Halaman

KEBIJAKAN-KEBIJAKAN JEPANG DI INDONESIA

           
ESAPNIAR/A/ SI4

Penjajahan Jepang di Indonesia, lebih tepat disebut penjajahan bersifat militer. Oleh karena itu, pemerintahan pada masa penjajahan Jepang merupakan pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang. Jepang sampai ke Indonesia dalam rangka Perang Dunia II. Dengan demikian, penjajahan Jepang sangat berbeda dengan penjajahan Belanda. Pada saat menjelang berakhirnya penjajahan Belanda, sangat bertolak belakang dengan masa awal penjajahan Jepang di Indonesia. Kedua penjajah ini mengakibatkan penderitaan yang sangat memprihatinkan bagi rakyat Indonesia. Walaupun demikian, bangsa Indonesia masih dapat mengambil celah-celah dari penderitaan akibat kedua penjajah tersebut. Antara lain ialah dari penjajahan Belanda, bangsa Indonesia dapat memanfaatkan hasil pendidikan yang bermutu ilmiah tinggi dan menimbulkan waasan luas untuk perjuangan. Kemudian dari penjajahan Jepang, bangsa Indonesia dapat memanfaatkan hasil latihan fisik (bersenjata) yang dapat digunakan senjata makan tuan. Artinya kita di latih kemiliteran oleh Jepang, tetapi digunakan untuk melawan Jepang sendiri. Jadi apa yang dilarang oleh Belanda, ternyata malah diberikan oleh Jepang. Sebaliknya apa yang dilarang oleh Jepang malah diberikan oleh Brlanda.
Kebijakan-Kebijakan Jepang Di Indonesia
1.      Pada awal pemerintahannya bertindak lunak terhadap kaum pergerakan nasional
2.      Pada awal pemerintahannya memperbolehkan rakyat Indonesia mengibarkan bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya,
3.      Memberikan latihan kemiliteran kepada Rakyat Indonesia
4.      Pendidikan pada masapenjajahan Jepang bermutu ilmiah rendah,
5.      Kehidupan partai politik dilarang
6.      Banyak tokoh-tokoh nasionalis di lepaskan dari penjara.
(Sudiyo, 2003 : 115-116)
Pihak pemerintah Jepang dalam rangka menarik perhatian kepad rakyat di Indonesia khususnya dan rakyat Asia pada umumnya, barisan propaganda Jepang(sendenbu) sangat aktif melancarkan aksinya. Isi propaganda tersebut, terutama menyebarkan berita, tentang kehebatan Jepang yang telah berhasil memperoleh kemenagan dimana-mana dalam menghadapi sekutu. Walaupun kemenangan itu baru dalam tahap awal Perang Pasifik, namun Jepang sangat membanggakan. Untuk membuat wadah gerakan pemuda Asia, pemerintah pada bulan April 1942 membentuk “gerakan Tiga A”, yang berisi: Jepang (Nippon) pemimpin Asia, Jepang (Nippon) pelindung Asia, dan Jepang (Nippon) cahaya Asia. Di Indonesia Gerakan Tiga A itu di pimpin oleh Mr.Syamsudin. disamping wadah tersebut, pemerintah juga membentuk organisasi pemuda yang lain, yaitu “Barisan Pemuda Raya”.
Pada tanggal 29 April 1943, pemerintah Jepang membentuk Seinendan(barisan pemuda), bersama-sama dengan organisasi militer yang lain, yaitu Keibodan(barisan bantu polisi) dan Fuzinksi (perkumpulan wanita). Bahkan Jepang membentuk juga “Barisan Srikandi” pada tahun 1944, yang merupakan bagian dari Jawa Hookokai (Kebaktian Rakyat Jawa).
Jepang juga berjanji terhadap rakyat Indonesia pada tanggal 17 Juli 1944 yang di ucapkan oleh Perdana Menteri Kuniaki Kaiso yang berbunyi “ingin tetap mempertahankan pengaruh Jepang terhadap penduduk di negeri-negeri yang didudukinya, yaitu dengan mengeluarkan pernyataan yang berupa “janji kemerdekaan Indonesia di kelak kemudian hari”.(Sartono Kartodirdjo, 1975: 16).
Janji tersebutlah yang di pegang kuat oleh para tokoh nasional. Dengan demikian, semua organisasi yang di bentuk oleh pemerintah pendudukan bala tentara Jepang, kaum nasionalis selalu berperan sangat aktif dan sangat percaya akan keberhasilan dalam perjuangan yang di rhasilan melahirkan tempuhnya itu.mereka lebih senang menempuh perjuangan secara legal dri pada ilegal. Perjuangan secara legal, ternyata juga ada positifnya, yaitu keberhasilan melahirkan “Dasar Negara” dan “Rancangan Undang-Undang Dasar”, apabila Indonesia telah merdeka. Betapa tidak, begitu pihak pemerintah Jepang menyampaikan “janji”, terus di bentuk pula “Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia”(Dokuritsu Jumbi Cosakai). Pembentukan badan ini, pada tanggal 1 Maret 1945 kemudian di umumkan oleh Saiko Syikikan (Panglima Tentara Jepang) bernama Kumakici Harada.
            Fasis Jepang masuk ke Indonesia dengan propaganda “Jepang pemimpin Asia, Jepang saudara tua bangsa Indonesia”.akan tetapi dalam perang melawan sekutu barat yaitu (Amerika, Inggris, Rusia, Perancis, Belanda dan Negara sekutu lainnya) nampaknya Jepang semakin mendesak. Oleh karena itu, agar mendapat dukungan dari bangsa Indonesia, maka pemerintah Jepang bersikap bermurah hati terhadap bangsa Indonesia, yaitu menjanjikan Indonesia merdeka dikelak kemudian hari.
            Pada tanggal 29 April 1945 bersamaan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang beliau memberikan hadiah ‘ulang tahun’ kepada bangsa Indonesia yaitu janji kedua pemerintahan Jepang berupa ‘kemerdekaan tanpa syarat’. Janji itu disampaikan kepada bangsa Indonesia seminggu sebelum bangsa Jepang menyerah, dengan Maklumat Gunseikan(Pembesar Tertinggi Sipil dari Pemerintahan Militer Jepang di seluruh Jawa dan Madura), No.23 dalam janji kemerdekaan yang kedua tersebut bangsa Indonesia di perkenankan untuk memperjuangkan kemerdekaannya. Bahkan di anjurkan kepada bangsa Indonesia untuk berani mendirikan negeri Indonesia merdeka dihadapan musuh-musuh Jepang yaitu Sekutu termasuk kaki tangannya Nica(Ntherlands Indie Civil Administration), yang ingin mengembalikan kekuasaan kolonialnya di Indonesia. Bahkan Nica telah melancarkan serangan di pulau Tarakan dan Morotai.
            Untuk mendapatkan simpati dan dukungan dari bangsa Indonesia maka sebagai realisasi janji tersebut maka di bentuklah suatu badan yang bertugas untuk menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia yaitu Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokurito Zyunbi Tioosakai. Pada hari itu juga diumumkan nama-nama ketua, wakil ketua serta para anggota sebagai berikut:           
            Pada waktu itu susunan Badan Penyelidik itu adalah sebagai berikut:
            Ketua(Kaicoo)                        : Dr.K.R.T. Radjiman Wediodinigrat
            Ketua Muda                : Itibagase (seorang anggota luar biasa)
(Fuku Kaicoo              Tokubetsu Lin)
            Ketua muda                : R.P. Soeroso (merangkap kepala)
(Fuku Kaicoo              atau Zimukyoku Kucoo).

Enam puluh (60) orang anggota biasa (Lin) bangsa Indonesia (tidak termasuk ketua dan ketua muda), yang kebanyakan berasal dari pulau Jawa, tetapi terdapat beberapa dari Sumatra, Maluku, Sulawesi dan beberapa orang peranakan Eropa, Cina, Arab. Semua itu bertempat tinggal di Jawa, karena Badan Penyelidik itu di adakan oleh Saiko Sikikan Jawa. (DR. Kaeland M.S, 2004:35-37)
Nama para anggota itu menurut nomor tempat duduknya dalam siding adalah sebagai berikut:
1.      Ir.Soekarno                                               31. Dr.R. Boentaran Martoatmodjo
2.      Mr. Muh. Yamin                                       32. Liem Koen Hian
3.      Dr. R. Kusumah Atmaja                           33. Mr. J. Latuharhary
4.      R.Abdulrahim Pratalykrama                     34. Mr. R. Hindromartono
5.      R. Aris                                                       35. R. Soekardjo wirjopranoto
6.      K.H. Dewantara                                        36. Hadji Ah. Sanoesi
7.      K.Bagus H. Hadikusuma                          37. A.M. Dasaat
8.      M.P.H. Bintoro                                         38. Mr. Tan Eng Hoa
9.      A.K. Moezakir                                          39.Ir.R.M.P.Soerachman Tjokroadisurjo
10.  B.P.H. Poerbojo                                        40. R.A.A. Soemitro Kolopaking
11.  R.A.A. Wiranatakoesoema                       41. K.R.M.T.H. Woeryaningrat
12.  Ir. R. Asharsoetedjo Moenandar              42. Mr. A. Soebardjo
13.  Oeij Tjiang Tjoei                                       43.Prof. Dr. R. Djenal Asiki- Widjayakoesoema
14.  Drs. Muh. Hatta                                        44. Abikoesno
15.  Oei Tjong Hauw                                       45. Parada Harahab
16.  H. Agus Salim                                           46. Mr. R.M. Sartono
17.  M. Soetarjo Kartohadikusumo                  47. K.H.M. Mansoer
18.  R.M. Margono Djojohadikusumo             48. K.R.M.A. Sosrodinigrat
19.  K.H. Abdul Halim                                                49. Mr. Soewandi
20.  K.H. Masjkoer                                          50. K.H.A. Wachid Hasyim
21.  R. Soedirman                                            51. P.F. Dahler
22.  Prof. Dr.P.A.H. Djayadiningrat                52. Dr. Soekiman
23.  Prof. Dr. Soepomo                                    53. Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro
24.  Prof. Ir. Roeseno                                       54. R. Oto Iskandar Dinata
25.  Mr.R.P. Singgih                                        55. A. Baswedan
26.  Mr. Ny. Maria Ulfah Santoso                   56. Abdul kadir
27.  R.M.T.A. Soejo                                         57. Dr. Samsi
28.  R.Ruslan Wongsokusumo                         58. Mr. A.A. Maramis
29.  R. Soesanto Tirtoprodjo                            59. Mr. Samsoedin
30.  Ny. R.S.S. Soemario Mangunpoespito     60. Mr. R. Sastromoeljono 

(Sekretariat Negara, 1995 : XXVII)

Lajunya kemenangan pasukan Jepang seperti badai menyapu tempat-tempat pertahanan Hindia-Belanda. Namun kemenangan Jepang itu bukan secara fisik saja karena keunggulan militer dan teknologinya tetapi di balik itu sebenarnya terdapat dorongan bangsa Indonesia sendiri yang merasa bosan terhadap penjajahan Belanda. Apalagi Jepang menggunakan pendekatan manusiawi lewat propaganda yang mampu menembus kebencian terhadap kolonialisme pada umumnya. Pidato penguasa Jepang mengena dalam hati bangsa Indonesia bahwa Jepang merasa bertanggung jawab untuk membebaskan bangsa Indonesia dari belunggu penjajahan Belanda dan Indonesia akan di masukkan dalam kesekmamuran Bersama Asia Timur Raya di bawah Jepang. Oleh karena itu Jepang mengangkat senjatauntuk memerangi penjajahan dan melakukan pembebasan.
            “ sesal kemudian tiada berguna”, demikian kira-kira pribahasa yang cocok utuk pemerintah Hindia Belanda. Selama munculnya organisasi pergerakan Nasional, pemerintah tidak memberikan kesempatan yang baik dan memberikan tempat yang wajar kepada para nasionalis. Keadaan inilah yang menimbulkan perasaan antipasti terhadap penjajah.karena itu tidak dapat di salahkan kalau sementara kaum nasionalis mengubah arah hingga lebih dekat dengan “sang pembebas”. Tetapi sekali lagi “jauh panggang dari api”, berbeda dengan kenyataannya, Jepang yang menyatukan dirinya sebagai “saudara tua” dan sebagai “pembebas” itu justru melakukan penindasan dengan kejam. Memang nasib kurang mujur, bangsa Indonesia di ibaratkan “lepas dari mulut harimau jatuh kemulut buaya”. Bangsa Indonesia di degradasikan di luar kemanusiaan demi kemenangan peperangan yang di hadapinya. Romusha atau kerja paksa merupakan acara utama untuk “menJepangkan” dan membangun pusat pertahanan, pangkalan perang, gua perlindungan, dll. Selain itu pemerintah Jepang telah menguras kekayaan Indonesia untuk menghidupi industry guna mempertahankan peperangan yang setelah enam bulan pertama sejak serangan di Perrl Harbour itu Jepang mengalami periode depensif. Pertahanan Jepang makin mundur dan terus di desak oleh pasukan Sekutu.
