Halaman

PEREKONOMIAN PADA MASA ORDE BARU

Annasrul /A / SI / V
Pada masa demokrasi terpimpin, negara bersama aparat ekonominya mendominasi seluruh kegiatan ekonomi sehingga mematikan potensi dan kreasi unit-unit ekonomi swasta. Sehingga pada permulaan orde baru program pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalian tingkat inflasi, penyelmatan keungan negara pada pengamanan kebutuhan pokok rakyat, tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada tahun 1966 yang menunjukan tingkat inflasi kurang lebih 650 % setahun. Hal itu menjadi penyebab kurang lancarnya program pembangunan yang telah di rencanakan pemintah.
Keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan masa demokrasi terpimpin, pemerintah menempuh cara :
1.      Mengeluarkan ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang kebijakan ekonomi, keuangan dan pembangunan.
2.      MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program penyelamatan, program stabilitas dan rehabilitasi, serta program pembangunan.   
Program pemerintah diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional terutama stabilisasi dan rehabilisasi ekonomi. Stabilisasi adalah pembinaan sistem ekonomi berencana yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi ke arah terwujutnya masyarakat adi dan makmur berdasarkan pancasila.
Program stabilisasi dilakukan dengan cara membendung laju inflasi hasilnya bertolak belakang dengan perbaikan inflasi sebab harga bahan kebutuhan pokok melonjak, namun inflasi berhasil dibendung pada tahun terakhir 1967- awal 1968.
Sesudah kabinet kabinet pembangunan di bentuk pada bulan juli 1968 berdasarkan tab MPRS No.XLI/ MPRS/1968, kebijakan ekonomi pemerintah dialihkan pada pengadilan yang ketat terhadap gerak harga barang khususnya sadang, pangan dan kurs valuta asingsejak saat itu kestabilan ekonomi ekonomi nasional relatif tercapai sebab sejak 1969 kenaikan harga barang dan bahan bahan pokok dapat diatasi.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena setap program pembangunan pemerintah terencana dengan baik dan hasilnya pun terlihat secara konkrit, indonesia mengubah status dari negara pengimpor beras terbesar di dunia menjadi bangsa yang memenuhi kebutuhan itu sendiri, penurunan angka kemiskinan itu sendiri yang di ikuti dengan perbaikan kesejahteraan rakyat, penurunan angka kematian bayi dan angka partisipasi pendidikan dasar yang semakin meningkat.
Perkembangan ekonomi pada masa orde baru yang di pimpin bapak soeharto perusahaan makin memerlukan perubahan sistem perpajakan secara besar besaran, salah satu akibat sampingan dari campur tangan pemerintah yang berlebih lebihan terhadap kehidupan ekonomi selama dasawarsa 1960-an dan 1970-an di seluruh dunia barat adalah samakin meluasnya sistem perpajakan. Pemerintah pemerintah biasanya tidak hanya puas dengan menaikan tarif pajak pendapatan dan pengeluaran, mereka juga mempergunakan kesempatan mempertimbangkan bermacam macam pembebanan pajak baru terhadap kapital again (laba penjualan surat-surat berharga) capital transfer, hadiah, pendapatan investasi dan bermacam macam transaksi keuangan lainya. [1]
Karena tarif pajak pendapatan dan perusahaan sepenuhnya harus dinaikan secara dramatis untuk mengatasi peningkatan tugas dan pengeluaran pemerintah, terdapat pula usaha yang konsisten untuk mempengaruhi agar menurun kan jumlah beban pajak pemerintahan mencoba jalan keluar yang mudah dalam menghadapi persoalan ini dalam memberikan bermacam macam keringanan dan pembebasan pajak khusus. Sebagian merupakan bukti lebih lanjut tentang keyakinan pemerintah, bahwa jika pemerintah mencampuri dan mengarahkan ekonomi dengan semua cabangnya, penyelengaraan akan bertambah baik akibatnya perangsang pajak di berbagai negara diberikan kepada perusahaan agar melakukan investasi tertentu, dan juga pada perorangan, agar lebih suka menabung dari pada membelanjakan uangnya. Keringanan pajak di berikan untuk hipotek dan jenis perumahan tertentu. Membuat pengelompokan orang atas status sosial atau kondisi fisiknya, berpengaruh kuat dalam penentuan keringanan pajak, misanya untuk mereka yang menikah dan mempunyai anak, mereka yang cacat mereka yang menabung untuk pensiundan sejumlah kelompok lain, akibat keringanan pajak tumbuh menaikan tarif dasar perpajakan dalam mengatasi timbulnya penurunan penerimaan, karna banyak orang yang berusaha menyesuaikan keadaanya agar agar beban pajaknya dapat diturunkan.
Pada pertengah tahun 1980-an, kebanyakan negara barat dan banyak negara sedang berkembang, mempunyai sistem perpajakan yang sangat rumit, sebagai contoh yang mengejutkan, di inggris, tarif pajak terkecil lainya pada tahun 1979 atas pendapatan infestasi adalah 98% tarif pajak kecil yang mengejutkan atas pendapatan yang di hasilkan adalah 83%, dimana mana di dunia ini tarif pajak tarif terendah melebihi 60% adalah sangat biasa, di inggris, pajak perusahaan dikenakan 52%, tetapi tetapi kebanyakan perusahaan yang mempunyai suatu bpprogram investasi dengan memperhitungkan kembali masalah atau kehilangan pajak yang dapat di pindahkan, dalam prateknya membayar tarif rata rata lebih rendah dari itu.Tingginya tarif pajak dan banyajnya pembebasan pajak sering menimbulkan perubahan pada struktul perekonomian itu sendiri di indonesia. [2]
Lebih langsung lagi adalah harga minyak bumi dunia, seandainya tak bisa lagi di kendalikan fluaktasinya, perolehan indonesia disinipun akan guncang, hal yang langsung mempengaruhi defisit naraca tranksaksi berjalan dan perolehan penerimaan dalam APBN,
Begitu juga halnya dengan currency realignment, tak ada sedikitpun daya kita untuk mempengaruhi perubahan kursantara AS di satu pihak dan jepang serta jerman barat di pihak lain, bila kurs dollar amerika terhadap yen merosot, utang luar negeri indonesia pada jepang akan meningkat dalam dollar amerika.
Kendala lain dari luar ialah sikap proteksionistis AS atau kemungkinan turunnya impor AS karena berkurangnya konsumsi akibat crasb oktober 1987, harga dan permintaan terhadap barang ekspor kita memang ditentukan oleh perubahan negara-negara anggota OECD, terutama AS.
Uraian tentang berbagai kendala dari luar itu memungkinkan kita dengan lebih cermat memahami makna dari dua instrumen kebijaksanaan terakhir yang dikeluarkan pemerintah, yakni paket desember 1987 dan nota keuangan berikut RAPBN 1988-89 yang sampaikan oleh presiden pada tanggal 5 januari 1988.
Berbicara tentang RAPBN 1988-89, agaknya yang ,enjadi masalah politik dan ekinomi atau spikologis adalah angka yang menunjukan lebih besarnya pembayaran bunga dan cicilan tang di banding dengan penerimaan pajak atau ekspor minyak dan gas bum, begitu juga besarnya jumlah utang sampai di atas 10 triliun,
Tetapi ada makna yang lebih RAPBN 1988-98 dilihat dalam perspektif historis, agaknya RAPBN semankin mengaksentasikan sebuah fakta baru, yakni peran angaran yang berubah dalam ekonomi bangsa indonesia.
Dimasa pertumbuhan tinggi (1969-1982), volume anggaran terus membesar, dari 11% hingga 28%. Tetapi kini volume rilnya menurun misanya dihitung secara perkapita dan dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk yang meningkat, juga bila dikurangi tingkat inflasi. Hal yang juga amat penting adalah perubahan volume angaran yang berkaitan dengan struktur anggaran, banyak yang munkin kurang menyadari bahwa pajak atas sumber – sumber alam, berbeda dampaknya bagi ekonomi dibanding pajak yang dikenakan bagi penggunaan dalam negeri, PPN(pajak pertambahan nilai) atas penjualan BBM ditingkatkan hingga harga bensin misanya naik, maka efek kontrasilah yang terjadi, ini karena uang di dalam negeri sebagian di sedot oleh pajak atas penjualan bumi. [3]
Efeknya tidak demikian pada pajak atas ekspor minyak bumi dan gas alam, juga atas ekspor bahan mineral lainya, dulu dimasa pertumbuhan tinggi  (1969-1982), peran pajak atas ekspor minyak bumi dan gas alam amat besar, namun kenyataanya, pajak yang demiki8an besarnya tidak menciutkan kegiatan peredaran uang, yang terjadi justru dampak ekspansif anggaran, yang didapat dari penerimaan minyak dan gas bumi yang besar, dan akibatnya adalah dipacunnya pertumbuhan tinggi. Kini penerimaan pajak ekspor nonmigas tak sebesar dulu. Sementara itu untuk ketiga kalinya dalam APBN, pembayaran bunga dan cicilan utang melebihi penerimaan bantuan luar negeri.
Perubahan itu menyebabkan dunia usaha umumnya melihat RAPBN sekarang berbeda dengan masa 1970-an, pada 1970-an, faktor anggaran pengeluaran pembangunan khususnya dan keseluruhan anggaran pengeluaran, dilihat sebagai sumber pekerjaan, kini situasinya berbeda, terutama di sektor konstruksi, pembuatan gedung dan kantor pemerintahan yang biasa memanggil ratusan ribu pekerja, pratek berkurang atau terhenti, bahkan peran anggaran sebagai pemajak dunia usaha melalui PPn dan PPh semakin menonjol dirasakan,
Persepsi bergesernya peran APBN dari sumber usaha menjadi pemajak terutama disebabkan merosotnya peran minyak bumi sebagai sumber angaran dan devisa. Sebagai sumber devisa, ekspor non migas di proyeksikan menjadi ekspor migas. Proyeksi dalam RAPBN 1988-89 sebeasr 11,3 miliar dollar adalah bukti semakin kuatnya pemerintah bersandar pada nonmigas sebagai sumber devisa, eksportir yang berhasil mengekspor memperoleh keuntungan negara, dalam perluasan ekspor, semakin dijaga posisi eksternalnya, sementara itu, upaya meningkatkan pajak hanya dapat berhasil  bila yang dipajaki meningkat penghasilannya. Dari situlah kita tahu makna paket desember sebagai bagian dari rangkaian kebijak sanaan deregulasi seiring dengan merosotnya perolehan migas. Paket itu memang hebat. Tapi cukup berartikah di dalam menghadapi kendala eksternal yang menghadang pertumbuhan ekonomi? Agaknya belum.
Bagian yang amat penting dalam tata niaga di bidang impor. Di sini perubahan BUMNatau perubahan yang ditunjukan oleh BUMN yang memegang tata niaga, jadi penentu harga domestik dari barang impor, yang di perlukan produsen dalam negeri. Di lihat dari mata dagang komoditi, yakni satuan nomor CCCN, sekitar separo dari barang impor telah terbebas dari kekangan tata niaga di bidang impor. Tapi disana sini masih banyak juga yang belum pas. Ambil mata dagang besi dan baja. Dari nilai impornya yang besar sekitar 590 juta dollar yang kini dapat diimpor langsung dengan pengenaa tarif. Tata niaga impor yang baru bahkan belum berlaku untuk industri yang mengunakan bahan plastik.
Prof. Sumitro djojohadikusumo pernah mengatakan, adalah membuat perbedaan antara industri berorientasi ekspor dan industri dalam negeri penganti impor. Membuat perbedaan ini agak nya memang merupakan upaya jangka pendek yang dapat menutupi hal yang tidak efisien. Mulai redup rezeki minyak minyak dan berbagai kendala eksternal yang ada, semua itu itu menghendaki perluasan kegiatan swasta dan preoduk nasional. Resep regulasi kini agak nya di terima masyarakat sebagai jalan keluar. Boleh jadi, nanti akan muncul paket lain yang dapat mengubah pertanda yang masih samar kini menjadi lebih tenang pada tanggal 23 januari 1988. [4]
Paket deregulasi 27 oktober 1988 mengandung hal yang kongkret yang abstrak. Yang kongkret adalah dikenakannya pajak atas bunga deposito berjangka dengan tingkat 15% bagi semua deposan, berarapa pun jumlah uang yang mereka taruh. Yang abstrak adalah deregulasi yang amat subtansial sifatnya dibidang keuangan, moneter dan perbankan.
Ada baiknya pembahasan dimulai dari dengan konkret, yaitu pajak atas bunga deposito berjangka yang saat ini mencapai Rp 10,7 triliun. Pengenaan pajak dimulai sejak 14 november 1988. Jadi bagi deposan yang memperoleh bunga sebelum 14 november 1988, bunga deposito mereka tidak terkena pajak.
Bila di asumsi bahwa jumlah deposito berjangka yang tgerkena pajak berkisar pada Rp 18 triliun jagi jika da yang menarik depositonya jumlahnya tidak besar paling tinggi Rp 700 miliar, dan rata rata bunga diperoleh untuk deposito ber4jangka 1, 2, 6, dan 12bulan adalah 18% atau 1,5% perbulan, maka total bunga deposito berjangka yang kena pajak dalam satu tahun besarnya Rp 3,24 triliun. Pajak yang diperoleh pemerintah dengan adanya paket 27 oktober  1988 adalah 15% dari jumlah itu, atau lebih kurang Rp 486 miliar. Penerimaan pajak sebesar kurang dari Rp 0,5 triliun itu cukup kecil dilihat dari APBN 1988-1989, yang menargetkan pemeritah pajak total Rp 9 triliun lebih.
Keterangan menko ekuin bahwa dilihat dari penerimaan pemerintah, pajak atas bunga deposito berjangka itu kecil, artinya tampaknya bukan mengada ada. Jumlah yang kurang dari 6% dari total target penerimaan pajak, dilihat dari pajak migas, nilainya lebih kecil dari perbedaan harga 1 dolar AS perbarel dari asumsi harga minyak. Dilihat dari tingkat suku bunga, pajak atas bunga deposito berjangka menurunkan penerimaan deposan dari, katakan 18% sebelum terkena pajak menjadi 15,3% neto setelah dikenai pajak. Tingkat neto 15,3% itu lebih tinggi adri tingkat suku bunga deposito dalam mata uang dolar dei AS maupun indonesia. [5]
Kalau ada keinginan membandingkan tingkat suku bunga deposito rupiah setelah pajak atas deposito mulai berlaku, dengan deposito dalam mata uang lain , bila inflasi di indonesia sama dengan tahun tahun sebelumnya maka tingkat suku bunga riil deposito berjangka, dengan asumsi tingkat nominal 18%, dalah antara 7% dan 7,5% untuk satu tahun, setelah dikenai pajak. Tingkat suku buga rill inipun jauh di atas tingkat suku bunga rill dolar AS, yen jepang, dan DM. Maka, kalaupun ada orang atau badan yang mau memindahkan dosito berjangka rupiah mereka ke deposito mata uang lain di luar negeri, sebabnya hanyalah psikologis, terutama antisipasi tentang kemungkinan devaluasi. Isu devaluasi ini sebenarnya telah mulai mereda setelah paket deregulasi itu sendiri keluar pada tanggal 27 oktober 1988.
Kutipan :
 [1]. Abdurrachman, Drs .1991. Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan, dan Perdagangan. Jakarta : Praditya Paramitha. Hal : 168
[2]. Abdurrachman, Drs .1991. Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan, dan Perdagangan. Jakarta : Praditya Paramitha. Hal : 169
[3]. Endarmoko, Eko .1995. EKONOMI ENAK DIBACA DAN PERLU. Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti. Hal : 72
[4]. Endarmoko, Eko .1995. EKONOMI ENAK DIBACA DAN PERLU. Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti. Hal : 74
[5]. Endarmoko, Eko .1995. EKONOMI ENAK DIBACA DAN PERLU. Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti. Hal : 76
Daftar Pustaka
Abdurrachman, Drs .1991. Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan, dan Perdagangan. Jakarta : Praditya Paramitha
Endarmoko, Eko .1995. EKONOMI ENAK DIBACA DAN PERLU. Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti

No comments:

Post a Comment