Halaman

Sejarah PRRI di Sumatera tengah

Ainun syarifatul alfiah/SI V

Selama awal tahun 1958, Dewan Perjuangan melalui anggota sipil maupun militer berusaha mendekati pihak-pihak Jakarta yang bersimpati kepada mereka untuk merumuskan gagasan reshufle (perubahan) Kabinet Djuanda. Namun tampaknya keadaan di Jakarta sudah tampak berubah. Banyak kawan mereka baik sipil maupun militer, tidak lagi berani bicara karena diancam tangkap dan dipenjarakan.

1. Ultimatum dan Proklamasi Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
Setelah pintu perundingan nampaknya telah tertutup, akhirnya Achmad Husein atas nama Dewan Perjuangan mengeluarkan 'Piagam Perdjoeangan Menjelamatkan Negara Repoeblik Indonesia " yang ditujukan kepada pemerintah pusat yang dibacakan Kolonel Simbolon, hari Senin malam, 10 Februari 1958 dalam suatu pertemuan akbar di Gubernuran Padang.
Mukadimah Piagam Perjuangan itu kemudian dilengkapi dengan sebuah 'Ultimatum" yang berisi delapan butir tuntutan dan pernyataan Dewan Perjuangan kepada pemerintah pusat dan ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia. Kedelapan Ultimatum tersebut ialah :
1. Menuntut dalam waktu 5 X 24 jam sejak diumumkan, Kabinet Djuanda harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden, dan Presiden mencabut mandat tersebut;
2. Setelah tuntutan nomor (1) dilaksanakan, maka Hatta dan Hamengkubuwono ditunjuk untuk membentuk suatu Zaken Kabinet Nasional menurut ketentuan konstitusi, yang terdiri dari tokoh-tokoh yang sudah terkenal sebagai pemimpin-pemimpin yang jujur, cakap dan disegani serta bersih dari anasir-anasir anti Tuhan. Tugas utama Hatta-Hamengkubuwono adalah :
a. Menyelamatkan negara dari disintegrasi dan kekacauan, dengan kembali bekerja menurut UUDS, menunggu terbentuknya UUD baru oleh Konstituante.
b. Meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi pembangunan bangsa dan negara lahir dan bathin dengan arti yang sesungguhnya.
3. Diminta Hatta-Hamengkubuwono untuk tidak menolak.
4. Supaya DPR dan pimpinan rakyat yang cinta tanah air, memberi kesempatan kepada Hatta-Hamengkubuwono membentuk Zaken Kabinet Nasional yang diberi mandat untuk terus bekerja sampai pemilihan umum (pemilu) yang akan datang.
5. Supaya Presiden Soekarno bersedia kembali pada kedudukannya yang konstitusional dan memberikan kesempatan sepenuhnya dan memberikan bantuan kepada Zaken Kabinet Nasional sampai pelaksanaan pemilu yang akan datang.
6. Apabila tuntutan angka 1 dan 2 tidak terpenuhi, maka akan diambil kebijaksanaan sendiri .
