Wijayanti
Afrika Timur adalah salah satu wilayah di Afrika yang pada awalnya hanya diperebutkan oleh Inggris dan Jerman. Persaingan yang cukup sengit antara Inggris dan Jerman telah diawali adanya kerjasama antara Inggris dengan Sultan Bargash dari Zanzibar yahun 1876. Inggris mampu menguasai beberapa daerah dan juga mendapatkan daerah seluas 400 mil di Zanzibar Utara. Sedangkan Jerman memulai usahanya dengan ekspedisi pada tahun 1884. Ekspedisi itu ternyata juga telah berhasil membuat kerjasama dengan penguasa-penguasa di Uganda, Nguru, Usugara dan Ukami, hingga keselatan Mozambique sampai Umba seluas 600 mil. Itulah sebabnya maka kemudia Jerman berniat pula untuk menguasai wilayah-wilayah sampai keperbatasan Kongo dan keutara sampai Sungai Nil. Disis lain ini jelas merupakan penghalang bagi Inggris yang juga mencita-citakan untuk menyatukan wilayah jajahan melalui jalur kereta api dari Cape Town sampai ke Kairo di Mesir.
Perjanjian demi perjanjian yang dilakukan bangsa Eropa untuk menghindarkan terjadinya konflik terus berlanjut. Tahun 1891 kembali Inggris mengadakan perjanjian, kali ini dengan Italia untuk menentukan batas-batas garis demarkasi antara keduanya (Inggris dan Italia) di Afrika Timur. Itali diperkenankan untuk memperluas wilayahnya sampai ke Ethopia hingga garis meridian 35 derajat lintang timur. Garis ini menempatkan Inggris sebagai penguasa Sudan, juga merupakan karidor yang menghubungkan Mesir dengan Uganda.
1. Latar belakang krisis Fashoda
Apabila Afrika bagian Selatan dan Timur merupakan tempat dimana Inggris mendapatkan saingan dari Jerman dalam mencari daerah-daerah pengaruh, maka di Mesir dan Maroko saingan Inggris yang terhebat adalah Prancis. Dari sinilah awal mulai benih-benih munculnya krisis Fashoda yaitu diawali oleh sengketa serta persaingan dua Negara imprealis (Inggris dan Prancis). Puncak sengketa antara dua Negara tersebut menimbulkan suatu krisis. Masing-masing memperebutkan daerah Fashoda di Sudan. Dengan memiliki Fashoda, dilembah Sungai Nil itu, yang kemudian juga diharapkan akan ditambah dengan penguasaan Ethopia, impian Negeri Prancis untuk membentuk suatu "Imperium Samudra ke Samudra" akan dapat terlaksanakan. Daerah Prancis di Afrika dengan demikian akan meluas melebar dari Samudra Atlantik ke Laut Merah, dari Laut Tengan ke Teluk Guinea.
Semua daerah di Afrika Utara Equator dengan beberapa pengecualian disana-sini, akan menjadi milik Prancis. Sebaliknya, dengan memiliki Sudan, maka cita-cita Inggris "from Cape to Cairo" juga akan tercapai. Oleh karena itu Inggris bermaksud untuk mengusahakan dengan keras agar Sudan dapat dikuasainya. Setelah berhasil mengatasi kemelur di Mesir, maka selanjutnya Inggris dengan menggunakan tangan Mesir memasuki Sudan (secara Historis Sudan milik Mesir). Pada ekspedisi pertama tidak berhasil dan Jendral Gordon mati terbunuh ditangan Mahdi tapi tahun 1885 pada ekspedisi berikutnya Sudan berhasil dikuasai. Gigihnya Inggris mendapatkan Sudan karena Sudan memiliki posisi yang sangat strategis juga sebagai penyangga Ethiopia dari Italia yang bagi Inggris berarti ancaman dari orang-orang Derwish yang bekerjasama dengan Ethopia. Inggris juga melakukan kerjasama dengan Italia (1891) dan Jerman (1893).
Dalam rangka mewujudkan cita-citanya, maka Prancis mengirimkan ekspedisi dibawah pimpinan J.B Marchand tahun 1896 dengan jumlah peserta 234 orang yang sebagian besar adalah penduduk bumi putera dan diperintahkan mengibarkan bendera Prancis di Sudan. Sementara itu mendengar ekspedisi Prancis maka Inggris pun mengirimkan ekspedisi pula dibawah pimpinan Kitchener. Tahun 1896 sudah mencapai Dongolo, terus keselatan, mencapai Atbata setelah berhasil mengalahkan kaum Darwish tahun 1898 dan menguasai Omdurman. Ketika pasukan Inggris tiba di Fashoda Kitchener mereka menemukan bendera Prancis telah berkibar. Sehingga terjadilah ketegangan antara dua pimpinan tersebut.
2. Ekspedisi Bangsa Inggris dan Prancis
Pemerintahan Inggris mengirim suatu ekspedisi, terdiri atas tentara gabungan Inggris Mesir ke Dongola, sebelah utara dari lengkungan Sungai Nil di Sudan. Ekspedisi ini bukan semata-mata untuk membalaskan dendam atas kematian Gordon, melainkan ada alasan-alasan lain terhadap Sudan yaitu:
1. Beberapa Negara Eropa dalam tahun-tahun sesudah 1880 menduduki bagian-bagian dari Sudan kuna yang kemudian daerah itu disebut Eritrea dan Somaliland. Dalam tahun-tahun sekitar 1890 mereka bersaing untuk mendapatkan daerah pengaruh diwilayah yang terkenal dengan nama Anglo-Egyptian Sudan.
2. Kekalah hebat diderita oleh orang Italia dalam pertempuran Adua (1896) melawan oarang Ethopia yang mengakibatkan batas sebelah selatan terancam oleh bahaya serangan orang Derwish. Menurut Italia, kaum Derwish ini bersekutu dengan orang Ethopia untuk bersama merebut Kassala yang dikuasai Italia. Oleh sebab itu, maka Italia meminta bantuan Inggris.
3. Politik Inggris terhadap Sudan adalah akibat pertumbuhan semangat imprealisme yang hebat di Inggris. Kepentingan utamanya adalah untuk penanaman modal kaum Kapitalis Inggris di Sudan.
4. Kemajuan Inggris ditanah Mesir memerlukan penguasaan daerah Sudan.
Untuk memperkuat diri didaerah lembah Sungai Nil, Inggris mengadakan perjanjian dengan Negara Imprealis lainnya seperti Italia (1891) dengan Jerman (1893) dan tahun berikutnya perjanjian diadakan dengan Congo Free State.
Dalam semua perjanjian, ketiga Negara mengakui bahwa Lembah Sungai Nil sebelah Selatan termasuk daerah pengaruh Inggris. Sebaliknya Inggris meminjamkan Enclave Lado kepada Raja Leopold dan memeberika kebebasan pada Italia untuk bertindak menguasai Kassala sampai sejauh Atbara.
Namun tahun 1894, Jerman juga mengadakan perjanjian dengan Prancis, sehingga kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh Prancis. Menteri Ribot dan Hanotaux memutuskan akan mengirimkansuatu ekspedisi dipimpin oleh Liotard dengan tugas menanamkan kekuasaan Prancis disekitar Bahr-el-Ghazal dan apabila mungkin kedaerah Nil namun Ekspedisi hanya mendapatkan hasil sedikit.
Februari 1896, Inggris juga mengirimkan ekspedisi dengan tujuan yang sama dan berangkat dari Afrika Timur, maka Liotard dipanggil kembali oleh pemerintahannya dan digantikan oleh Kapten J.B.Marchand. ia diberika pengikut kecil yaitu 213 orang Afrika dan 21 orang Prancis. Meski ekspedisi ini tidak bersifat militer, namun Marchand diperintahkan untuk mengibarkan bendera "Tricolore (bendera Prancis)" diwilayah Sudan. Prancis menganggap bahwa sejak Mesir melepaskan Sudan untuk Kaum Mahdi daerah tersebut merupakan daerah tak bertuan.
Pemerintah Inggris dan Mesir kembali ingin menguasai Sudan, namun karena alasan financial, Lord Cromer mulanya belum dapat menerima pengiriman ekspedisi kedaerah Sudan itu. Barulah ketika Lord Salisbury dan Chamberlain meyakinkannya, bahwa untuk menentukan nasib Sudan itu Prancis telah mengadakan hubungan dengan Negus Ethopia, maka Cromer mau menerima saran tersebut.
Februari 1896 Lord Kitchener seorang Sirdar (Kepala Komandan pasukan Inggris di Mesir), dikirim ke Selatan untuk memimpin ekspedisi Inggris-Mesir. September 1896, ekspedisi ini sudah mencapai Dongola. Kota ini dapat direbut tanpa pertemputan. Namun Dongola bukanlah tujuan akhirnya melainkan baru tahap pertama.
1897 Kitchener berangkat ke Selatan sambil memperpanjang pemasangan jalan kereta api. Tindakan ini merupakan sumbangan kepada realisasi proyek pembangunan jalan kereta api "Cape Cairo" yang diimpikan oleh Cecil Rhodes.
April 1898, ia bersama tentaranya mengalahkan kaum Derwish di Atbara. Serangan diteruskan ke Mahdi. Serangan diruskan ke Omdurman, salah satu benteng Kaum Mahdi. Setelah melakukan perlawanan akhirnya Omdurman jatuh ketangan Inggris-Mesir. Khalifa beserta para pengikutnya melarika diri menuju selatan dan menyelinap kearah barat. Sehingga jalan ke Khartoum terbuka. Lord Cromer memerintahkan agar bendera Inggris dan Mesir dikibarkan berdampingan (September 1898).
Kemudian mereka menuju ke Selatan, ketika Kitchener telah mendekati Fashoda, ia menerima surat dari Mayor Marchand. Surat yang berisi selamat atas kemenangannya di Omdurman dan Marchand juga mengatakan bahwa "atas perintah kami, kami harus menduduki Bahr-el-Ghazal, Meshra-er-Req dan daerah pertemuan Sungan Bahr el Jebel dan Nil Putih, kemudian daerah Silluk sampai Fashoda, dimana kota ini telah kami capai pada tanggal 10 Juli lalu.."
Dinyatakan pula bahwa ia telah membuat perjanjian dengan kepala daerah Silluk dan menempatka daerah itu dibawah perlindungan Prancis.
Ekspedisi Marchand itu telah berlangsung selama dua tahun. Ia meninggalkan Marseille pada 1896 dan mendarat di Loango di Afrika Barat. Ditempat ini ia bertahan selam 6 bulan karena ada pemberontakan suku-suku bimi putera. Kemudia ia sampai di Congo dan melanjutkan perjalanannya itu sampai ke Bahr-el-Ghazal. Disini ia mendirikan pos-pos untuk dijadika markas. Dari tempat ini akhirnya ia sampai di Fashoda (pada 10 Juli 1898). Ia mengibarkan benderanya dan melawan serangan pengikut Mahdi.
Ketika Kicthener sampai di Fashoda pada 19 September 1898, terjadilah suatu krisis. Inggris dan Prancis adalah pesaing lama di Lembah Sungai Nil dan pada itu kedua wakil Negara itu bertemu disekitar Fashoda. Kemudian Kitchener berkata kepada Marchand bahwa berkibarnya bendera Prancis di Fashoda itu adalah pelecehan langsung terhadap kekuasaan Mesirkarena daerah itu adalah milik yang mulia Khedive. Marchand pun menjawab bahwa ia sebagai seorang prajurit kecil dan harus tunduk kepada Pemerintah yang menyuruhnya untuk menduduki Bahr-el-Ghazal dan Fashoda. Ia menolak perintah Kitchener untuk menurunkan bendera kebangsaannya yang telah berkibar. Karena tidak ada yang mau mengalah, maka akhirnya penyelesaian diserahlan kepada pemerintahan masing-masing yang mana mereka menanti keputusan dari London dan Paris. Kitchener kembali ke Khartoum sedangkan Marchand tetap di Fashoda.
3. Bahaya Krisis Inggris-Prancis dalam Perebutan daerah Fashoda
Bahaya perang mengancam Inggris dan Prancis. Bagi Inggris masalah daerah Sudan adalah masalah yang gawat. Pada saat itu Inggris masih berpijak pada politik isolasi sedang Prancis sejak 1893 telah bergabung dalam Duel Alliance bersama Rusia. Keadaan yang sangat kritis akan dipergunakan Jerman untuk menguatkan aliansinya.
Sejak 1895 Jerman ingin menyeret Inggris dalam Triple Alliance, berhubung dengan kegagalannya mendekati Rusia. Oleh sebab itu, ketika pemerintahan Salisbury terancam bahaya perang karena masalah Venezuela (1895), pers Jerman dengan sengaja memuat artikel kedudukan Inggris yang "Isolated" itu. Kemudian menyusul penulisan pers Negara lain di kontinen yang memberikan komentar bahwa politik isolasi Inggris itu berarti suatu kedudukan yang lemah, bukan hanya tidak mempunyai sekutu tetapi tidak mempunyai kawan satupun didunia.
Antara Salisbury (Perdana Menteri) dan Menteri tanah jajahan, yaitu J.Chamberlain, terdapat perbedaan paham dalam menghadapi masalah "splendid isolation". Chamberlain yang menganggap bahwa politik isolasi itu sangat berbahaya, pada 13 Mei 1898 mengadakan pidato yang isinya senada dengan suara pers di kontinen.
Chamberlain merasa bahwa politik isolasi tersebut tidak lagi dapat dipertahankan. Ia berpendapat bahwa telah tiba masanya bagi Inggris untuk memilih pihak: Triple Alliance atau Dual Alliance.
Tetapi sebenarnya sangat sukat bagi Inggris untuk menentukan pilihannya, sebab negeri tersebut memusuhi ketiga negara besar anggota-anggota dua persekutuan itu. Dengan Rusia berselisih karena persaingan mendapatkan daerah pengaruh di Persia, Afganistan dan Asia Timur. Dengan Jerman karena masalah Afrika Selatan serta persaingan dalam dunia perdagangan dan perindustrian juga karena perebutan kekuasaan dilautan. Dengan Prancis karena perebutan daerah di Afrika, terutama di Lembah Sungai Nil.
Menurut perhutungan jerman, Inggris tidak mungkin dapat mengadakan hubungan baik dengan Prancis karena kedia Negeri tersubut telah bermusuhan berabad-abad lamanya, kecurigaan Inggris terhadap Prancis makin bertambah ketika pada 1893 terbentuk Dual Alliance. Tahun 1898 merupan saat yang nampaknya sangat menguntungkan bagi Jerman. Inggris diharapkan dapat meminta bantuan Jerman untuk menghadapi Prancis, demikian pula Prancis juga akan membutuhkan bantuan Jerman untuk menghadapi Inggris. Dalam kesempatan inilah kaisar Wilhelm II akan merealisasi cita-citanya membentuk "Liga Kontinental" yang beranggotakan Prancis, Rusia dan Jerman. Liga ini dimaksudkan untuk menghadapi Inggris.
Chamberlain lebih condong kepada Jerman daripada Prancis dan Rusia. Sebab, bersama dengan Jerman mereka akan menghadapi lawannya di Tiongkok dan daerah-daerah lainnya. Kemudian diajukan sebuah usul kepada Jerma yang isisnya antara lain:"jika aliansi Jerman-Inggris berperang menghadapi Rusia. Jerman harus menanggung serangan musuh itu sebagai ganti Jerman akan menerima konsesi-konsesi dari Inggris di Afrika dan di Tiongkok". Akan tetapi, Jerman menolak usulan tersebut.
Bagi Prancis masalah Fashoda juga masalah yang pelik. Baginya ada dua jalan untuk mengatasi insiden itu yaitu: menerima usulan Jerman atau memenuhi tuntutan Inggris, ialah penarikan kembali ekspedisi yang dipimpin oleh Marchand. Jika ususlan Jerman diterima, yaitu bergabung dalam satu aliansi dengan Jerman, berarti bahwa Prancis harus melepas cita-cita revanche terhadap Jerman dan kemungkinan besar harus melakukan perang dengan Inggris. Berdasarkan kenyataan bahwa di Prancis pada waktu itu sedang menghadapi keruwetan didalam negeri karena Dreyfus affair dan sebagainya, ditambah lagi suara publik menghendaki agar cita-cita revanche terhadap Jerman itu dipgang teguh, maka Diplomat Prancis yaitu Theopile Delcasse, memutuskan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan Inggris. Juga karena Prancis saat itu tidak siap untuk berperang, sedang bantuan dari sekutunya belun dapat diharapkan. Akhirnya pada 3 November 1898 Marchand diperintahkan untuk meninggalkan Fashoda. Dengan ini krisis yang mengancam perdamaian Eropa dapat diatasi.
4. Penyelesaian Perebutan Daerah Fashoda
Penyelesaian insiden tersebut bagi Prancis merupakan suatu hinaan besar. Akan tetapi disamping kehancuran itu tampak pula segi positif bagi kepentingan Prancis dikemudian hari, Prancis tetap memegang teguh cita-cita revanche nya, harapan untuk memperoleh kembali daerah Sungai Rhine tetap dimiliki. Pendekatan kepada Inggris mulai nampak, sehingga menunjukkan adanya tanda-tanda yang memungkinkan tercapainya hubungan baik antara kedua negara yang tradisionil bermusushan itu.
Sebaliknya penyelesaian masalah Fashoda tersebut merupaka kemenangan gemilang bagi pemerintah Salisbury. Namun untuk Jerman penyelesaian tersebut berarti kegagalan besar dala usaha mencapai cita-citanya.
Sesudah tentara Prancis dievakuasikan, timbullah kesukaran. Bila Sudan masuk menjadi milik Mesir, hal ini pasti akan memuaskan pemerintahan Mesir, Turki dan juga negara-negara lainnya di Eropa selain Inggris. Prancis yang mengalami kekalahan besar dalam insiden Fashoda itu menyambut dengan perasaan lega terhadap penyerahan Sudan kepada Mesir. Sebaliknya, apabila Sudan menjadi milik Inggris, Inggris akan merasa puas sekali, sedang hak-hak bangsa Eropa di Sudan akan terjamin. Tetapi, disamping itupenguasaan Inggris terhadap Sudan berarti pelecehan terhadap Mesir dan juga akan menciptakan kesukaran-kesukaran politik dengan Prancis.
Akhirnya tercapailah persetujuan dengan Mesir. Pada Januari 1899 ditandatangani perjanjian yang disebut Condominium Agreement. Perjanjian ini diadakan berdasarkan saran Salisbury yang disampaikan kepada Lord Cromer pada 2 Agustus 1898.
Dengan, perjanjian ini Sudan diperintah oleh Mesir dan Inggris, Lord Kitchener ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal di Anglo Egyptian Sudan itu. Pemberontakan diberbagai tempat masih tetap berlangsung. Baru pada akhir 1989, sesudah Khalifah "Abd Allahi meninggal, seluruh Sudan dapat dikuasai oleh Kitchener".
Diantara negara-negara besar di Eropa, hanya Prancis sajalah yang tidak mau mengakui kekuasaan Inggris di Sudan. Akhirnya Prancis pun mengakui kekuasaan Condominium Inggris Mesir di Sudan berdasarkan perjanjian bahwa: Prancis melepaskan seluruh pengaruhnya disekitar Bahr-el-Ghazal, batas antara daerah Sudan dan Congo Prancis diputuskan; Prancis menerima kerajaan Wadai sehingga dapat menghubungkan Congo Prancis dengan daerah jajahannya disebelah barat laut.
DAFTAR PUSTAKA
· Soeratman, Darsiti.2012.SEJARAH AFRIKA,ZAMAN IMPREALIS MODERN.Yogyakarta:Ombak.
· http://puntodewo.blogspot.com/2012/05/krisis-fashoda-dan-maroko-di-afrika.html
No comments:
Post a Comment