Halaman

PERJALANAN DAN RIWAYAT HIDUP MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Pahma Herawati/S/A

1.      Biografi Megawati Soekarnoputri
Megawati Soekarnoputri atau umum dikenal sebagai Mega (lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947; umur 64 tahun) adalah Presiden Indonesia yang kelima yang menjabat sejak 23 Juli 2001-20 Oktober 2004. Ia merupakan presiden wanita Indonesia pertama dan anak presiden Indonesia pertama yang mengikuti jejak ayahnya menjadi presiden. Pada 20 September 2004, ia kalah oleh Susilo Bambang Yudhoyono dalam tahap kedua pemilu presiden 2004.

Megawati adalah anak kedua Presiden Soekarno yang telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ibunya Fatmawati kelahiran Bengkulu di mana Sukarno dahulu diasingkan pada masa penjajahan belanda. Megawati dibesarkan dalam suasana kemewahan di Istana Merdeka.
Karier politik Mega yang penuh liku seakan sejalan dengan garis kehidupan rumah tangganya yang pernah mengalami kegagalan. Suami pertamanya, seorang pilot AURI, tewas dalam kecelakaan pesawat di laut sekitar Biak, Irian Jaya. Waktu itu usia Mega masih awal dua puluhan dengan dua anak yang masih kecil. Namun, ia menjalin kasih kembali dengan seorang pria asal Mesir, tetapi pernikahannya tak berlangsung lama. Kebahagiaan dan kedamaian hidup rumah tangganya baru dirasakan setelah ia menikah dengan Moh. Taufiq Kiemas, rekannya sesama aktivis di GMNI dulu, yang juga menjadi salah seorang penggerak PDIP.[1]
Tahun 1986 ia mulai masuk ke dunia politik, sebagai wakil ketua PDI Cabang Jakarta Pusat. Karier politiknya terbilang melesat. Mega hanya butuh waktu satu tahun menjadi anggota DPR RI. Dalam Kongres Luar Biasa PDI yang diselenggarakan di Surabaya 1993, Megawati terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDI. Namun, pemerintah tidak puas dengan terpilihnya Mega sebagai Ketua Umum PDI. Mega pun didongkel dalam Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, yang memilih Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Mega tidak menerima pendongkelan dirinya dan tidak mengakui Kongres Medan. Ia masih merasa sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor dan perlengkapannya pun dikuasai oleh pihak Mega. Pihak Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan kantor DPP PDI. Namun, Soerjadi yang didukung pemerintah memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI yang terletak di Jalan Diponegoro. Ancaman Soerjadi kemudian menjadi kenyataan. Tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Aksi penyerangan yang menyebabkan puluhan pendukung Mega meninggal itu, berbuntut pada kerusuhan massal di Jakarta yang dikenal dengan nama Peristiwa 27 Juli. Kerusuhan itu pula yang membuat beberapa aktivis mendekam di penjara. Peristiwa penyerangan kantor DPP PDI tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, ia makin mantap mengibarkan perlawanan. Ia memilih jalur hukum, walaupun kemudian kandas di pengadilan. Mega tetap tidak berhenti. Tak pelak, PDI pun terbalah dua: PDI di bawah Soerjadi dan PDI pimpinan Mega. Pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Namun, massa PDI lebih berpihak pada Mega. Keberpihakan massa PDI kepada Mega makin terlihat pada pemilu 1997. Perolehan suara PDI di bawah Soerjadi merosot tajam. Sebagian massa Mega berpihak ke Partai Persatuan Pembangunan, yang kemudian melahirkan istilah "Mega Bintang". Mega sendiri memilih golput saat itu. Pemilu 1999, PDI Mega yang berubah nama menjadi PDI Perjuangan berhasil memenangkan pemilu. Meski bukan menang telak, tetapi ia berhasil meraih lebih dari tiga puluh persen suara. Massa pendukungnya, memaksa supaya Mega menjadi presiden. Mereka mengancam, kalau Mega tidak jadi presiden akan terjadi revolusi. Namun alur yang berkembang dalam Sidang Umum 1999 mengatakan lain: memilih KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden. Ia kalah tipis dalam voting pemilihan Presiden: 373 banding 313 suara. Namun, waktu juga yang berpihak kepada Megawati Sukarnoputri. Ia tidak harus menunggu lima tahun untuk menggantikan posisi Presiden Abdurrahman Wahid, setelah Sidang Umum 1999 menggagalkannya menjadi Presiden. Sidang Istimewa MPR, Senin (23/7/2001), telah menaikkan statusnya menjadi Presiden, setelah Presiden Abdurrahman Wahid dicabut mandatnya oleh MPR RI. Masa pemerintahan Megawati ditandai dengan semakin menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia, dalam masa pemerintahannyalah, pemilihan umum presiden secara langsung dilaksanakan dan secara umum dianggap merupakan salah satu keberhasilan proses demokratisasi di Indonesia. Ia mengalami kekalahan (40% - 60%) dalam pemilihan umum presiden 2004 tersebut dan harus menyerahkan tonggak kepresidenan kepada Susilo Bambang Yudhoyono mantan Menteri Koordinator pada masa pemerintahannya.