7. Apabila tuntutan angka 1 dan 2 dilaksanakan oleh Presiden, tapi kemudian tuntutan pada angka 5 tidak dipenuhi oleh Presiden, atau apabila tuntutan angka 1 dan 2 dilaksanakan oleh Presiden, tetapi kemudian point 5 tidak dipenihi sejak saat itu, kami (Dewan Perjuangan) terbebas dari kewajiban taat kepada Dr. Ir. Soekarno sebagai Kepala Negara.
8. Supaya rakyat dapat menimbang sebebas-bebasnya kesucian perjuangan kami, Kabinet Djuanda untuk tidak menghalang-halangi penyebaran pengumuman ini.
Setelah Piagam Perjuangan selesai dibacakan dan ultimatum disampaikan di Padang. Sehari kemudian Pemerintah pusat (Kabinet Djuanda) langsung mengadakan sidang darurat Dewan Menteri. Pada tanggal 12 Februari 1958 pemerintah melalui radio dan media massa menjawab dengan dengan tegas ultimatum Achmad Husein dan mengeluarkan perintah pemecatan dengan tidak hormat sekaligus penangkapan terhadap Achmad Husein dan kawan-kawan di dalam Dewan Perjuangan.
Ketika Achmad Husein mengetahui bahwa pemerintah pusat menolak tuntutan yang diajukan lewat Piagam Perjuangan tersebut, ia sudah siap dengan tindakan berikutnya. Setelah batas waktu yang ditentukan habis, pada tanggal 15 Februari 1958 Achmad Husein mengumumkan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang. Proklamasi di Sumatera langsung disambut dengan dukungan penuh oleh Permesta di Sulawesi.
Setelah mengumumkan terbentuknya PRRI, Achmad Husein langsung membentuk susunan kabinet PRRI, Mr. Syafruddin Prawiranegara diangkat sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan, Kolonel Maludin Simbolon sebagai Menteri Luar Negeri, Kolonel Dahlan Djambek sebagai Menteri Dalam Negeri, Mr. Burhanuddin Harahap sebagai Menteri Pertahanan dan Kehakiman, Dr. Soemitro Djojohadikusumo sebagai Menteri Perdagangan dan Perhubungan, dan Mohammad Sjafe'i sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan merangkap sebagai Menteri Kesehatan.
Beberapa orang dari Permesta juga diikutsertakan dalam kabinet PRRI yaitu J F Warrouw sebagai Menteri Pembangunan dan Industri, Letkol Saleh Lahade sebagai Menteri Penerangan, Mochtar Lintang sebagai Menteri Agama, Gani Usman sebagai Menteri Sosial, Letkol H.N.V. Sumual sebagai Panglima Angkatan Darat.[1]
2. Pengaruh PRRI di Riau Daratan
 1. Pengaruh Terhadap Pemerintahan
Kemelut yang terjadi di Sumatera Tengah yang disebabkan oleh Dewan Banteng secara tidak langsung melibatkan daerah Riau yang pada saat itu berada dalam administrative Provinsi Sumatera Tengah, sehingga dampaknya cukup jelas terlihat pada perubahan system pemerintahan. Ada pun perubahan tersebut adalah :
a.        System pemerintahan sipil berubah menjadi pemerintahan militer, baik saat dikuasai Dewan Banteng maupun saat penumpasan gerakan pembangkangan oleh Dewan Banteng dengan PRRI-nya tersebut.

