Halaman

Kelahira Muhammadiyah dan Pemikiran K.H. AHMAD DAHLAN Mengenai Pendidikan Indonesia pada masa Kolonialisme

Muhammad Nur/ SI IV/B

Pada awal abad ke-20, dunia pendidikan islam masih ditandai oleh adanya system pendidikan yang dikotomis antara pendidikan agama dengan pendidikan umum. Di satu segi terdapat madrasah yang mengajarkan pendidikan agama tanpa mengajarkan pengetahuan umum, dan disatu sisi terdapat lembaga pendidikan umum yang tidak mengajarkan agama. Pendidikan islam juga tidak memiliki visi, misi dan tujuan yang jelas, terutama jika dihubungkan dengan perkembangan masyarakat. Umat islam berada dalam kemunduran yang diakibatkan oleh pendidikannya yang tradisional.
K.H Ahmad Dahlan adalah tokoh pembaru pendidikan islam dari jawa yang berupaya menjawab permasalahan umat tersebut diatas. Dialah tokoh yang berusaha memasukkan pendidikan umum kedalam kurikulum madrasah, dan memasukkan pendidikan agama ke dalam lembaga pendidikan umum. Melalui pendidikan, K.H Ahmad Dahlan menginginkan agar umat dan bangsa Indonesia memiliki jiwa kebangsaan dan kecintaan kepada tanah air. Dialah tokoh yang telah berhasil mengembangkan dan menyebarluaskan gagasan pendidikan modern ke seluruh pelosok tanah air melalui organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, dan hingga kini makin menunjukkan eksistensi secara fungsional.

A. Riwayat Hidup
K.H Ahmad Dahlan, dilahirkan pada tahun 1869 di Yogyakarta dengan nama Darwisy. Ayahnya bernama Kiai Haji Abu Bakar Bin Kiai Sulaiman, seorang khatib tetap di Masjid Sultan di kota tersebut. Ibunya adalah anak seorang penghulu, Haji Ibrahim.
Sewaktu kecil, Ahmad Dahlan tidak sempat menikmati pendidikan Barat untuk anak-anak kaum ningrat yang lulusannya biasanya disebut kapir landa. Malahan ia mendapatkan pendidikan tradisional di Kauman, Yogyakarta, di mana ayahnya sendiri, Kiai Haji Abu Bakar menjadi guru utamanya yang mengajarkan pelajaran-pelajaran dasar mengenai agama islam. Seperti juga anak-anak kecil lain ketika itu, Ahmad Dahlan dikirim ke pesantren di Yogyakarta dan pesantren-pesantren lain di beberapa tempat di Jawa. Di lembaga-lembaga pendidikan inilah, ia belajar pelajaran qira'ah, tafsir, fiqih, dan bahasa Arab.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di madrasah dan pesantren di Yogyakarta dan sekitarnya, ia berangkat ke Mekkah untuk pertama kali pada 1890. Selama setahun ia belajar disana. Salah seorang gurunya adalah Syaikh Ahmad Khatib, seorang pembaru dari Minangkabau, Sumatra Barat. Sekitar tiga tahun kemudian, 1903, untuk kedua kalinya ia berkunjung ke Mekkah. Kali ini ia menetap lebih lama, dua tahun. Sumber lain menyebutkan bahwa kakeknya dari garis ibu bernama Haji Ibrahim, yang merupakan seorang penghulu di Yogyakarta.
Diyakini, bahwa selama tinggalnya di kota suci Mekkah itulah Ahmad Dahlan bertemu dengan ide-ide pembaharuan Islam yang dipelopori Jamaluddin Al-Afghani, Muhamad Abduh dan Rasyid Ridha.[1]
