Kerajaan Pelalawan yang dahulunya berpusat di pinggiran sungai Kampar. Kerajaan Pelalawan merupakan pewaris dari Kerajaan Kampar. Dari nama Kerajaan Pelalawan inilah konon nama Kabupaten Pelalawan diambil. Kerajaan Pelalawan berdiri tahun 1725 dan mulai terkenal pada masa pemerintahan Sultan Syed Abdurrahmman yang bergelar Assyaidis Syarif Abdurrahman Fachrudin yang memerintah pada tahun 1811–1822. Kerajaan Pelalawan terakhir diperintah oleh seorang penguasa yang bernama Tengku Said Haroen yang bergelar Assyaidis Syarif Haroen bin Hasyim Fachrudin Tengku Besar Kerajaan Pelalawan, yang memerintah pada tahun 1940–1945. Rakyat kerajaan Pelalawan waktu itu konon adalah orang-orang Melayu yang terbagi dalam dua wilayah adat, yaitu masyarakat Adat Melayu Pesisir dan Masyarakat Adat Melayu Petalangan. Masyarakat inilah yang saat ini mayoritas menjadi penduduk Kabupaten Pelalawan. Dan seiring dengan perkembangan daerah ini, penduduk Pelalawan saat ini sudah sangat beragam.

Kabupaten Pelalawan merupakan salah satu Kabupaten yang baru dimekarkan di wilayah Propinsi Riau pada tanggal 12 Oktober 1999. Sebelumnya, Kabupaten Pelalawan menjadi satu dengan Kabupaten Kampar. Saat ini, Kabupaten Pelalawan memiliki luas wilayah lebih kurang 12.490,42 km² yang meliputi dua belas kecamatan, yakni Kecamatan Pangkalan Kerinci, Kecamatan Langgam, Kecamatan Pangkalan Kuras, Kecamatan Pelalawan, Kecamatan Bunut, Kecamatan Ukui, Kecamatan Pangkalan Lesung, Kecamatan Kerumutan, Kecamatan Teluk Meranti, Kecamatan Kuala Kampar Kecamatan Bandar Sikijang, dan Kecamatan Bandar Petalangan. Dengan wilayah yang begitu luas, Pelalawan memiliki kekayaan budaya maupun alam yang melimpah, mulai dari istilah, permainan rakyat, peralatan tradisional, hingga berbagai macam tumbuhan dan hewan. Kekayaan tersebut hingga kini masih cukup terjaga dan dikelola oleh pemerintah kabupaten dan bekerjasama dengan dinas pariwisata.  Salah satu daerah yang masih terjaga adalah taman suaka marga satwa Kerumutan. Taman ini terletak di Desa Kerumutan.
Selain kekayaan hutan, Pelalawan juga kaya dengan berbagai adat dan kesenian. Hal ini dapat terlihat dengan masih adanya pemberian gelar pembesar maupun penobatan-penobatan lain yang merupakan warisan dari upacara yang dilaksanakan oleh sultan-sultan terdahulu. Berbagai aktivitas kesenian juga tumbuh dan tetap dilestarikan di kalangan masyarakat. Salah satu hasil karya sastra Pelalawan adalah Nyanyi Panjang.
 Pertunjukan Nyanyi Panjang
Pertunjukan Nyanyi Panjang merupakan bagian yang penting dalam melestarikan tradisi Nyanyi Panjang itu sendiri. Nani Tuloli (1994:6) dalam Shomary (2004) menyatakan bahwa "Penampilan atau penceritaan merupakan kesempatan untuk mempertahankan, menyebarluaskan, dan meneruskan sastra lisan. Tanpa penampilan, maka sastra lisan akan dilupakan orang atau tidak berwujud".
Pentingnya sebuah pertunjukan membuat tradisi Nyanyi Panjang dimasukkan ke dalam beberapa agenda pesta adat, seperti acara perkawinan. Dalam suatu acara perkawinan, Nyanyi Panjang ditampilkan antara lima sampai tujuh jam, dari pukul 21.00 – 03.00. Secara umum pertunjukan Nyanyi Panjang ditampilkan antara pukul 20.30 – 04.00. Ketika pertunjukan akan dimulai, tukang Nyanyi Panjang menempati tempat yang telah disediakan oleh pihak tuan rumah yang menyelenggarakan acara. Tempat duduk orang yang menyanyikan Nyanyi Panjang biasanya berupa bantal kecil atau tikar biasa. Sebelum mulai pertunjukan, tukang Nyanyi Panjang meminta izin terlebih dahulu kepada tuan rumah dan hadirin dalam tutur bahasa yang biasa. Setelah itu dilanjutkan dengan melantunkan pantun bebalam. Selesai melantunkan pantun bebalam, tukang Nyanyi Panjang kemudian mulai bercerita (Nyanyi Panjang).
