Halaman

PEMIKIRAN KI HADJAR DEWANTARA DALAM SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA


HASNIDAR/ A / SP

Perkembangan sebuah bangsa dapat dilihat dari perkembangan pendidikannya. Pendidikan merupakan dasar dari suatu bangsa untuk mengembangkan atau mengubah arah haluan negaranya yang sesuai dengan cita-cita bangsanya. Pendidikan menghasilkan sebuah pemikiran dan pandangan dari setiap individu, kecerdasan sosial maupun sikap dan pandangan ke depan setiap individu juga ditentukan oleh pendidikannya. Soewardi Soerjaningrat merupakan keturunan bangsawan yang mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan lebih baik.

1.      Latar Belakang Pendidikan Ki  Hadjar Dewantara                    
Salah satu dari banyaknya kaum terpelajar pribumi tersebut adalah Soewardi Soerjaningrat yang juga merupakan keturunan kaum bangsawan. Walaupun Soewardi Soerjaningrat merupakan keturunan bangsawan, namun tidak serta merta hidup dalam kecukupan ekonomi, terutama untuk pendidikan. Keterbatasan ekonomi yang menghimpit kehidupan keluarganya di masa kecilnya tidak menghambatnya untuk maju dan berkembang dalam hidup, sekolah, dan belajar. Sementara sesama ningrat lainnya bergembira ria setelah tamat dari sekolah dasar dan meneruskan jenjang yang lebih tinggi, pada 1904 beliau dilanda kebingungan untuk melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Ia tidak hanya bingung masalah biaya karena keluarganya tidak cukup berada dibandingkan dengan kerabat Pakualaman yang lain dan juga tentang mau ke mana melanjutkan sekolahnya. Hal ini juga berarti tidak semua kaum bangsawan dapat mampu mengenyam pendidikan dengan baik, tergantung dengan motivasi belajar dari kaum bangsawan itu sendiri. Sedangkan kaum pribumi banyak yang ingin bersekolah namun tidak dapat bersekolah. Akhirnya Soewardi Soerjaningrat memilih sekolah guru di Yogyakarta namun tidak sampai tamat, karena menyambut tawaran beasiswa di STOVIA yang ditawarkan oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo yang bertandang di Pakualaman. Namun di luar dugaan, beliau tidak berhasil menamatkan studinya di STOVIA dikarenakan sakit selama 4 bulan yang menyebabkan beliau tidak naik kelas yang hasilnya dicabut beasiswanya dan akhirnya beliau meninggalkan sekolahnya. Meskipun gagal naik kelas dan drop out dari STOVIA, ia terus berjuang untuk mewujudkan idealisme dan cita-citanya dengan terus belajar, menulis, dan aktif dalam berbagai organisasi politik. Pengalaman pahit di STOVIA tidak menyurutkan semangatnya untuk terus maju dalam banyak hal, dan ia tetap dikenal oleh gurunya sebagai sosok yang berkualitas dan cerdas yang akhirnya mendorong direktur STOVIA untuk mengeluarkan surat istimewa yang menjelaskan bakatnya itu untuk mencari pekerjaan. Sekolah yang telah ditempuhnya skala kurang lebih lima tahun (1905-1910) itu memang memberi bekal berarti baginya terutama dalam hal penguasaan bahasa Belanda. Cita-citanya setelah keluar dari sekolah Dokter Jawa tersebut dicakupkan dalam sebuah kalimat ringkas, "memperjuangkan kemerdekaan manusia Indonesia secara total dan radikal. Sambil bekerja, ia mulai aktif terjun ke bidang jurnalistik yang merupakan awal karier perjuangannya dan menjadi alat perjuangan politik selanjutnya, ia mengungkapkan ide-ide besarnya, cita-cita untuk bangsanya. Bidang jurnalistik dijadikannya sarana atau alat pendidikan politik bagi bangsa Indonesia. Keaktifannya dalam menulis  juga yang menghantarkannya pada persoalan internering Internering di negeri Belanda (1913-1919) malah memperkaya dirinya dengan wawasan tentang pendidikan, pengajaran, jurnalistik, dan drama, bahkan berhasil memperoleh Europeesche Akte. Pada 23 Februari 1928, Soewardi Soerjaningrat mengganti namanya yang lebih merakyat, yaitu Ki Hadjar Dewantara dan sejak itu pula tidak menggunakan gelar kebangsawanannya di depan namanya dengan maksud agar dapat bebas dekat dengan rakyat dan merupakan perwujudan kerendahan hatinya.
2.      Pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan Indonesia