Ahmad Dahlan bukan seorang penulis sebagaimana Muhammad Natsir. Oleh karena itu, gagasan-gagasan pemikirannya ia sampaikan secara lisan dan karya nyata. Untuk itu ia lebih dikenal sebagai pelaku dibandingkan sebagai pemikir. Ahmad Dahlan juga menjadi khatib di Masjid Kasultanan Yogyakarta, di samping sebagai guru di sekolah-sekolah pemerintah seperti Kweekschool di Yogyakarta dan OSVIA di Magelang.
Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, Ahmad Dahlan telah membuat terobosan dan strategi dakwah; ia memasuki perkumpulan Budi Utomo. Melalui perkumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya. Lebih dari itu, karena anggota-anggota Budi Utomo pada umumnya bekerja di sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah, Ahmad Dahlan berharap dapat mengajarkan pelajaran agama di sekolah-sekolah pemeritah. Rupanya, pelajaran dan cara mengajar agama yang diberikan Ahmad Dahlan dapat diterima baik oleh anggota-anggota Budi Utomo. Terbukti, mereka menyarankan agar Ahmad Dahlan membuka sendiri sekolah secara terpisah. Sekolah tersebut hendaknya didukung oleh suatu organisasi yang bersifat permanen. Melalui organisasi tersebut, selain system pengajaran dapat diatur sedemikian rupa, juga lebih dapat terhindar dari kebangkrutan manakala pendirinya telah meninggal, sebagaimana system pesantren tradisional ketika kiainya telah wafat.[2]
Akhirnya, pada 18 November 1912, Kiai Haji Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta. Organisasi ini mempunyai maksud "menyebarkan pengajaran kanjeng Nabi Muhammad Saw. kepada penduduk bumi putra" dan " memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya". Untuk mencapai tujuan tersebut, organisasi berupaya mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh di mana dibicarakan masalah-masalah Islam, mendirikan wakaf dan masjid-masjid serta menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, surat-surat kabar dan majalah-majalah.
Dalam mengarahkan kegiatan-kegiatan organisasi ini dalam tahun-tahun pertama tidaklah mengadakan pembagian tugas yang jelas diantara anggota pengurus. Hal ini semata-mata disebabkan oleh ruang gerak yang masih sangat terbatas, yaitu sampai sekurang-kurangnya tahun 1917 pada daerah Kauman, Yogyakarta, saja. Dahlan sendiri aktif bertabligh, aktif pula mengajar di sekolah Muhammadiyah, aktif dalam memberikan bimbingan kepada masyarakat untuk melakukan berbagai macam kegiatan seperti shalat, dan dalam memberikan bantuan kepada fakir miskin dengan mengumpulkan dana dan pakaian untuk mereka. Sifat sosial dan pendidikan ari Muhammadiyah memanglah telah diletakkan di dalam masa-masa awal tersebut.[3]
Sudah barang tentu Kiai Haji Ahmad Dahlan tidak bekerja sendirian. Ia dibantu oleh kawan-kawannya dari Kauman, seperti Haji Sujak, Haji Fachruddin, Haji Tamim, Haji Hisyam, Haji Syarwani, dan Haji Abdulgani. Sedangkan anggota Budi Utomo yang paling keras mendukung segera didirikan sekolah agama yang bersifat modern adalah Mas Rasyidi, siswa Kweekschool di Yogyakarta,dan R. Sosrosugondo seorang guru di sekolah tersebut. Sekitar sebelas tahun kemudian setelah organisasi Muhammadiyah didirikan, Kiai Haji Ahmad Dahlan meninggal dunia pada tanggal 23 Februari 1923.