Suasana pertunjukan dalam Nyanyi Panjang sangat tergantung dari jalannya cerita yang dikisahkan oleh tukang Nyanyi Panjang. Untuk lebih menyemarakkan suasana dan menambah semangat tukang Nyanyi Panjang, pada bagian tertentu biasanya khalayak akan menyahut dengan kata-kata tertentu, seperti a a, hu hu, kurrih, itu dia, lantaklah, dan lain-lain. Suasana semakin meriah apabila sahutan tadi disambut oleh tukang Nyanyi Panjang dengan intonasi yang semakin tinggi. Hal ini menandakan bahwa makna cerita diterima dengan baik oleh hadirin.
Pada bagian-bagian tertentu dari cerita, tukang Nyanyi Panjang akan melakukan jeda sejenak. Untuk mengisi kekosongan, tukang Nyanyi Panjang mengisinya dengan berbagai bualan yang biasanya tentang pekerjaan dan kehidupan sehari-hari. Jeda ini juga dimanfaatkan untuk minum, merokok, dan menikmati hidangan yang telah disediakan oleh tuan rumah. Setelah jeda sekitar 15-30 menit, cerita dilanjutkan kembali. Setiap babak memerlukan waktu sekitar 20-45 menit, sampai cerita tersebut berakhir (Shomari, 2004:59 dan 62).    
 Dalam tradisi orang Petalangan, Nyanyi Panjang tidak dibacakan dengan nada monoton, melainkan disenandungkan menurut satu lagu. Tukang Nyanyi Panjang boleh memilih salah satu di antara dua lagu, Indang Padonai atau Indang Padodo, bahkan boleh beralih dari satu lagu kepada yang lain. Akan tetapi kebanyakan para tukang Nyanyi Panjang  hanya memakai salah satu lagu, yaitu Indang Padonai (Tenas Effendy, 1997:9). 
Dalam proses menceritakan Nyanyi Panjang, khususnya jenis Nyanyi Panjang Tambo, secara umum terkandung pembabakan kandungan isi ke dalam beberapa bagian, yaitu:
·     Asal-usul tokoh utamanya yang dianggap sebagai nenek moyang suku yang bersangkutan
Diceritakan juga tentang profil tokoh utama yang meliputi orang tua si tokoh (bapak dan ibu), keluarga, negeri asal, kemudian dilanjutkan dengan cerita si tokoh utama sampai kepada keturunannya, setidaknya sampai si tokoh menetap di suatu wilayah dan membuka Hutan Tanah Wilayat.
·     Asal-usul Hutan Tanah Wilayat
Diceritakan bagaimana si tokoh mendapatkan Hutan Tanah Wilayat tersebut, upaya yang dilakukan dalam memperoleh Hutan Tanah Wilayat (hasil usaha sendiri atau pemberian orang lain), lokasi Hutan Tanah Wilayat, nama asal tempat Hutan Tanah Wilayat, dan sebagainya.
·     Tunjuk ajar
Yaitu pengungkapan petuah, amanat, hukum adat, dan berbagai ketentuan yang berlaku dalam masyarakat, yang sarat dengan pesan-pesan moral yang diwariskan secara turun-temurun.
·     Lain-lain
Yaitu berisi tentang berbagai hal sebagai pelengkap cerita sebagaimana biasanya sastra lisan ini diceritakan, termasuk ungkapan-ungkapan baku mengenai rimba, keadaan siang hari atau malam hari, kecantikan gadis atau ketampanan pemuda, dan sebagainya.
·     Penutup
Seperti akhir cerita pada kebanyakan cerita Nyanyi Panjang Tombo selalu diakhiri dengan kebahagiaan. Si Tokoh selalu berhasil mencapai cita-citanya, menjadi raja, orang besar, atau orang sakti, serta berhasil pula mendapatkan kawasan tertentu untuk Hutan Tanah Wilayatnya. Tokoh yang berhasil inilah yang kemudian dianggap sebagai nenek moyang suku, diagungkan, dan dibesarkan secara turun-temurun. Semakin tinggi kedudukan tokoh yang dianggap nenek-moyang tersebut, berarti semakin tinggi pula kebanggaan mereka.
Di dalam pelaksanaannya, pertunjukan Nyanyi Panjang didahului dengan menyanyikan pantun pembuka yang sering disebut dengan pantun bebalam. Berikut ini contoh dari lirik pantun bebalam model lagu Indang Padonai :
 Indai donai...
 Indai donai...
 Aaii..............
 Aaii..............
 Buah lakom di dalam somak
 Buah lakom di dalam semak
 Pada seumpun ditimpo bonto
 Padi serumpun ditimpo bento
 Salamualaikum kepado sanak
 Assalamualaikum kepada sanak
 Kami bepantun membukak ceito
 Kami berpantun membuka cerita
 ................................
 …………………………..
 Indang donai...
 Indang donai...
 Aaii.................
 Aaii.................
 Untuk apo mumasang pelito
 Untuk apa memasang pelita
 Untuk penoang uang di balai
 Untuk penerang orang di balai
 Untuk apo mungonang ceito
 Untuk apa mengenang cerita
 Untuk pogangan uang nan amai
 Untuk pegangan orang yang ramai
 .......dan seterusnya.
 .......dan seterusnya.
·  Nilai Budaya
Sebagai suatu pertunjukkan Melayu yang berfungsi sebagai media pendidikan dan pengajaran bagi masyarakatnya, cerita-cerita dalam Nyanyi Panjang mengandung berbagai unsur pemikiran dan nilai-nilai yang bermanfaat dalam kehidupan. Sebelum adanya bentuk sekolah formal, pertunjukkan Nyanyi Panjang merupakan "sekolah terbuka" bagi masyarakatnya. Oleh ketua dan para tetua adat Petalangan, melalui cerita-cerita itu disampaikan berbagai pemikiran dan nilai-nilai kepada masyarakatnya. Penyampaiannya dilakukan secara informal, akrab, dalam bentuk hiburan . Pewarisan tombo pada suku sangat dimungkinkan dengan cara menceritakan lewat seni pertunjukan Nyanyi Panjang. Cerita tombo yang merupakan identitas dari suatu suku secara otomatis terlestarikan dengan digelarnya pertunjukan Nyanyi Panjang. Cerita yang diulang-ulang, bahkan digelar tidak hanya di suku yang sama, akan semakin membuat nilai budaya yang dimiliki oleh suatu suku tertentu menjadi lestari.
7. Kesimpulan
Nyanyi Panjang merupakan warisan budaya bagi masyarakat Petalangan. Nyanyi Panjang bukan semata-mata seni pertunjukan biasa, tetapi juga wujud tradisi yang banyak memuat pesan moral seperti tunjuk ajar, yang dipakai sebagai media untuk melestarikan Hutan Tanah Wilayat, bahkan suatu identitas suku tertentu.
Setiap Nyanyi Panjang (khususnya jenis Nyanyi Panjang Tombo) dilengkapi dengan amanat, petuah, dan nasehat yang tidak saja berkaitan dengan pelestarian Hutan Tanah wilayat, tetapi mengandung  pesan moral yang berisi nilai-nilai luhur kebudayaan dan norma-norma sosial masyarakat. Itulah sebabnya dalam ungkapan dikatakan bahwa "di dalam tombo banyak yang bersua", atau juga "kalau hendak mengenal bangsa, lihat kepada tombo-nya" (Effendy, 1997:43).
Nyanyi Panjang berisi antara lain tentang asal-usul suatu suku tertentu dan tentang pembukaan Hutan Tanah Wilayat. Melestarikan Nyanyi Panjang berarti pula mengajarkan kepada generasi penerus di Petalangan untuk menjaga Hutan Tanah wilayat mereka. Nyanyi Panjang merupakan media alami untuk mengajarkan bagaimana pesan moral disampaikan lewat bahasa sastra lisan.Dikarenakan Nyanyi Panjang ini begitu unik, bahkan sampai mendapatkan rekor muri.

Daftar Pustaka
Shomary, Sudirman, 2004. Nyanyi Panjang orang Petalangan Kabupaten Pelalawan. Pekanbaru: UIR Press.
Effendy, Tenas et.al., tt. Dari Pekantua ke Pelalawan. Riau: Penerbitan Buku Sejarah Pelalawan.


No comments:

Post a Comment