2.      Proses Naiknya Megawati Soekarnoputri Sebagai Presiden
Karir politik Mega yang penuh liku seakan sejalan dengan garis kehidupan rumah tangganya yang pernah mengalami kegagalan. Jejak politik sang ayah berpengaruh kuat pada Megawati.Kendati lahir dari keluarga politisi jempolan, Mega tidak terbilang piawai dalam dunia politik.[2] Bahkan, Megawati sempat dipandang sebelah mata oleh teman dan lawan politiknya. Beliau bahkan dianggap sebagai pendatang baru dalam kancah politik, yakni baru pada tahun 1987. Saat itu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menempatkannya sebagai salah seorang calon legislatif dari daerah pemilihan Jawa Tengah, untuk mendongkrak suara. 
Masuknya Megawati ke kancah politik, berarti beliau telah mengingkari kesepakatan keluarganya untuk tidak terjun ke dunia politik. Trauma politik keluarga itu ditabraknya. Megawati tampil menjadi primadona dalam kampanye PDI, walau tergolong tidak banyak bicara. Ternyata memang berhasil. Suara untuk PDI naik. Dan beliau pun terpilih menjadi anggota DPR/MPR. Pada tahun itu pula Megawati terpilih sebagai Ketua DPC PDI Jakarta Pusat.
Tetapi, kehadiran Mega di gedung DPR/MPR sepertinya tidak terasa. Tampaknya, Megawati tahu bahwa beliau masih di bawah tekanan. Selain memang sifatnya pendiam, beliau pun memilih untuk tidak menonjol mengingat kondisi politik saat itu. Maka beliau memilih lebih banyak melakukan lobi-lobi politik di luar gedung wakil rakyat tersebut. Lobi politiknya yang silent operation  itu secara langsung atau tidak langsung, telah memunculkan terbitnya bintang Mega dalam dunia politik. Ia menjadi Ketua Umum Partai DPP PDI sejak tahun 1993 hingga partai tersebut berubah menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang berhasil melambungkan namanya hingga ia terpilih sebagai Presiden perempuan pertama, masa jabatan 23 Juli 2001 hingga 20 Oktober 2004 menggantikan KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur) dengan membentuk kabinet Gotong Royong.
Proses naiknya Mega ini merupakan cerita menarik pula. Ketika itu, Konggres PDI di Medan berakhir tanpa menghasilkan keputusan apa-apa. Pemerintah mendukung Budi Hardjono menggantikan Soerjadi. Lantas, dilanjutkan dengan menyelenggarakan Kongres Luar Biasa di Surabaya. Pada kongres ini, nama Mega muncul dan secara telak mengungguli Budi Hardjono, kandidat yang didukung oleh pemerintah itu. Mega terpilih sebagai Ketua Umum PDI. Kemudian status Mega sebagai Ketua Umum PDI dikuatkan lagi oleh Musyawarah Nasional PDI di Jakarta. Namun pemerintah menolak dan menganggapnya tidak sah. Karena itu, dalam perjalanan berikutnya, pemerintah mendukung kekuatan mendongkel Mega sebagai Ketua Umum PDI. Fatimah Ahmad cs, atas dukungan pemerintah, menyelenggarakan Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, untuk menaikkan kembali Soerjadi. Tetapi Mega tidak mudah ditaklukkan. Karena Mega dengan tegas menyatakan tidak mengakui Kongres Medan. Mega teguh menyatakan dirinya sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, sebagai simbol keberadaan DPP yang sah, dikuasai oleh pihak Mega. Para pendukung Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan kantor itu.
Soerjadi yang didukung pemerintah pun memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI itu. Ancaman itu kemudian menjadi kenyataan. Pagi, tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Namun, hal itu tidak menyurutkan langkah Mega. Malah, dia makin memantapkan langkah mengibarkan perlawanan. Ia memilih jalur hukum, walaupun kemudian kandas di pengadilan. Mega tetap tidak berhenti. Tekanan politik yang amat telanjang terhadap Mega itu, mengundang empati dan simpati dari masyarakat luas.
Mega terus berjuang, PDI pun menjadi dua. Yakni, PDI pimpinan Megawati dan PDI pimpinan Soerjadi. Massa PDI lebih berpihak dan mengakui Mega. Tetapi, pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Setelah rezim Orde Baru tumbang, PDI Mega berubah nama menjadi PDI Perjuangan. Partai politik berlambang banteng gemuk dan bermulut putih itu berhasil memenangkan Pemilu 1999 dengan meraih lebih tiga puluh persen suara. Kemenangan PDIP itu menempatkan Mega pada posisi paling patut menjadi presiden dibanding kader partai lainnya.[3]
Tetapi, posisi tersebut rupanya sebuah tahapan untuk kemudian pada waktunya memantapkan Mega pada posisi sebagai orang nomor satu di negeri ini. Sebab kurang dari dua tahun, tepatnya tanggal 23 Juli 2001 anggota MPR secara aklamasi menempatkan Megawati duduk sebagai Presiden RI ke-5 menggantikan KH Abdurrahman Wahid, setelah Presiden Abdurrahman Wahid dicabut mandatnya oleh MPR RI.Masa pemerintahan Megawati ditandai dengan semakin menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia, dalam masa pemerintahannyalah, pemilihan umum presiden secara langsung dilaksanakan dan secara umum dianggap merupakan salah satu keberhasilan proses demokratisasi di Indonesia. Megawati menjadi presiden hingga 20 Oktober 2003. Setelah habis masa jabatannya, Megawati kembali mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilihan presiden langsung tahun 2004. Ia mengalami kekalahan (40% - 60%) dalam pemilihan umum presiden 2004 tersebut dan harus menyerahkan tonggak kepresidenan kepada Susilo Bambang Yudhoyono mantan Menteri Koordinator pada masa pemerintahannya.
3.      Kabinet Gotong Royong
Kabinet Gotong Royong adalah kabinet pemerintahan Presiden RI kelima Megawati Sukarnoputri (2001-2004). Kabinet ini dilantik pada tahun 2001 dan masa baktinya berakhir pada tahun 2004.
Nama gotong-royong diambil Megawati sebab pemerintahannya adalah hasil koalisi banyak partai. Megawati adalah presiden kedua yang menjabat pada masa pemilu multipartai pasca tumbangnya orde baru. Nama gotong royong juga dipilih megawati untuk menguatkan visi misi utama pemerintahannya, yaitu rekonsiliasi nasional. Indonesia, saat Megawati terpilih menjadi presiden sedang porak-poranda akibat beragam konflik, seperti konflik komunal (ambon, poso, sampang) dan konflik politik (pemakzulan Gus Dur oleh koalisi yang sebelumnya mendukungnya).
Gotong royong adalah kata yang dipilih untuk merekonsiliasi atau mempersatukan bangsa Indonesia dalam semangat membangun kembali.Melalui Kabinet Gotong Royong, Presiden Megawati Sukarnoputri telah menunjukkan manuver politik yang piawai dan berhasil memberikan impresi yang positif pada berbagai lapisan masyarakat.[4] Saat itu tumbuh dan berkembang pendapat pada berbagai masyarakat termasuk pelaku ekonomi, kalangan birokrasi, pengamat politik, dan masyarakat kampus bahwa Kabinet Gotong Royong yang dilantik pada hari Jum'at 10 Agustus yang lalu adalah kabinet yang cukup tangguh.Pandangan tersebut didasarkan atas kenyataan bahwa 26 dari 32 jabatan menteri dan setingkat menteri dijabat oleh para profesional yang menguasai bidang tugas masing-masing.
Akan tetapi seiring dengan berjalannya Kabinet Gotong Royong dalam  menjalankan pemerintahan, masyarakat sangat dikecewakan. Pasalnya, kinerja dari Kabinet Gotong Royong tersebut dinilai lamban dalam mengatasi masalah yang terjadi di negara kita saat itu. Wacana publik tentang efektifitas tim ekonomi Kabinet Gotong Royong (KGR) dalam menghantarkan Indonesia untuk secepatnya keluar dari krisis yang telah menggerogoti ekonomi dan kehidupan social-politik selama lima tahun terakhir ini didominasi oleh pandangan bahwa anggota Kabinet Gotong Royong bertindak sangat lamban dan tanpa koordinasi yang penuh. Persepsi ini secara sadar banyak digaungkan oleh kalangan akademisi dan politisi baik secara kolektif maupun secara perorangan yang pada gilirannya diterima sebagai suatu realitas oleh masyarakat.
Ekonomi di bawah pemerintahan Megawati tidak mengalami perbaikan yang nyata dibandingkan sebelumnya, meskipun kurs rupiah relatif berhasil dikendalikan oleh Bank Indonesia menjadi relatif lebih stabil. Kondisi ekonomi pada umumnya dalam keadaan tidak baik, terutama pertumbuhan ekonomi, perkembangan investasi, kondisi fiskal, serta keadaan keuangan dan perbankan. Dengan demikian, prestasi ekonomi pada tahun kedua pemerintahan sekarang ini tidak menghasilkan perbaikan ekonomi yang cukup memadai untuk sedikit saja memperbaiki kesejahteraan masyarakat dan mempertahankan kesempatan kerja.Analisis yang cukup kerap dari banyak kalangan membuktikan bahwa selama ini tim ekonomi tidak mampu, menyelesaikan proses pemulihan ekonomi dan memperbaiki perekonomian secara lebih luas. Kondisi perekonomian masih terus dalam ketidakpastian, terutama karena terkait dengan masalah keamanan, seperti dalam kejadian pemboman beruntun sejak tahun 1998 sampai tahun 2002.Masalah pertumbuhan ekonomi, investasi dan pengangguran adalah gambaran yang paling suram di bawah kabinet gotong royong ini.
Sentuhan kebijakan ekonomi tidak jelas sehingga memberikan signal yang tidak jelas pula pada masyarakat dan kalangan investor di dalam maupun di luar negeri. Signal tersebut menjadi lebih buruk lagi ketika pemerintah sama sekali gagal menyediakan jasa publik yang paling mendasar, yakni keamanan.Faktor keamanan juga menjadi ganjalan serius yang menghalangi proses pemulihan ekonomi. Justru persoalannya sampai saat ini karena faktor ekonomi dan faktor non ekonomi tidak saling mendukung.Kondisi investasi di Indonesia betul-betul terpuruk. Sejauh ini tidak ada tindakan kolektif dari perencanaan yang  komprehensif tersebut. Dengan sumberdaya manusia di dalam birokrasi, perguruan tinggi dan masyarakat luas, serta pengetahuan yang jauh lebih tinggi seharusnya pemerintah sudah bekerja dengan perencanaan tersebut, yang jelas arahnya tidak lain untuk pemulihan ekonomi.
Masalah yang paling ditunggu publik dan investor bukan hanya kebijakan hari per hari, minggu per minggu atau tahun per tahun, tetapi menyangkut arah serta tujuan yang jelas dan tujuan yang akan dicapai. Tetapi harapan ini tidak berhasil diperoleh karena masalah kepemipinan dan komunikasi yang sangat buruk dengan publik. Faktor komunikasi pada tingkat kabinet juga sangat tidak memadai, kalau tidak hendak dikatakan buruk. Dengan demikikan, publik tidak pernah merasa diyakinkan oleh pemerintah, yang setengah acuh terhadap kebutuhan kebijakan yang jelas, terutama dalam jangka pendek maupun jangka menengah dan panjang. Karena itu, tidak aneh jika tingkat kepercayaan publik justru terus merosot karena kelemahan kepemimpinan pada dua tingkat tersebut, termasuk masalah komunikasi yang payah.Sebagai contoh, investasi yang sangat buruk dan terus merosot dibiarkan begitu saja tanpa inisiatif yang berarti. Ini merupakan contoh kenaifan dalam pemerintahan, yang menghadapi persoalan berat, tetapi berperilaku secara kolektif seperti biasa-biasa saja. Tidak tampak sense of  urgency selama ini sehingga masalah yang terus hadir semakin bertumpuk-tumpuk tanpa penyelesaian. Inilah yang menyebabkan kondisi ekonomi tetap tidak pasti, tumbuh rendah dan tidak mendapat dukungan kepercayaan publik.[5]
Persepsi yang berkembang di masyarakat pada saat itu yakni pemerintah tak mau berbuat maksimal atau lebih tepat lagi untuk dikatakan bahwa Kabinet Gotong Royong hanya tidur. Hal ini ditunjukkan dengan skor performance (kinerja) yang hanya 4.7 dan skor effort (upaya) yang hanya 3.1, padahal untuk kondisi pemerintahan yang kondusif terhadap perekonomian nasional seharusnya skor performance dan skor effort minimal, artinya skor yang sedemikian rendah menunjukkan tidak terjadinya upaya yang efektif untuk menggerakkan roda perekonomian untuk bisa keluar dari krisis secara sistematis.
Nampaknya lampu kuning bagi pemerintahan Presiden Megawati Soekarno putri. Mengapa masyarakat tidak percaya lagi? Karena subsidi langsung kepada orang miskin dikorupsi, karena ditengah-tengah rakyat sulit kekayaan orang-orang kaya semakin mencolok, mobil-mobil semakin mewah, ballroom-ballroom di hotel-hotel berbintang lima kian diramaikan oleh the golden crowd.
Dan ambil tontonan yang diberikan oleh DPR dan DPRD kita. Rakyat mendapat kesan lebih daripada di zaman Pak Harto bahwa apa yang menamakan diri wakil-wakilnya(semuanya tidak terpilih; rakyat harus memilih kucing dikarung, siapa yang dipilih partai)  melihat kedudukan mereka sebagai kesempatan untuk memperkaya diri semata-mata.
Dan pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri bersikap dingin dan acuh tak acuh. Paling-paling mengeluh karena protes rakyat yang kurang sopan. Apa presiden tidak tahu apa yang dialami rakyat? Rakyat diajak mengencangkan ikat pinggang, hidup sederhana. Orang kaya kelihatan dibebaskan dari pengusutan pidana, orang kecil dianggap tak apa-apa kalau hidup dibuat lebih mahal lagi. Pemerintahan Megawati tidak berhasil mempertontonkan kepada rakyat bahwa ia bertekad tegas untuk mengakhiri penjarahan itu, karena kelihatan adem ayem pada saat negara ini masih dijarah, terjadi krisis kepercayaan yang terungkap dalam unjuk rasa-unjuk rasa di hari-hari ini.Sebagaimana ditunjuk Herry Priyono, ada kesan bahwa pemerintah membajakan hati, atau lebih tepat menumpulkan perasaannya atas nama "rasionalitas ekonomis".
Memang jikalau ditinjau berdasarkan tipe pemimpin, menurut William Marson, ada empat tipe pemimpin yang dapat dikelompokkan, yaitu tipe D (Dominance), I (Influencing), S (Steadiness), dan C (Compliance). Dari tipe tersebut, Megawati termasuk tipe C, karena ia cenderung emosional, kurang konsisten, cukup demokratis (leissez-faire), pendendam, hanya dapat berkomunikasi dengan orang yang ia kenal dan tak mau repot.
Hal ini terbukti karena dalam beberapa proses pengambilan keputusan, ia menyerahkan kepada tiap bawahannya untuk memutuskan sendiri sesuai tugas masing-masing, gaya komunikasinya termasuk high context culture sehingga sulit dipahami, ia lebih sering membahas masalah "perempuan" dibanding masalah negara. Ia juga kurang menerima kritik mahasiswa dan media. Juga ia mengingat musuh sebagai musuh (tidak datang saat SBY dilantik).

4.      Perjalanan Politik Megawati
Sejak apa yang terjadi pada Bung Karno, keluarga besar Bung Karno memilih untuk tidak berpolitik sama sekali. Akan tetapi entah kenapa panggilan jiwa sang putri nomor dua yaitu Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri justru mengikuti jejak sang ayah.
Ketika kuliah, Megawati lebih senang aktif dalam gerakan Mahasiswa Nasional atau (GMNI). Kuliahnya sampai ditinggalkannya karena lebih memilih menjadi aktivis ketimbang menjadi mahasiswa sebenarnya.
Masa awal Mega di politik sepertinya begitu mudah. Karir politiknya melesat bak roket. Di tahun 1986 Megawati terpilih mejadi Wakil Ketua PDI Cabang JakPus. Diikuti degann diterimanya dirinya menjadi anggota DPR RI setahun kemudian. Entahlah, melesatnya karir politik Mega ini apakah karena murni kecakapannya sebagai  politikus ataukah karena embel-embel anaknya sang proklamator.
Nama Megawati Soekarnoputri begitu cepat dikenal. Hingga pada tahun 1993 ketika kongres di Surabaya, Megawati terpilih menjadi Ketua Umum PDI dan ini disahkan dengan Musyawarah Nasional PDI di Jakarta.
Tetapi ternyata pemerintah keberatan dengan hal itu. Serta merta pemerintah menganggap pengangkatan Megawati tak sah. Tak tahu, apakah alasan pemerintah melakukan itu. Apakah sang penguasa takut jika ada hukum karma.
Ketidak puasan pemerintah ini kemudian direalkan dengan diangkatnya Soerjadi sebagai ketua umum PDI. Sehingga di kubu masyarakat Mega ketua umum PDI namun di kubu pemerintah Soerjadi lah sang ketua umumnya.
Mengetahui akan adanya pendongkelan terhadap dirinya, Megawati dan pengikutnya tak tinggal diam. Mereka kemudian menguasai kantor pusat PDI yang berada di jalan Diponegoro. Kantor itu adalah simbol sah PDI.
Soerjadi pun berbalik mengancam akan merebt paksa kantor itu dari tangan Mega dan pendukungnya. Akhirnya pada 27 Juli 1997 Soerjadi yang didukung pemerintah membuktikan ancamannya.
Kubu Soerjadi melakukan penyerangan terhadap kubu Megawati yang mengakibatkan kerusuhan massal. Di pihak kubu Megawati meninggal dunia 8 orang dan beberapa aktivis dipenjara. Kerusuhan tersebut kemudian terkenal dengan nama Kerusuhan 27 Juli.
Mega pun melemparkan hal ini ke jalur hukum namun ternyata hukum sudah menjadi boneka penguasa. Akhirnya PDI terbagi menjadi dua yaitu kubu Megawati dan kubu Soerjadi.
Massa PDI pro Mega lebih besar ketimbang pro Soerjadi. Hal ini membuat perolehan suara PDI di pemilu 1997 merosot tajam. Banyak massa pro Mega yang memilih P3. Mega sendiri memilih Golput.
Ketika pemilu 1999, PDI pro Mega berubah nama menjadi PDI Perjuangan dimana perolehan suaranya cukup besar yaitu 30%. Ketika itu massa PDIP menuntun Mega harus menjadi presiden. Akan tetapi Sidang Umum MPR menyatakan bahwa yang maju sebagai Presiden adalh KH Abdurrahman Wahid, sahabat Megawati sendiri. Sedangkan Megawati harus rela mnejadi wakilnya.
Waktu telah membuktikan bahwa Megawati memang pantas menjadi orang nomor satu di RI. Hal ini terjadi ketika MPR mencopot mandatnya atas KH Abdurrahman Wahid pada 2001 dan secara otomatis Mega-lah yang maju sebagai presiden.
Dalam kepemimpinannya ini, Megawati mencatat sejarah dengan diadakannya pemilihan presiden langsung oleh rakyat. Pada pemilu 2004 ini sepertinya Mega harus kecewa dengan peraturan yang dibuatnya sendiri yaitu dengan tidak terpilihnya dirinya sebagai presiden akan tetapi SBY-lah yang terpilih.[7]
Itulah perjalanan politik Megawati Soekarnoputri. Sejak saat itu Megawati terkesan menjaga jarak dengan pemerintah. Ketika sang suami "Taufiq Kiemas" akan tiada, Megawati sempat mendapat wasiat agar berdamai saja dengan pemerintah. Namun entahlah, biar waktu yang membuktikan.

kutipan

[1] Anwar, Rosihan., Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia Jilid I. Jakarta, KompaS : 2009.
[2] Djelantik, Sukawarsini. Diplomasi antara Teori dan Praktik. Yogyakarta, Graha Ilmu : 2008.
[3] Elson, R.E., The Idea of Indonesia Sejarah Pemikiran dan Gagasan. Jakarta, PT. Serambi Ilmu Semesta: 2008.
[4] Lampu Kuning buat Pemerintahan Megawati, Kompas, 21 Januari 2003.
[5] Lesmana, Tjipta. Dari Soekarno sampai SBY-Intrik & Lobi Penguasa. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2009.
[6] Magnis, Franz Suseno., Berebut Jiwa Bangsa;Dialog, Perdamaian, dan Persaudaraan. Jakarta, Kompas : 2006.
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Megawati_Soekarnoputri

No comments:

Post a Comment