B. Pemikiran Pendidikan
Ahmad Dahlan memiliki pandangan yang sama dengan Ahmad Khan ( tokoh pembaru Islam di India ) mengenai pentingnya pembentukan kepribadian. Ahmad Khan sangat bangga dengan pendidikan para pendahulunya dan mengakui bahwa pendidikan yang demikian telah menghasilkan orang-orang besar sepanjang sejarahnya. Akan tetapi Ahmad Khan juga mengakui bahwa meniru metode pendidikan para pendahulunya tidak akan membuahkan hasil yang diinginkan. Metode-metode baru yang sesuai dengan zaman harus digali. Ahmad Khan berpandangan bahwa pendidikan sangat penting dalam pembentukan kepribadian. Sayyid Ahmad Khan tidak menganjurkan adanya masyarakat yang sekuler atau pluralis, meskipun ia mencoba mendorong Muslim untuk berhubungan dengan orang-orang Barat, untuk makan bersama mereka, untuk menghormati agama mereka, untuk mempelajari ilmu-ilmu mereka, dan lain-lainnya.[4]
Sebagaimana halnya Ahmad Khan, Ahmad Dahlan menganggap bahwa pembentukan kepribadian sebagai target penting dari tujuan-tujuan pendidikan. Ia berpendapat bahwa tak seorangpun mencapai kebesaran di dunia ini dan di akherat kecuali mereka yang mempunyai kepribadian baik. Seorang yang berkepribadian baik adalah orang yang mengamalkan ajaran-ajaran Al-qur'an dan hadis. Karena nabi merupakan contoh pengamalan Al-qur'an dan Hadis, maka dalam proses pembentukan kepribadian siswa harus diperkenalkan pada kehidupan dan ajaran-ajaran Nabi.
Selain itu, Ahmad Dahlan berpandangan bahwa pendidikan harus membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mencapai kemajuan materil. Oleh karena itu, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat di mana siswa itu hidup. Dengan pendapatnya yang demikian itu, sesungguhnya Ahmad Dahlan mengkritik kaum tradisionalis yang menjalankan model pendidikan yang diwarisi secara turun temurun tanpa mencobamelihat relevansinya dengan perkembangan zaman. Pemikiran Ahmad Dahlan seperti itu, merupakan respon Prakmatis terhadap kondisi ekonomi umat Islam yang tidak menguntungkan Indonesia. Seperti dapat diketahui bahwa di bawah kolonialisme Belanda, umat Islam tertinggal secara ekonomi karena tidak memiliki akses ke sektor-sektor pemerintah atau perusahaan-perusahaan swasta. Situasi yang demikian itu menjadi perhatian Ahmad Dahlan yang berusaha memperbaharui sistem pendidikan umat islam.[5]
Ahamad Dahlan sadar, bahwa tingakat partisipasi muslim yang rendah dalam sektor-sektor pemerintah itu karena kebijakan pemerintah kolonial yang menutup peluang bagi muslim untuk masuk.  Berkaitan dengan kenyataan serupa ini, maka Ahmad Dahlan berusaha memperbaiki dengan memberikan pencerahan tentang pentingnya pendidikan yang sesuai dengan perkembangan zaman bagi kemajuan bangsa. Berkaitan dengan masalah ini Ahmad Dahlan mengutip ayat 13 surat Al-Ra'd yang artinya: seungguhnya Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.[6]
Bedasarkan ide-idenya itu, terlihat bahwa Ahmad Dahlan mengunakan pendekatan self corrective terhadap umat islam. Menurut Ahmad Dahlan bahwa pandangan muslim tradisional terlalu menitikberatkan pada aspek spriritual dalam kehidupan sehari-hari saja. Sikap semacam ini mengakibatkan kelumpuhan atau bahkan kemunduran dunia Islam, sementar kelompok yang lain telah mengalami kemajuan dalam bidang ekonomi. Ahmad Dahlan terobsesi dengan kekuatan sistem pendidikan barat seperti terlihat pada sekolah-sekolah misonaris maupun pemerintah. Ahmad Dahlan berpandangan bahwa kemajuan materil merupakan prioritas karena dengan cara itu kesejahteraan merekan akan bisa sejajar dengan kaum kolonial.
Upaya mewujudkan visi, misi dan tujuan pendidikan sebagaimana tersebut diatas dilaksanakan lebih lanjut melalui organisasi Muhammadiyah yang didirikan pada tanggal 18 November 1912 M atau 8 Dzulhijah 1330 H. Dengan pendirian organisasi tersebut turu mempercepat apa yang di cita-citakan oleh Ahmad Dahlan yaitu dengan mendirikan sekolah-sekolah guna untuk memajukan kesejahteraan kaum Muslim di kemudian harinya. Akan tetapi sekolah yang didirikan oelh Ahmad Dahlan ini sangat berbeda dengan sekolah-sekolah yang pernah ada sebelumnya, biasanya di sekolah biasa antara pesantren dengan sekolah umum sangat jauh berbeda. Contonya di pesantren mempelajari tentang pengetahuan agama saja tanpa mempelajari pengetahuan umum dan bersifat masih tradisional dan sekolah umum juga hanya mempelajari pengetahuan umum saja tanpa ada mempelajari pengetahuan agama biasanya bersifat moderen. Hal inilah yang membuat umat Muslim tertinggal dengan golongan yang lainnya. Akan tetapi di sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan sistem seperti tersebut di hapuskan, di sekolah ahmad Dahlan antara pengetahuan Agama dan pengetahuan Umum di satukan sehingga para siswa dapat berfikir lebih kritis untuk kemajuan bangsanya di kemudian hari.[7]