Dalam dunia pendidikan dan pengajaran, ia bahkan berhasil memperoleh Europesche Akte. Pada tahun 1915, Soewardi Soerjaningrat berhasil memperoleh akte guru. Dia mempelajari pandangan-pandangan tokoh-tokoh besar dalam pendidikan seperti J.J. Rousseau, Rabindrant Tagore, John Dawey, Kerschensteiner, Dr. Frobel dan Dr. Montessori. Dua tokoh yang terakhir itu sepertinya yang paling memengaruhi konsep pendidikan Soewardi Soerjaningrat yang diterapkan dalam Taman Siswa. J.J. Rousseau mengembangkan pemikiran bahwa pendidikan dilakukan dengan menggunakan pendekatan alami yang disebut sebagai pendekatan naturalistik. Rabinfrant Tagore dan John Dawey mengungkapkan konsep pendidikan imajinasi naratif yang menekankan pentingnya pendidikan seni. George Kerschensteiner mengembangkan cita-cita pendidikan tujuan hidup manusia yang tertinggi adalah mengabdi kepada negara. Pendidikan menurut Frobel adalah apa yang memimpin atau menuntun manusia kepada kepandaian berpikir (segi kognitif dari manusia) dan apa yang menghantar manusia pada  kesadaran diri yang lebih mendalam menuju sesuatu yang murni, tidak tercela (segi afeksi dari manusia). Sedangkan Montessori berpendapat bahwa setiap anak berkehendak untuk mengaktualisasikan bakat yang ada pada dirinya. Ciri khas Perguruan Taman Siswa adalah memperlakukan anak (peserta didik) sebagai subjek pendidikan dan mengolah potensi-potensi mereka (intelektualitas, emosionalitas, sosialitas, dan spiritualitas) secara integratif. Sebagai embrio pendidikan Indonesia, Perguruan Taman Siswa boleh dipandang sebagai lembaga pendidikan pertama yang mengedepankan kekhasan nilai-nilai luhur dalam praksisnya yang menampilkan ciri khas bangsa Indonesia. Ki Hadjar Dewantara memandang pendidikan adalah pilar utama dalam pembangunan kesadaran manusia di Indonesia akan hak-haknya sebagai manusia. Dari sanalah kesadaran mereka sebagai sebuah bangsa terbentuk, bahwa bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang memiliki kebebasan dan dapat menegaskan eksistensi kemanusiaannya ceraca utuh dan penuh. Dalam perspektif itu, pendidikan adalah aktivitas pembentukan kesadaran akan pentingnya menjadi pribadi yang humanis dan bertanggung jawab terhadap eksistensi kemanusisaan sesama manusia.
Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan dan pengajaran adalah daya upaya yang disengaja secara terpadu dalam rangka memerdekakan aspek lahiriah dan batiniah manusia. Pengajaran adalah pendidikan dengan cara memberi ilmu atau pengetahuan dan memberi kecakapan, pengertian serta pelatihan kepandaian kepada anak-anak, yang dapat berfaedah buat hidup anak-anak, baik lahir maupun batin. Pengaruh pengajaran pada umumnya adalah memerdekakan manusia atas hidup lahirnya, sehingga ia menjadi pribadi pintar, cerdas, dan terampil. Sedangkan pendidikan adalah tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak yang menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Menurut Ki Hadjar Dewantara, orang yang memiliki kecerdasan budi pekerti adalah orang yang senantiasa memikir-mikirkan, merasa-rasakan dan selalu memakai ukuran, timbangan, dan dasar-dasar yang pasti dan tetap (dalam perkataan dan tindakannya) yang pantas dan terpuji terhadap sesama dan lingkungannya. Ketika budi (pikiran) dan pekerti (tenaga) seseorang bersatu, maka bersatu jualah gerak, pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauannya yang lalu menimbulkan tenaga kepadanya (untuk bertindak yang selaras dengan nilai-nilai dan menimbulkan relasi yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sosialnya). Kecerdasan budi pekerti berkat pendidikan mengantar seseorang pada kemerdekaan hidup batin yang sifatnya ada tiga macam, yakni berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain, dan dapat mengatur dirinya sendiri (menguasai diri). Berangkat dari keyakinan akan nilai-nilai tradisional, Ki Hadjar Dewantara yakin bahwa pendidikan yang khas Indonesia haruslah berdasarkan citra nilai kurtural Indonesia juga. Maka ia menerapkan tiga semboyan pendidikan yang menunjukkan kekhasan Indonesia, yakni pertama Ing Ngarsa Sung Tuladha, artinya seorang pendidik selalu berada di depan untuk memberi teladan; Ing Madya Mangun Karsa, artinya seorang pendidik selalu berada di