Silvia Nora/SIV/B
Pada tanggal 8 Desember 1941 secara tiba-tiba Jepang menyerbu ke Asia Tenggara dan membom Pearl Harbor yakni pangkalan terbesar Angkatan Laut Amerika di Pasifik.
Dalam gerakannya ke selatan Jepang telah pula menyerbu ke Indonesia (Hindia Belanda). Pada tanggal 11 1942 Januari tentaranya telah mendarat di Tarakan, Kalimantan Timur, dan keesokan harinya Komando Belanda di pulau itu menyerah pada tanggal 12 januari 1942. Tidak lama kemudian pada tanggal 24 Januari 1942, Balik papan yang merupakan sumber minyak kedua jatuh ketangan tentara Jepang. Setelah pada tanggal 29 Januari 1942 Pontianak berhasil didudukinya menyusullah pada tanggal 3 Februari 1942 Samarinda. Sesampainya di Kotabangun pada tanggal 5 Februari 1942 tentara Jepang melanjutkan penyerbuannya ke lapangan terbang Samarinda II, yang waktu itu masih dikuasai oleh tentara Hindia Belanda (KNIL). Dengan berhasil direbutnya lapangan terbang itu pada hari berikutnya, maka dengan mudah pula Banjarmasin diduduki oleh tentara Jepang pada tanggal 10 Februari 1942.
Dalam gerakannya ke Indonesia, pada tanggal 14 Februari 1942 diturunkan pasukan payung di Palembang. Dua hari kemudian yakni pada tanggal 16 Februari 1942 Palembang dan sekitarnya berhasil diduduki. Dengan jatuhnya Palembang itu sebagai sumber minyak maka terbukalah pulau Jawa bagi tentara Jepang. Di dalam menghadapi ofensif Jepang, pernah dibentuk suatu komando gabungan oleh pihak Serikat, yakni yang disebut ABDACOM(American British Dutch Australian Command) yang markas-besarnya ada di Lembang, dekat Bandung dengan panglimanya Jenderal Sir Archibald Wavell. Sedangkan Letnan Jenderal H. Ter Poorten diangkat sebagai panglima tentara Hindia Belanda (KNIL). Pada akhir Februari 1942 Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Tjarda van Starkenborgh telah mengungsi ke Bandung disertai oleh penjabat-penjabat tinggi pemerintahan.
Waktu itu dikerahkan kekuatan Serikat untuk mempertahankan kekuasaan Hindia Belanda di pulau Jawa. Kekuatan itu terdiri dari tiga resimen infanteri Belanda, tiga batalyon Australia dengan dukungan dua kompi pasukan berlapis baja, selanjutnya satu kompi taruna Akademi Militer Kerajaan (KMA) dan Korps Pendidikan Perwira Cadangan (CORO) di Jawa Barat. Kekuatan lainnya di Jawa Tengah terdiri dari empat batalyon infanteri, sedangkan di Jawa Timur terdiri dari tiga batalyon pasukan bantuan Indonesia dan satu batalyon mariner, yang kesemuanya dibantu oleh satuan-satuan artileri, diantaranya terdapat satuan dari Inggris dan Amerika.
Kekuatan Serikat tersebut berhadapan dengan pasukan-pasukan Jepang yang mendarat Divisi ke-2 di Jawa Barat dan Divisi ke-48 di Jawa Tengah, dekat perbatasan Jawa Timur. Kekuatan Jepang ini yang khusus dipergunakan untuk merebut pulau Jawa berada di bawah komando Tentara Keenambelas yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Hitoshi Imamura.
Pasukan-pasukannya yang ditempatkan di Jawa Barat terdiri dari tiga resimen infanteri dan satu resimen kavaleri, zeni dan angkutan. Kekuatannya bertambah dengan adanya satu detasemen dari Divisi ke-38 yang terdiri dari dua batalyon infanteri di bawah Kolonel Shoji. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur pasukan-pasukannya terdiri dari tiga resimen infanteri beserta sebuah brigade infanteri dengan bantuan satu batalyon pasukan perintis dan beberapa satuan artileri dan zeni. Di samping itu terdapat pula Brigade Sakaguchi yang sebelum mendarat di Jawa, pasukannya telah merebut Tarakan, Balikpapan, dan Banjarmasin di Kalimantan.
Kekuatan invansi Jepang di Jawa itu menunjukan jumlah yang lebih besar daripada kekuatan pihak Serikat. Disamping itu pihak jepang memiliki bantuan udara taktis. Sebaliknya pihak Belanda tidak memilikinya karena kekuatan udarannya sudah dihancurkan pada pertempuran-pertempuran pertama di bagian-bagian lain Indonesai maupun Malaya.
Pertempuran-pertempuran di Jawa berakhir dengan kemenangan di pihak Jepang dalam waktu yang sangat singkat. Pada tanggal 1 Maret 1942 Tentara Keenambelas Jepang berhasil mendarat di tiga tempat sekaligus, yakni di Teluk Banten, di Eretan Wetan(Jawa Barat) dan di Kragan (Jawa Tengah).[1]
Setelah pendartan itu, ibukota Batavia (Jakarta) pada tanggal 5 Maret 1942 diumumkan sebagai "kota terbuka" yang berarti bahwa kota itu tidak akan dipertahankan oleh pihak Belanda. Segera setelah jatuhnya kota Batavia ke tangan mereka, tentara ekspedisi Jepang langsung bergerak ke selatan dan berhasil menduduki Buitenzorg(Bogor).
Dalam rangka usaha menyerbu kota Bandung, pada tanggal 1 Maret Jepang telah mendaratkan satu detasemen yang dipimpin oleh Kolonel Toshinori Shoji dengan kekuatan 5.000 orang di Eretan, sebelah Barat Cirebon. Pada hari yang sama Kolonel Shoji telah berhasil menduduki Subang. Momentum itu mereka manfaatkan dengan terus menerobos ke lapangan terbang Kalajati, hanya 40 km dari Bandung. Setelah pertempuran singkat pasukan-pasukan Jepang merebut lapangan terbang tersebut.
Keesokan harinya tentara Hindia Belanda berusaha merebut Subang kembali, tetapi ternyata mereka tidak berhasil. Serangan balasan kedua atas subang dicoba pada tanggal 3 Maret 1942 dan sekali lagi tentara Hindia Belanda dipukul mundur. Pada tanggal 4 Maret 1942 untuk terakhir kalinya tentara Hindia Belanda mengadakan serangan lagi dalam usaha untuk merebut Kalijati dan sekali lagi mengalami kegagalan dengan menderita ratusan korban.
Pada tanggal 5 Maret 1942 tentara Jepang bergerak dari kalijati untuk menyerbu Bandung dari arah utara. Mula-mula digempurnya pertahanan di Ciater, sehingga tentara Hindia belanda mundur ke Lembang dan menjadikan kota tersebut sebagai pertahanan yang terakhir. Tetapi tempat ini pun tak berhasil dipertahankan sehingga pada tanggal 7 Maret 1942 petang hari dikuasai oleh tentara Jepang.
Operasi kilat Detasemen Shoji itu telah mengakibatkan kritisnya posisi tentara KNIL dalam pertempuran di Jawa Barat, sehingga kapitulasi pasukan-pasukan yang dikonsentrasikan disekitar Bandung dalam beberapa hari dapat menjadi kemungkinan yang serius.
Tak lama sesudah berhasilnya didudukinya posisi tentara KNIL di Lembang, maka pada tanggal 7 Maret 1942 pada petang harinya pasukan-pasukan Belanda di sekitar Bandung meminta penyerahan lokal. Kolonel Shoji menyampaikan usul penyerahan lokal dari pihak Belanda ini kepada Jenderal Imamura tetapi tuntutannya adalah penyerahan total daripada semua pasukan Serikat di Jawa(dan bagian Indonesia lainnya). Jika belanda tidak mengindahkan ultimatum Jepang, maka kota Bandug akan dibom dari udara. Jenderal Imamura pun mengajukan tuntutan lainnya agar Gubernur Jenderal Belanda turut dalam perundingan di Kalijati yang diadakan selambat-lambatnya pada hari berikutnya. Jika tuntutan ini dilanggar, pemboman atas kota Bandung dari udara akan segera dilaksanakan. Akhirnya pihak belanda memenuhi tuntutan Jepang dan keesokan harinya, baik Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer maupun Panglima Tentara Hindia Belanda serta beberapa penjabat tinggi militer dan seorang penterjemah pergi ke Kalijati. Di sana mereka kemudian berhadaapan dengan Letnan Jenderal Imamura yang datang dari Batavia(Jakarta). Hasil pertemuan kedua belah pihak adalah kapitulasi tanpa syarat Angkatan Perang Hindia Belanda kepada Jepang.
Keadaan ini memaksa Gubernur Jenderal Hindia Balanda, Tjarda Van Starkenborg Stachouwer, menyerah tanpa syarat terhadap tentara Jepang pimpinan Letnan Jenderal Hithosi Imamura dalam sebuah pertempuran di Kalijati tanggal 8 Maret 1942.[2]
Dengan penyerahan tanpa syarat oleh Letnan Jenderal H. Ter Poorten, Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda atas nama Angkatan Perang Serikat di Indonesia kepada tentara ekspedisi Jepang di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura pada tanggal 8 Maret 1942, berakhirlah pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia, dan dengan resmi ditegakkan kekuatan Kemaharajaan Jepang. Indonesia memasuki suatu periode baru, yaitu periode pendudukan militer Jepang.
Jepang telah pula melakukan aksinya dengan berbagai macam pendekatan terhadap rakyat, diantaranya: mendirikan Gerakan Tiga A dengan slogannya yang terkenal: Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang Saudara Asia, mengangkat orang-orang pribumi dalam berbagai pemerintahan yang prinsip turun-temurunnya dihapuskan; menetapkan wilayah-wilayah voorstenlanden sebagai kochi (daerah istimewa). Maksudnya agar tentara Jepang yang mendirikan pemerintah militernya dapat diterima oleh penduduk pribumi. Tujuan utama pendudukan Jepang di Jawa adalah menyusun dan mengarahkan kembali perekonomian peninggalan pemerintah Hindia Belanda dalam rangka menopang upaya perang Jepang dan rencana-rencananya bagi ekonomi jangka panjang terhadap Asia Timur dan Tenggara.[3]
Tujuan utama mengarahkan kebijakan-kebijakan pemerintahan militer untuk menghapuskan pengaruh-pengaruh barat di kalangan rakyat Jawa dan memobilisasi rakyat Jawa demi kemenangan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.[4]
Sejak membentuk pemerintahan militernya, Jepang membuat banyak sekali perubahan dalam bidang pemerintahan. Perubahan tersebut terjadi di tingkat atas maupun di tingkat bawah. Tanggal 1 Agustus 1942, saat dikeluarkannya undang-undang perubahan tata pemerintahan di Jawa, Jepang menetapkan bahwa seluruh daerah di Jawa dibagi menjadi Syu, Si, Ken, Gun, Son, dan Ku, kecuali Surakarta dan Yogyakarta yang ditetapkan sebagai kooti (kerajaan) dan Batavia sebagai Tokubetsu Si (ibukota pemerintahan militer). Pembagian pulau Jawa atas provinsi-provinsi juga dihapuskan.
Jepang masuk ke Indonesia, khususnya ketika menduduki Pulau Jawa tahun 1942-1945 telah membawa banyak perubahan yang sangat berarti bagi perkembangan Jawa di masa berikutnya. Periode ini merupakan salah satu bagian dari perjalanan penting sejarah besar bangsa ini untuk melangkah ke masa depan. Masa ini telah terjadi berbagai perubahan yang mendasar pada alam sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Masa pendudukan Jepang di Indonesia selama tiga setengah tahun tersebut sering dipandang sebagai masa yang singkat tetapi akibat yang diterima oleh masyarakat sebanding dengan masa penjajahan Belanda sebelumnya dengan jangka waktu yang lebih lama.
Notes :
[1] Marwati Djoened Poesponegoro, dkk. Sejarah Nasional Indonesia VI (Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1975), hlm. 2.
[2] Onghokham. Runtuhnya Hindia Belanda (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 279-280.
[3] Sutriono Wahono, dkk. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), hlm. 405-406.
[4] Cahyo Budi Utomo. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan Nasional hingga Kemerdekaan (Semarang: IKIP Semarang Press. 1995). Hlm. 180.
Daftar Pustaka:
Marwati Djoened Poesponegoro, dkk. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Onghokham. 1989. Runtuhnya Hindia Belanda. Jakarta: Gramedia.
No comments:
Post a Comment