Perjuangan Ahmad Dahlan tidaklah mudah banyak tantangan dan rintangan yang harus di hadapi Ahmad Dahlan dalam mewujudkan cita-citanya tersebut. Tantangan tersebut datang dari kaum tradisionalis yang menentang pemikiran dari Ahmad Dahlan, akan tetapi beliau tetap gigih dalam menjalankan tekadnya tersebut. Tak jarang beliau menjemput anak-anak muridnya untuk bersekolah di sekolah yang beliau dirikan tersebut, dan banyak pula cemeehan yang beliau dapat dari orang tua muridnya tersebut, namun demikian Ahmad Dahlan tetap sabar dalam menjalankan hasil pemikirannya tersebut sehingga lama-kelamaan hasil pemikiranya tersebut di sambut baik oleh masyarakat dan mulai berkembang pesat sampai saat sekarang ini. Dan Muhammadiyah pun menjadi organisasi yang besar dan memilki peran yan penting bagi bangsa Indonesia pada saat sekarang ini, hal itu bisa terwujud tidak terlepas dari peran yang sangat besat dari ulama yang memilki kesabaran, keuletan, kepiawayan dan kegigihan dalam memperjuangakan hasil pemikirangnya tersebut yaitu K.H. Ahmad Dahlan. Sosok ulama yang sangat di segani dan membawa pencerahan bagi umat islam dan indonesia khususnya. Jadi perjuangan beliau tidak dapat dilupakan.
C. Penutup
            Berdasarkan paparan tersebut diatas dapat dikemukakan beberapa catatan tentang Ahmad Dahlan sebagai berukut:
          Pertama, bahwa dilihat dari kepribadianya, Ahmad Dahlan termasuk seorang ulama yang memilki komitmen kepada cita-cita kemajuan bangsa (khusunya umat Islam) dan negara Republik Indonesia, dengan berdasarkan pada upaya mewujudkan cita-cita ajaran Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam.
             Kedua, bahwa komitmen dan cita-cita Ahmad Dahlan tersebut diatas didasarkan pada adanya permasalahan dan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia dan Umat islam pada saat itu. Bangsa Indonesia pada saat itu masih dalam keadaan terjajah oleh Belanda yang membawa penderitaan lahir dan batin. Sedangkan sebagai umat Islam yang merupakan bagian terbesar bangsa Indonesia berada dalam keterbelakangan dalam segala bidang: ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sebagainya.
Ketiga, Ahmad Dahlan melihat bahwa diantara faktor penyebab dari kemunduran bangsa Indonesia, khusunya umat Islam adalah karena kebodohan dan keterbelakangan dalam pengusaan ilmu pengetahuan dan teknologi moderen, pemahaman ajaran Islam yang sempit (yang hanya memperhatikan urusan ritualitas belaka) serta tidak sejalan dengan Al-qur'an dan Hadis, serta belum memiliki kemampuan untuk menghimpun potensi melalui organisasi.
Keempat, sejalan dengan latarbelakang penyebab terjadinya keterbelakangan bangsa Indonesia dan umat Islam di atas, maka Ahmad Dahlan melihat bahwa upaya untuk mengatasinya adalah dengan cara kembali kepada ajaran Islam yang murni sebagaiman terdapat dalam Al-qur'an dan Hadis dengan mengunakan pendidikan dan Dakwah sebagai sasaran yang strategis.
Kelima, usaha Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan telah terlihat pada perannya mengintegrasikan ilmu agama dan umum, dengan cara mengajarkan kedua ilmu tersebut di madrasah. Sedangkan usaha Ahmad Dahlam dalam bidang dakwah terlihat pada upayanya melakukan dakwah bil-hal, yaitu dakwah yang menekankan pada perbuatan dan penciptaan program-program yang menyentuh langsung perbaikan kehidupan keagamaan dalam arti seluas-luasnya, yaitu pribadatan, kesehatan, ekonomi, dan lain sebagainya.
Keenam, sebagai tokoh pembaru dalam bidang pendidikan, dakwah dan sosial keagamaan, Ahmad Dahlan menghadapi tantangan dan hambatan yang amat keras dari kaum tradisionalis. Namun berkat kesabaran, keteguhan, keuletan, dan kepiawayannya dalam menyampaikan ajaran-ajaran agama, cita-cita dan obsesi Ahmad Dahlan dapat terlaksana. Hal ini terlihat dari meluasnya gerakan dan program kerjanya ke seluruh Indonesia melalui organisasi Muhammadiyah yang didirikannya.[8]

Notes:
1.      Hasbullah, Drs. 1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: atas kerjasama dengan lembaga-lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan (LSIK).hal 94
2.      M.A., Nata, Abuddin,H. Dr. Prof. 2005. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Hal 98
3.      Dra. Zuharini, dkk.1992. Sejarah Pendidikan Islam. PT Bumi Aksara. Jakarta. Hal  171
4.      M.A., Nata, Abuddin,H. Dr. Prof. 2005. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Hal 102
5.      Hasbullah, Drs. 1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: atas kerjasama dengan lembaga-lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan (LSIK).hal 100
6.      M.A., Nata, Abuddin,H. Dr. Prof. 2005. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Hal 101
8.      M.A., Nata, Abuddin,H. Dr. Prof. 2005. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Hal 105

Daftar Pustaka
Ø  Hasbullah, Drs. 1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: atas kerjasama dengan lembaga-lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan (LSIK).
Ø  M.A., Nata, Abuddin,H. Dr. Prof. 2005. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Ø  Dra. Zuharini, dkk.1992. Sejarah Pendidikan Islam. PT Bumi Aksara. Jakarta.


No comments:

Post a Comment