b.      Terpecahnya system pemerintahan daerah Riau, yaitu pemerintahan daerah Riau versi Dewan Banteng yang berkedudukan di Pekanbaru dan pemerintahan daerah Riau versi pemerintahan pusat yang dikonsentrasikan di Tanjungpinang. Seperti diungkapkan Muchtar Lutfi berikut :" Dengan tegangnya suasana di Sumatera Tengah dimana pemerintah telah diambil alih oleh golongan militer yang menyebut dirinya Dewan Banteng, maka daerah komando daerah militer Sumatera Tengah yang dipegang oleh Letnan Kolonel Ahmad Hussein telah mendominir seluruh Riau Daratan, Kepulauan Riau terlepas dari jangkauan mereka.

c.       System pemerintah menjadi semberaut akibat Riau Daratan telah dikuasai oleh kelompok militer Dewan Banteng. Dominasi Dewan Banteng secara langsung membuat hierarki pemerintah Riau menjadi kacau.


d.       Kemelut yang terjadi membuat semakin kuatnya keinginan masyarakat Riau untuk membentuk provinsi sendiri.

2. Pengaruh Terhadap Perekonomian
System pemerintahan militer bentukan Dewan Banteng yang totaliter membuat semua lapangan hidup dan kehidupan masyarakat dikuasai begitu juga halnya dengan perekonomian. Sungai Siak yang sudah sejak lam menjadi pintu keluar masuknya barang tak luput dari penguasaan militer. Para perwira PRRI melakukan perdagangan barter guna memenuhi kebutuhan prajuritnya. Dengan terlibatnya para perwira tersebut dalam kegiatan perekonomian maka praktis ekonomi masyarakat yang ada di Pekanbaru seluruhnya dikuasai oleh Dewan Banteng.
Ekonomi masyarakat mengalami kemajuan karena hasil alam mereka seperti karet dan lainnya ditampung oleh perwira tersebut untuk dijual keluar negeri. Dalam kegiatan perdagangan ini mereka terbebas dari bea, karena jalur perdagangan mereka kuasai secara mutlak, perdagangan semakin lancer sehingga perekonomian masyarakat cukup baik di Sumatera Tengah, sedangkan bagi perwira-perwira itu transaksi yang mereka lakukan menghasilkan keuntungan yang cukup besar.
Namun saat dan setelah pemerintah pusat melancarkan Operasi Tegas guna membebaskan Riau Daratan dari kengkraman Dewan Banteng praktis kegiatan ekonomi menjadi terhenti karena blockade pasukan dari pusat, perekonomian terasa sangat sulit. Kesulitan ekonomi itu dirasakan selama sepuluh hari pelaksanaan Operasi Tegas, karena pasar-pasar dan kedai-kedai menghentikan aktivitasnya, namun lain halnya dengan pegawai negeri mereka tidak merasakan kesulitan itu karena selama pergolakan tersebut perekonomian mereka stabil dan mendapat fasilitas yang cukup.
3. Penumpasan PRRI di Riau Daratan
Pada tanggal 5 Maret 1958, Kaharuddin Nasution mulai menginjakkan kaki di Riau, 7 hari sebelum hari H (12 Maret) memulai operasi, saat memimpin pelaksanaan Operasi Tegas yang telah dipersiapkan di Tanjungpinang, untuk menumpas gerakan separatis Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang merongrong kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Moh Hatta atas nama bangsa Indonesia."Pemerintah kemudian menjawab segala aksi pembangkangan dengan sikap tegas. Letnan Kolonel Kaharuddin Nasution ditetapkan sebagai komandan Operasi Tegas.
Riau merupakan salah satu daerah dikuasai oleh para pemberontak. Penunjukan daerah Riau Daratan sebagai pembuka pelaksanaan Operasi Militer sangat tepat, karena daerah yang kaya minyak tersebut terletak pinggir Selat Malaka yang sangat strategis. Pemerintah pusat merasa khawatir, jika daerah ini terlalu lama dikuasai, Riau bisa dimanfaatkan untuk memperkuat posisi para pemberontak, bila seandainya nanti terjadi proses tawar-menawar dalam mencari penyelesaian politik. Hal ini ditambah lagi dengan adanya desakan yang bernada ancaman dari Pemerintah Amerika Serikat, kalau keselamatan warganya tidak terjamin, maka pasukan marinirnya, United States Marine Corps (USMC) yang sedang berlabuh di pangkalan militer Inggris di Singapura akan ikut terjun campur tangan.
Untuk itu agar Pemerintah Indonesia dapat menjamin keselamatan warganya tersebut yang bekerja diperusahaan minyak California and Texas (Caltex) yang beroperasi di wilayah Riau Daratan. "Howar Palfrey Jones, Duta Besar Amerika Serikat yang baru saja diangkat, sehari sesudah tiba di Jakarta segera menemui Perdana Menteri Djuanda. Jones dengan didampingi oleh seorang pejabat tinggi perusahaan minyak Caltex, mendesak pemerintah Indonesia untuk secepatnya melindungi keselamatan jiwa dan investasi Amerika Serikat di Riau Daratan. Kedua tamu itu juga mengisyaratkan ancaman, jika pemerintah Indonesia memang tidak mampu untuk mengamankan wilayahnya, kesatuan militer Amerika Serikat terpaksa akan membantu menyelamatkan para warganya yang bekerja di tambang-tambang minyak di sana.[2]
Pada tanggal 12 Maret 1958 dini hari, akhirnya turun perintah dari KSAD AH Nasution untuk mulai menggelar operasi militer, setelah ada laporan observasi dari pesawat Catalina TNI-AU yang melihat sebuah pesawat terbang asing memasuki wilayah udara Riau. Sementara di landasan Simpang Tiga ada api-api unggun petunjuk arah, maka KSAD menyimpulkan bahwa pesawat asing itu sedang mengirim bahan-bahan kebutuhan para pemberontak.
Pasukan Kaharuddin Nasution terbagi dalam beberapa pasukan sub komando, yaitu pasukan Dongkrak dan pasukan Kangguru. Dua pasukan sub komando ini merupakan pasukan inti kesatuan Operasi Tegas. Tiap-tiap pasukan sub komando membawahi dua pasukan lagi. Pasukan Dongkrak membawahi pasukan Kalajengking dan pasukan Kancil, sedangkan pasukan Kangguru membawahi pasukan X-Ray dan pasukan Kuat.
Pasukan Dongkrak ditugaskan untuk menduduki wilayah lokasi ladang-ladang minyak di Dumai dan Sungai Pakning sebagai sasaran antara, dalam rangka menguasai daratan Riau agar bisa maju menuju ke Pekanbaru. Sementara pasukan Kangguru yang langsung dipimpin oleh Kaharuddin Nasution diterjunkan ke Landasan Udara Simpang Tiga, agar bisa segera menguasai Pekanbaru. "Letkol Kaharuddin Nasution, Komandan RPKAD (sekarang Kopassus), diterjunkan di pangkalan udara Simpang Tiga Pekanbaru bersama pasukannya untuk memulihkan keamanan di kawasan ini dari situasi perang saudara dengan PRRI.
Pasukan Dongkrak bergerak menembus hutan serta berjalan kaki menyusuri sungai untuk merebut Dumai dan Bengkalis dari tangan para Pemberontak PRRI. Pejalanan pasukan ini terasa cukup lambat, karena mereka harus terlebih dahulu mengatasi gangguan alam di sekitar sungai. Terlebih lagi jarak yang mereka tempuh terlalu jauh. Sehingga, pasukan tersebut baru berhasil mencapai daerah sekitar Pekanbaru pada tanggal 14 Maret 1958.
Sedangkan bagi pasukan Kangguru bisa segera tiba di Pekanbaru, karena pasukan ini diterbangkan dari Tanjungpinang dan langsung diterjunkan untuk bisa merebut Landasan Udara Simpang Tiga (Bandar Udara Sultan Syarif Kasim II sekarang) pada pagi hari tanggal 12 Maret 1958. Siang hari itu juga pasukan di bawah pimpinan Kaharuddin Nasution ini diluar dugaan dapat segera menguasai Pekanbaru, karena pasukan pemberontak tidak dapat memberikan perlawanan yang berarti dan melarikan diri ke hutan-hutan.
Sementara peralatan-peralatan militer yang canggih dan jumlahnya cukup banyak yang dipasok oleh pesawat asing tersebut untuk pemberontak terpaksa di tinggalkan dan lari menyelamatkan diri dari gempuran pasukan Kangguru. Tercatat tidak kurang dari 80 truk peralatan militer yang berserakan di pinggir Landasan Udara Simpang Tiga. Peralatan militer itu terdiri dari senapan laras panjang Gerand, Springfield, Recoilless dan Bazooka.
Setelah penyerbuan ke Simpang Tiga, hanya dalam waktu lebih kurang tujuh jam, Kaharuddin Nasution bersama pasukannya sudah berhasil membebaskan Simpang Tiga dan Pekanbaru. Usaha pembebasan kemudian dilanjutkan ke Bangkinang, Lipat Kain, Bagan Siapi-api, dan Pasir Pengaraian. Akhirnya dapat dibebaskan pada tanggal 19 Maret."Pasukan-pasukan TNI menguasai Pekanbaru di bawah Pimpinan Letnan Kolonel Kaharuddin Nasution dan Letnan Kolonel (U) Wiriadinata.