tengah-tengah para muridnya dan terus-menerus memrakarsai/memotivasi peserta didiknya untuk berkarya, membangun niat, semangat, dan menumbuhkan ide-ide agar peserta didiknya produktif dalam berkarya; Tut Wuri Handayani, artinya seorang pendidik selalu mendukung dan menopang (mendorong) para muridnya berkarya ke arah yang benar bagu hidup masyarakat. Senada dengan ketiga semboyan pendidikan tersebut, metode pendidikan yang cocok untuk membentuk kepribadian generasi muda di Indonesia adalah sepadan dengan makna paedagogik, yakni Momong, Among, dan Ngemong, yang berarti bahwa pendidikan itu bersifat mengasuh. Pengajaran yang diberikan pada anak-anak di Taman Siswa dibagi dalam dua lapisan, yakni pertama, memberi pengetahuan atau kepandaian yang juga berpengaruh pada kemajuan batin (mendewasakan pikiran, rasa, dan kemauan); kedua, memberikan bekal pada anak-anak untuk hidupnya kelak dalam dunia pergaulan umum, yakni mata pelajaran yang meliputi bidang kultural dan kemasyarakatan. Pembagian tersebut menuntut peran pendidik dengan isi dan nilai yang berbeda-beda. Metode Ngemong, Momong, Among, dan semboyan Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani bukan berasal dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang terpisah, pendidikan bukan hanya masalah bagaimana membangun  budi (pikiran, kognisi) namun juga pekerti (tenaga) anak-anak Indonesia, agar mereka kelak mampu menjadi pemimpin-pemimpin bangsa yang meng-Indonesia (mencintai dan memiliki kekhasan Indonesia). Dalam menerapkan metode among, Ki Hadjar Dewantara menyampaikan pentingnya tritunggal fatwa pendidikan untuk hidup merdeka, yaitu pertama tetep, antep, dan mantep, artinya pendidikan adalah upaya terencana untuk membangun ketetapan pikiran dan batin subjek didik; kedua, membentuk mentalitas ngandel, kandel, kendel, dan bandel dalam diri subjek didik, artinya pendidikan menekankan pengolahan kematangan batiniah menumbuhkan rasa percaya diri (ngadel) dan membentuk pendirian yang teguh (kandel) pada subjek didik sehingga mereka menjadi pribadi-pribadi yang berani dan tawakal, tidak menyerah; ketiga, pendidikan dilaksanakan untuk membangun kondisi neng, ning, nung, dan nang dalam kesadaran peserta didik, artinya upaya mendidik membentuk kesucian pikiran dan kebatinan subjek didik (neng), ketenangan hati (ning), dan membuat mereka menguasai diri (nung), dan kemenagan (nang) atas ego diri yang cenderung pongah dan serakah. Terkait dengan upaya mengimplementasikan metode among dalam koridor ketika fatwa pendidikan tersebut, Ki Hadjar Dewantara mengajukan lima asas pendidikan yang dikenal dengan sebutan Pancadharma (kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan). Pendidikan mesti dilaksanakan untuk maksud pemeliharaan atas dasar perhatian yang besar kepada kebebasan anak untuk bertumbuh lahir batinnya sesuai dengan kodratnya; menjadikan manusia yang merdeka batin, pikiran dan tenaganya; menjadikan manusia makhluk yang berbudaya dan memelihara nilai-nilai dan bentuk-bentuk kebudayaan nasional; menjadikan seseorang harus merasa satu dengan bangsanya dan perasaan tersebut tidak boleh bertentangan dengan rasa kemanusiaan; serta persahabatan antar bangsa-bangsa.
Dalam Taman Siswa, sikap dan sifat hidup yang ditanamkan Ki Hadjar Dewantara ke dalam setiap anggota Taman Siswa sebagai dasar dan sikap perjuangan hidup mereka di tengah-tengah masyarakat adalah Trikon (kontinuitas, konsentrisitas, dan konvergensi). Kontinuitas (atau dasar kultural) terkait dengan kebudayaan yang selalu dinamis dan terbuka untuk nilai-nilai baru dari luar. Konsentrisitas (dasar nasional) terkait dengan alam hidup manusia yang diyakini sebagai hidup berbulatan (konsentris). Konvergensi (dasar kemasyarakatan) terkait dengan kehidupan yang selalu bertaut erat dengan kehidupan masyarakat yang lebih luas.


Daftar Pustaka
-          Y.B. Sudarmanto. 1992. 1000 Tahun Ki Hajar Dewantaara Bapak Penddidikan. Jakarta: pustaka Kartini.
-          Samho, Bartholomeus. 2013. Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara: tantangan dan Relevansi. Kanisius: Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment