Halaman

PELITA I dan II Dalam Upaya Rehabilitasi Ekonomi Pembangunan Indonesia

Nurmahfuzah 

Kabinet Pembangunan I adalah nama kabinet pemeritahan di Indonesia pada tahun 1968-1973. Presiden pada Kabinet ini adalah Soeharto. Kabinet Pembangunan I terbentuk tanggal 6 juni 1968 dan dilantik pada tanggal 10 juni 1968. Komposisi kabinet ini tidak jauh berbeda dengan komposisi menteri dalam Kabinet Ampera II. Tak lama setelah Pemilu 1971, pada 9 September 1971, Presiden Soeharto mengumumkan perombakan Kabinet Pembangunan I dan melantik menteri-menteri reshuffle pada 11september 1971. [1] Saat itu Sri Sultan Hamengkubuwono IX menjabat sebagai menteri koodinator ekonomi, keuangan dan industri sedangkan Prof Dr. Sumitro Djojohadikusumo menjabat sebagai menteri perdagangan.

Landasan bagi perencanaan pembangunan nasional periode 1968 - 1998 adalah ketetapan MPR dalam bentuk GBHN. GBHN menjadi landasan hukum perencanaan pembangunan bagi presiden untuk menjabarkannya dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita), proses

penyusunannya sangat sentralistik dan bersifat Top-Down, adapun lembaga pembuat perencanaan sangat didominasi oleh pemerintah pusat dan bersifat ekslusif. Pemerintah Daerah dan masyarakat sebagai subjek utama out-put perencanaan kurang dilibatkan secara aktif. Perencanaan dibuat secara seragam, daerah harus mengacu kepada perencanaan yang dibuat oleh pemerintah pusat walaupun banyak kebijakan tersebut tidak bisa dilaksanakan di daerah. Akibatnya mematikan inovasi dan kreatifitas daerah dalam memajukan dan mensejahterakan masyarakatnya. Distribusi anggaran negara ibarat piramida terbalik, sedangkan komposisi masyarakat sebagai penikmat anggaran adalah piramida seutuhnya.

Sebenarnya pola perencanaan melalui pendekatan sentralistik/top-down diawal membangun sebuah bangsa adalah sesuatu hal yang sangat baik, namun pola sentralistik tersebut terlambat untuk direposisi walaupun semangat perubahan dan otonomi daerah telah ada jauh sebelum dinamika reformasi terjadi. Pada permulaan orde baru, program pemerintahan berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Tindakan pemerintah terebut dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650% setahun. Hal itu menjadi penyebab dari kurang lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan oleh pemerintah. Pelaksanaaan pembangunan Orde Baru bertumpu kepada program yang dikenal dengan sebutan Trilogi Pembangunan, yaitu sebagai berikut :

 

     Pemerataan pembangunan dan hasil - hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

    Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi

    Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. [2]

 

Pelaksanaan pembangunan tersebut akhirnya terealisasikan dengan pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang (25 - 30 tahun) dilakukan Orde Baru secara periodik 5 tahunan yang disebut PELITA (Pembangunan Lima Tahun). Periode PELITA I dilaksanakan mulai 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974 yang merupakan landasan awal dari pembangunan orde baru. Tujuan PELITA 1 adalah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar - dasar bagi pembangunan dalam tahap - tahap berikutnya. [3] Kebijaksanaan pada periode PELITA 1 ini dimulai dengan  beberapa peraturan yaitu :

1.     Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1970, mengenai penyempurnaan tata niaga bidang eksport dan import.

2.     Peraturan Agustus 1971, mengenai devaluasi mata uang Rupiah terhadap Dolar Ameriak, dengan memfokuskan pada beberapa sasaran pokoknya mengenai kestabilan harga bahan pokok, peningkatan nilai ekspor, kelancaran impor dan penyebaran barang di dalam negeri.

Sasaran dari PELITA I sendiri adalah Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja dan kesejahteraan rohani. Sedangkan titik berat dalam pelaksanaan Pelita I cenderung terhadap pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian. Muncul peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari) terjadi pada tanggal 15-16 Januari 1947 bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia. [4] Peristiwa ini merupakan kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang menuntut Jepang agar tidak melakukan dominasi ekonomi di Indonesia sebab produk barang Jepang terlalu banyak beredar di Indonesia. Terjadilah pengrusakan dan pembakaran barang - barang buatan Jepang.Di dalam bidang kesejahteraan rakyat dan pendidikan, pembangunan nasional tidak saja menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang pesat tetapi juga menghasilkan kesejahteraan rakyat yang makin meningkat dan makin merata. Kebutuhan pokok rakyat telah tersedia secara meluas dengan harga yang mantap dan dalam jangkauan rakyat banyak. Dalam PELITA I kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat Indonesia mengalami peningkatan yang sangat berarti. Keberhasilan program - program pendidikan juga ditunjukkan dengan menurunnya jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas yang buta aksara dari 39,1 persen pada tahun 1971. Meningkatnya derajat pendidikan dan juga kesehatan mempunyai dampak terhadap

peningkatan kualitas peranan wanita dalam pembangunan. Derajat pendidikan wanita dari tahun ke tahun terus meningkat yang ditunjukkan oleh makin banyaknya wanita yang menempuh pendidikan pada setiap jenjang pendidikan. Di sisi lain agama mempunyai peran yang sangat penting terhadap pembentukan moral manusia Indonesia sebagai dasar membentuk manusia yang berkualitas. Oleh sebab itu, dukungan prasarana dan sarana peribadatan yang memadai memang diperlukan dalam upaya menjalankan kehidupan ibadah yang tenteram dan damai.

Sedangkan PELITA II dimulai pada tanggal 1 April 1974 sampai 31 Maret 1979. PELITA II Menitikberatkan pada sektor pertanian, dengan meningkatkan industri yang mengelola bahan mentah menjadi bahan baku (misalnya karet, minyak, kayu dan timah). [5] Sasaran yang hendak di capai pada masa tersebut adalah pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas lapangan kerja. Fokus pembangunan ini di fokuskan pada pengkreditan untuk mendorong eksportir kecil dan menengah serta mendorong pengusaha kecil atau ekonomi menengah dengan kredit investasi kecil (KIK). Adapun kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah dalam PELITA II ini adalah dengan melakukan penghapusan pajak ekspor untuk mempertahankan daya saing di pasar dunia. Penggalakan PMA dan PMDN untuk mendorong investasi dalam negeri, yang menghasilakn cadangan devisa naik dari $ 1,8 milyar menjadi $ 2,58 milyar dan naiknya tabungan pemerintah dari Rp 255 milyar menjadi Rp 1.522 milyar pada periode PELITA II tersebut. Sedangkan kebijakan moneter yang dilakukan pemerintah adalah meningkatkan hasil produksi nasional dan daya saing komoditi ekspor karena tingkat rata-rat inflasi 34%, resesi dan krisis dunia tahun 1979, serta penurunan bea masuk impor komoditi bahan dan peningkatan bea masuk komoditi impor lainnya. [6]

Namun dengan adanya  PELITA II berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata - rata penduduk 7% setahun serta perbaikan dalam hal irigasi. Di bidang industri juga terjadi kenaikan produksi. Lalu banyak jalan dan jembatan yang di rehabilitasi dan di bangun. Selain itu pelaksanaan PELITA II dipandang cukup berhasil. Pada awal pemerintahan Orde Baru inflasi mencapai 60% dan pada akhir PELITA I inflasi berhasil ditekan menjadi 47%. Dan pada tahun keempat PELITA II inflasi turun menjadi 9,5%. Pembangunan politik juga telah mendorong terciptanya iklim keterbukaan yang bertanggung jawab serta makin mantapnya pelaksanaan demokrasi pancasila. Hal ini terutama dengan telah adanya pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila serta telah diterimanya Pancasila sebagai satu - satunya azas berbangsa dan bernegara oleh seluruh organisasi sosial politik dan organisasi kemasyarakatan. Selain itu, perlu dicatat pula perampingan organisasi peserta pemilu dari 10 peserta pada pemilu tahun 1971 menjadi 3 peserta.

Dalam upaya menciptakan efisiensi dan efektivitas pembangunan, kualitas dan kuantitas aparatur negara terus ditingkatkan. Dalam kaitan ini juga dilakukan penataan organisasi Departemen dan lembaga Non Departemen. Peningkatan kemampuan kegiatan penerangan, komunikasi, dan media massa (TV, radio, majalah, dan surat kabar) telah meningkatkan kesejahteraan dan kecerdasan bangsa. Di samping itu untuk mendukung kegiatan perekonomian, pembangunan di bidang prasarana di dalam PELITA II juga akan ditingkatkan melalui pembangunan prasarana dan sarana ekonomi berupa listrik, jalan, telepon, air dan pelabuhan. [7] Tersedianya berbagai prasarana ini secara memadai tidak saja akan mendukung kegiatan produksi tetapi juga memperlancar arus distribusi sehingga dapat menekan biaya - biaya ekonomi. Peranan swasta dalam penyediaan prasarana akan makin membesar terutama di daerah-daerah yang kelayakan ekonominya memungkinkan investasi swasta. Dengan demikian investasi pemerintah di bidang prasarana akan makin diarahkan untuk wilayah atau kawasan yang tertinggal dan untuk mendukung pemberdayaan masyarakat miskin. Pembangunan nasional tidak saja mengejar pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, namun lebih luas lagi yaitu pemerataan pembangunan dan hasil - hasilnya, serta stabilitas yang mantap dan dinamis. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya akan bermakna kalau disertai peningkatan nyata dalam kesejahteraan rakyat yang makin adil dan merata.

Selama ini saja, lapisan usaha skala kecil sudah jauh tertinggal. Apalagi harus dihadapkan pada persaingan dengan kekuatan - kekuatan ekonomi dari luar. Lapisan ekonomi menengah juga belum berkembang sebagaimana layaknya, yaitu menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Sehubungan itu, segenap kekuatan dan sumber daya yang dimiliki oleh negara harus ditujukan kearah membangun pertumbuhan yang serasi dengan pemerataan dan keadilan. Kebijaksanaan - kebijaksanaan ekonomi baik makro, sektoral, maupun regional harus secara terpadu mengupayakan agar ekonomi usaha skala kecil dapat secepatnya bangkit dan menjadi kukuh dan mantap. Berkaitan dengan pengembangan usaha skala kecil, di samping melalui upaya tersebut di atas, juga diperlukan upaya - upaya yang spesifik. Upaya tersebut harus diarahkan langsung pada akar persoalannya, yaitu meningkatkan kemampuan rakyat melalui upaya - upaya pemberdayaan. Upaya khusus tersebut antara lain menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat dan melindungi yang lemah sebagai akibat kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. [8] Peningkatan keuntungan bagi dunia usaha tidak saja melalui kemampuan produksi namun juga kemampuan pemasaran. Dari pengalaman negara - negara yang sudah maju dan yang baru masuk dalam tahapan industri dapat ditarik pelajaran bahwa kemampuan berproduksi harus merupakan gerakan terpadu dengan kemampuan menembus pasar.

Kutipan :

1.     Tambunan, Tulus. 2001. Perekonomian Indonesia Teori dan Temuan Empiris. Jakarta: Ghalia Indonesia, Hal:58.

2.     Tambunan, Tulus. 2001. Perekonomian Indonesia Teori dan Temuan Empiris. Jakarta: Ghalia Indonesia, Hal:59.

3.     Leirissa,dkk. 1996. Sejarah Perekonomian Indonesia. Jakarta:CV.Defit Prima Karya, Hal: 81.

4.     Donald K Emmerson. 2001. Indonesia Beyond Soeharto Negara, Ekonomi Dan Masyarakat Transisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Hal:115.

5.     Tambunan, Tulus. 2001. Perekonomian Indonesia Teori dan Temuan Empiris. Jakarta: Ghalia Indonesia, Hal:60.

6.     Leirissa,dkk. 1996. Sejarah Perekonomian Indonesia. Jakarta:CV.Defit Prima Karya, Hal:82

7.     Donald K Emmerson. 2001. Indonesia Beyond Soeharto Negara, Ekonomi Dan Masyarakat Transisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Hal:116.

8.     Leirissa,dkk. 1996. Sejarah Perekonomian Indonesia. Jakarta:CV.Defit Prima Karya, Hal:82.

Daftar Pustaka

1.     Donald K Emmerson. 2001. Indonesia Beyond Soeharto Negara, Ekonomi Dan Masyarakat Transisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

2.     Leirissa,dkk. 1996. Sejarah Perekonomian Indonesia. Jakarta:CV.Defit Prima Karya

3.     Tambunan, Tulus. 2001. Perekonomian Indonesia Teori dan Temuan Empiris. Jakarta: Ghalia Indonesia.

 

No comments:

Post a Comment