Setelah tempat-tempat tersebut di atas berhasil dibebaskan, kemudian pasukan penggempur terus bergerak maju ke sasaran lain seperti ke Rengat, Lirik, Air Molek, dan Lapangan Terbang Japura yang kemudian dapat dibebaskan tanggal 22 Maret. Sebelum dapat membebaskan Rengat pasukan APRI mendapat perlawanan dari dua kompi pasukan pemberontak yang melakukan taktik bumi hangus, namun dapat digagalkan.
Melihat kegagalan-kegagalan itu, para pimpinan pasukan pemberontak menarik mundur seluruh bala tentara-tentaranya dari Bangkinang dan mengkonsolidasikan kekuatan di Lubuk Jambi. Di daerah ini sangat baik untuk pertahanan karena keadaan alam yang berbukit-bukit disepanjang jalan ditambah lagi dengan lebarnya batang Kuantan, sehingga memungkinkan tentara-tentara PRRI membuat kubu-kubu pertahanan yang tangguh.
Hal ini tentu sangat menyulitkan Tentara APRI untuk menumpas Para pemberontak. "Garis pertahanan PRRI di Lubuk Jambi terletak di sepanjang Batang Kuantan yang memanjang dari Batang Antan (Kinali) ke Banjar Guntung dengan jarak lebih kurang 4 Km dan melebar sejauh 1 Km. Dalam areal ini dibuat kubu-kubu pertahanan menghadap ke seberang Batang Kuantan, di mana terletak jalan Lubuk Jambi-Taluk Kuantan. Untuk mendekati kubu pertahanan PRRI itu tidak mungkin, sebab dibatasi oleh Batang Kuantan selebar lebih 100 meter. Alat penyeberangan sudah mereka hancurkan.[3]
Dengan kenyataan yang demikian sangat tidak mungkin untuk menghancurkan kekuatan pemberontak dalam waktu singkat, terlebih lagi daerah di belakang garis pertahanan PRRI tersebut terdapat pegunungan yang memanjang sampai ke Bukit Barisan yang ditumbuhi hutan lebat sehingga tidak mungkin untuk menerjunkan pasukan tentara payung. Namun tekad pasukan APRI yang tidak mengenal kata tidak mungkin, terus berusaha untuk menembus pertahanan pemberontak yang amat rapat tersebut. Dengan berbekal semangat juang yang tinggi dan pengalaman serta keahlian berperang, maka pasukan Raider dan RPKAD terus bergerak maju walau terasa agak lambat. Pada tanggal 1 April 1958 kedua pasukan APRI ini menyiasati dengan serangan melambung ke daerah pertahanan pemberontak dengan menyeberangi Batang Kuantan bagian hilir dan hulu dari pertahanan tentara PRRI.
Pada tanggal 2 April pagi dilakukan pengepungan. Tetapi pengepungan ini tidak dapat sepenuhnya karena pertahanan pemberontak yang terlalu luas. Dengan gempuran yang bertubi-tubi dari darat dan dari udara akhirnya pertahanan tentara PRRI pun berantakan. Untuk mencegah lolosnya pemberontak yang melarikan diri, dilakukan pencegatan dari lambung kiri dan kanan. Pada saat pencegatan inilah terjadi perjuangan yang heroik yang dilakukan oleh komandan kompi A RPKAD, Kapten Fadillah. Kapten Fadillah menunjukan keberaniannya dengan tidak menghiraukan desingan peluru di kiri kanannya. Kapten Fadillah maju ke arah musuh dengan maksud untuk mencegah lebih banyak lagi pertumpahan darah dengan mengajak musuh menghentikan peperangan. Namun maksud ini dijawab oleh musuh dengan tembakan sehingga Kapten Fadillah gugur dan sempat mengucapkan "Selamat Berjuang".
Dengan gugurnya Kapten Fadillah ini membuat semangat tempur pasukan APRI menyala-nyala. Sehingga keesokan harinya tepatnya tanggal 3 April 1958 pertahanan pasukan PRRI dapat dilumpuhkan dan direbut. Dengan jatuhnya pertahanan pasukan PRRI di Lubuk Jambi maka secara kasat mata kekuatan PRRI di Daratan Riau sudah tidak ada lagi, tinggal dilakukan operasi pemulihan keamanan terhadap satu dua tentara PRRI yang berhasil melarikan diri ke hutan-hutan.[4]
Daftarv Pustaka :
2.      Syamdani. 2001. Kontroversi Sejarah di Indonesia. Jakarta: P.T. Gramedia Widiasarana Indonesia.
4.      G. Moedjanto, M.A, Drs. 1988. Indonesia Abad Ke 20 Dari Perang Kemerdekaan Pertama Kemerdekaan Pertama Sampai PELITA III. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

1 comment: