RAHMAT ARIFAN/SI 3
Belanda tiba pertama kali di wilayah Nusantara pada tahun 1596, ketika sebuah armada yang dipimpin Cornelis de Houtman mendarat di banten. Kedatangan orang Belanda ke Nusantara untuk mencari wilayah penghasil rempah-rempah. Belanda diterima dengan baik oleh penguasa dan pedagang banten. Belanda kemudian berulah dengan meminta agar banten menyediakan lada dalam jumlah banyak namun tidak diimbangi dengan pembayaran yang memadai. Tentu saja rakyat banten menolak permintaan belanda.
Akibatnya orang belanda menembaki pelabuhan tersebut dari kapal dan kemudian pergi melanjutkan perjalanan ke tempat lain.Berita tentang perlakuan kasar Belanda terhadap para pedagang Banten tersebar sampai ke kota-kota pelabuhan pantai utara Pulau Jawa lainnya. Akibatnya, ketika armada Belanda itu singgah disana, para penguasa menolak kedatangan mereka. Pelayaran Belanda pertama ini akhirnya hanya sampai Bali dan kembali ke Negerinya.
Pada tahun 1598, sebuah armada Belanda yang baru di bawah Jacob van Neck, Warwijck, dan Heemskerck tiba di banten. Pada kedatangannya yang kedua ini, orang-orang Belanda diterima dengan baik oleh penguasa banten karena mereka bersikap lebih baik dan menyesuaikan diri dengan kondisi setempat. Dalam perkembangannya, perdagangan rempah-rempah di Nusantara menimbulkan persaingan keras antara bangsa-bangsa Eropa, seperti Belanda, Portugis, Spanyol, dan Inggris. Untuk menghadapi persaingan itu, Belanda membentuk Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). VOC terdiri atas tujuh belas anggota yang disebut Heeren Zeventien. Kepada VOC diberikan hak khusus untuk berdagang, berlayar, dan memegang kekuasaan di kawasan antara Tanjung Harapan dan Kepulauan Solomon.
Tujuan pendirian VOC ialah menghilangkan persaingan antara sesama pedagang Belanda, menyatukan pedagang Belanda, dan mencari keuntungan besar. VOC juga diberikan hak istimewa seperti hak monopoli, membuat mata uang, perjanjian, dan mempunyai militer sendiri, dengan semua keistimewaan VOC melakukan tindakaan sewenang-wenang hal tersebut membuat rakyat indonesia tidak senang dan melakukan perlawanan terhadap VOC diberbagai wilayah di indonesia.[1]
Perlawanan rakyat Mataram (1628-1629)
Sultan Agung (1613-1645) adalah raja terbesar Mataram yang bercita-cita mempersatukan seluruh Jawa di bawah Mataram, dan mengusir belanda dari Pulau Jawa. Untuk merwujudkan cita-citanya tersebut, ia bermaksud membendung usaha-usaha Kompeni menjalankan penetrasi politik dan monopoli perdagangan. Pada tanggal 18 Agustus 1618, kantor dagang VOC di Jepara diserbu oleh Mataram. Serbuan ini merupakan reaksi pertama yang dilakukan oleh Mataram terhadap VOC. Pihak VOC kemudian melakukan balasan dengan menghantam pertahanan Mataram yang ada di Jepara. Sejak itu, sering terjadi perlawanan antara keduanya, bahkan Sultan Agung berketetapan untuk mengusir Kompeni dari Batavia.
Serangan besar-besaran terhadap Batavia, dilancarkan dua kali. Serangan pertama, pada bulan Agustus 1628 dan dilakukan dalam dua gelombang. Gelombang I di bawah pimpinan Baurekso dan Dipati Ukur, sedangkan gelombang II di bawah pimpinan Suro Agul-Agul, Manduroredjo, dan Uposonto. Batavia dikepung dari darat dan laut selama tiga bulan, tetapi tidak menyerah. Bahkan sebaliknya, tentara Mataram akhirnya terpukul mundur.Perlawanan pertama mengalami kegagalan
Perlawanan rakyat Mataram kedua terhadap VOC di Batavia dilaksanakan tahun 1629. Sultan Agung menyerang Batavia untuk kedua kalinya yang dipimpin oleh Dipati Puger dan Dipati Purbaya. Pasukan Mataram berusaha membendung sungai Citarum yang melewati kota Batavia. Pembendungan itu pun bermaksud agar VOC di Batavia kekurangan air dan mudah kelelahan. Strategi ini ternyata cukup efektif, terbukti bangsa Belanda kekurangan air dan terjangkit wabah penyakit malaria dan kolera yang sangat membahayakan jiwa manusia Perlawanan pasukan Mataram yang kedua terpaksa mengalami kegagalan.[2]
Perlawanan rakyat Banten (1651-1682)
Pertentangan antara banten dengan VOC diawali Pada tahun 1619 J.P Coen berhasil merebut Jayakarta. VOC yang berpusat di Batavia ingin menguasai Selat Sunda, karena Selat Sunda merupaka daerah perdagangan Banten yang sangat penting, langkah Belanda ditentang terus oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Perlawanan Banten meningkat setelah Sultan Ageng Tirtayasa naik tahta pada tahun 1651.
Untuk melemahkan kerajaan banten VOC melakukan politik devide et impera. Pada tahun 1671 Sultan Ageng Tirtoyoso mengangkat putra mahkota (dikenal dengan sebutan Sultan Haji karena pernah naik haji) sebagai pembantu yang mengurusi urusan dalam negeri, sedangkan urusan luar negeri dipercayakan kepada Pangeran Purboyo ( adik Sultan Haji). Atas hasutan VOC, Sultan Haji mencurigai ayahnya dan menyatakan bahwa ayahnya ingin mengangkat Pangeran Purboyo sebagai raja Banten. Pada tahun 1680, Sultan Haji berusaha merebut kekuasaan, sehingga terjadilah perang terbuka antara Sultan Haji yang dibantu VOC melawan Sultan Ageng Tirtoyoso (ayahnya) yang dibantu Pangeran Purboyo. Sultan Ageng Tirtoyoso dan Pangeran Purboyo terdesak ke luar kota, dan akhirnya Sultan Ageng Tirtoyoso berhasil di tawan oleh VOC sedangkan Pangeran Purboyo mengundurkan diri ke daerah Priangan. Pada tahun 1682 Sultan Haji dipaksa oleh VOC untuk menandatangani suatu perjanjian yang isinya
a. VOC mendapat hak monopoli dagang di Banten dan daerah pengaruhnya.
b. Banten dilarang berdagang di Maluku.
c. Banten melepaskan haknya atas Cirebon.
d. Sungai Cisadane menjadi batas wilayah Banten dengan VOC.[3]
Perlawanan rakyat Makasar (1666-1667)
Pada abad ke-17 di Sulawesi Selatan telah muncul beberapa kerajaan kecil seperti Gowa, Tello, Sopeng, dan Bone. Di antara kerajaan tersebut yang muncul menjadi kerajaan yang paling kuat ialah Gowa, yang lebih dikenal dengan nama Makasar yang mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Hasanudin antara tahun 1654 - 1669.
Kerajaan Makasar menjadi pesaing berat bagi kompeni VOC pelayaran dan perdagangan di wilayah Indonesia Timur. Persaingan dagang tersebut terasa semakin berat untuk VOC sehingga VOC berpura-pura ingin membangun hubungan baik dan saling menguntungkan. Upaya VOC yang sepertinya terlihat baik ini disambut baik oleh Raja Gowa dan kemudian VOC diizinkan berdagang secara bebas. Setelah mendapatkan kesempatan berdagang dan mendapatkan pengaruh di Makasar, VOC mulai menunjukkan perilaku dan niat utamanya, yaitu mulai mengajukan tuntutan kepada Sultan Hasanuddin.
Tuntutan VOC terhadap Makasar ditentang oleh Sultan Hasanudin dalam bentuk perlawanan dan penolakan semua bentuk isi tuntutan yang diajukan oleh VOC. Oleh karena itu, kompeni selalu berusaha mencari jalan untuk menghancurkan Makassar sehingga terjadilah beberapa kali pertempuran antara rakyat Makassar melawan VOC.
Pertempuran pertama terjadi pada tahun 1633 dan pertempuran kedua terjadi pada tahun 1654. Kedua pertempuran tersebut diawali dengan perilaku VOC yang berusaha menghalang-halangi pedagang yang masuk maupun keluar Pelabuhan Makasar. Dua kali upaya VOC tersebut mengalami kegagalan karena pelaut Makasar memberikan perlawanan sengit terhadap kompeni. Pertempuran ketiga terjadi tahun 1666 - 1667 dalam bentuk perang besar. Ketika VOC menyerbu Makasar, pasukan kompeni dibantu oleh pasukan Raja Bone (Aru Palaka) dan Pasukan Kapten Yonker dari Ambon. Pasukan angkatan laut VOC, yang dipimpin oleh Speelman, menyerang pelabuhan Makasar dari laut, sedangkan pasukan Aru Palaka mendarat di Bonthain dan berhasil mendorong suku Bugis agar melakukan pemberontakan terhadap Sultan Hasanudin serta melakukan penyerbuan ke Makasar.
Peperangan berlangsung seru dan cukup lama, tetapi pada saat itu Kota Makassar masih dapat dipertahankan oleh Sultan Hasanudin. Pada akhir kesempatan itu, Sultan Hasanudin terdesak dan dipaksa untuk menandatangani perjanjian perdamaian di Desa Bongaya pada tahun 1667.
Perlawanan rakyat Makasar akhirnya mengalami kegagalan. Salah satu faktor penyebab kegagalan rakyat Makasar adalah keberhasilan politik adu domba Belanda terhadap Sultan Hasanudin dengan Aru Palaka. Perlawanan rakyat Makasar selanjutnya dilakukan dalam bentuk lain, seperti membantu Trunojoyo dan rakyat Banten setiap melakukan perlawanan terhadap VOC.
Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667, yang isinya
1. Wilayah Makasar terbatas pada Goa, wilayah Bone dikembalikan kepada Aru Palaka.
2. Kapal Makasar dilarang berlayar tanpa izin VOC.
3. Makasar tertutup untuk semua bangsa, kecuali VOC dengan hak monopolinya.
4. Semua benteng harus dihancurkan, kecuali satu benteng Ujung Pandang yang kemudian diganti dengan nama Benteng Roterrdam.
5. Makasar harus mengganti kerugian perang sebesar 250.000 ringgit.[4]
Perlawanan Rakyat Maluku (1817)
Perlawanan yang dilakukan oleh Thomas Matulesi (Pattimura) terjadi di Saparua, yaitu sebuah kota kecil di dekat pulau Ambon. Adapun Sebab-sebab terjadinya perlawanan ini adalah :
a. Rakyat Maluku menolak kehadiran Belanda karena pengalaman mereka yang menderita dibawah VOC
b. Pemerintah Belanda menindas rakyat Maluku dengan diberlakukannya kembali penyerahan wajib dan kerja wajib
c. Dikuasainya benteng Duursteide oleh pasukan Belanda
Akibat penderitaan yang panjang rakyat menetang Belanda dibawah pimpinan Thomas Matulesi atau Pattimura. Tanggal 15 Mei 1817 rakyat Maluku mulai bergerak dengan membakar perahu-perahu milik Belanda di pelabuhan Porto. Selanjutnya rakyat menyerang penjara Duurstede. Residen Van den Berg tewas tertembak dan benteng berhasil dikuasai oleh rakyat Maluku. Pada bulan Oktober 1817 pasukan Belanda dikerahkan secara besar-besaran, Belanda berhasil menangkap Pattimura dan kawan-kawan dan pada tanggal 16 Desember 1817 Pattimura dijatuhi hukuman mati ditiang gantungan, dan berakhir perlawanan rakyat Maluku.[5]
DAFTAR PUSTAKA
[2]Poesponegoro, marwati djoned dan nugroho notosusanto. 1984.sejarah nasional indonesia IV.jakarta.balai pustaka
No comments:
Post a Comment