            Tanggal 9 Maret 1942 pemerintah Jepang menetapkan sebagai hari Pembangunan Jawa Baru yang memasuki Jawa sebagai salah satu anggota kesemakmuran bersama Asis Timur Raya. Dan untuk tujuan itu semua Jepang mengeluarkan berbagai peraturan guna mencegah timbulnya kekacauan. Tanggal 2 Maret 1942 di keluarkan undang-undang istimewa yang mengancam hukuman mati dan hukuman berat menurut hukum militer Jepang terhadap siapa yang melanggar atau menjadi musuh pemerintah, merusak bangunan vital, tambang minyak, perkebunan, jalan kereta api dan sarana komunikasi lainnya.
            Prinsip Hakko Ichi-u yaitu pengakuan sebagai bangsa yang terpilih telah menjiwai setiap undang-undang yang di keluarkan oleh pemerintah Jepang. Dalam undang-undang no.1 pasal 1 tertanggal 7 Maret 1942 disebutkan bahwa tentara Jepang bermaksud memperbaiki nasib bangsa Indonesia yang sebangsa dan seketurunan dengan bangsa Jepang. Ini suatu cara dan praktek propaganda Jepang untuk mengikis habis pengaruh Barat dan menanamkan kebencian terhadap orang Barat. Superioritas rasial di gunakan untuk memupuk persatuan bangsa-bangsa Asia di bawah Jepang guna menghadapi bangsa kulit putih. Oleh karena itu semua pengaruh Barat baik dari Eropa dan Amerika dalam lapangan social, ekonomi, politik, dan kultural harus di hilangkan guna mencapai tujuan fundamental yaitu kesemakmuran Asia Timur Raya.
            Untuk menahan masuknya pengaruh dari luar Indonesia maka Jepang melarang orang Indonesia mendengarkan siaran radio luar negeri. Undang-undang no.3 tertanggal 20 Maret 1942 menyebutkan bahwa pemerintah Jepang melarang semua pembicaraan tentang pergerakan nasional, masa depan Negara Indonesia, menyayikan lagu Indonesia Raya, dan megibarkan sang Merah Putih.
            Sehubungan dengan undang-undang seperti yang disebutkan di atas maka hal ini berarti bahwa pergerakan politik Indonesia di larang bekerja dan di bubarkan. Atau kalau pergerakan itu masih ingin melanjutkan eksistensinya berarti harus mencari jalan sendiri yaitu bergerak di bawah tanah. Selanjutnya Jepang melakukan penangkapan terhadap pemimpin nasionalis Indonesia, yaitu mereka yang di curigai dan di anggap menentang pemerintah Jepang. Untuk menyesuaikan diri dengan politik pemerintah yang berlaku maka seperti sudah di singgung di muka, sebagian gerakan nasional bergerak di bawah tanah (ilegal) dan di samping itu ada yang bergerak dengan bekerja sama dengan pemerintah Jepang(legal). Gerakan illegal menolak kerja sama dengan Jepang, di antaranya adalah gerakan yag di pimpin oleh Syahrir dan Amir Syarifudin. Akan tetapi Syahrir kemudian mengubah haluan politiknya dan bekerja sama dengan Jepang.   
            Untuk mengambil hati bangsa Indonesia, mula-mula pemerintah Jepang bersikap lunak dan member hati, tetapi akhitnya berlawanan dengan kenyataan dan janji-janji manis itu di lupakan begitu saja. Penderitaan dan takanan dari pemerintah Jepang di rasakan terlalu berat dan diharapkan agar penderitaan itu segera lenyap. Untuk menanggapi harapan bangsa Indonesia itu pemerintah Jepang memberikan umpan dan membuat semacam pancingan yaitu dengan merancangkan berdirinya sebuah badan pemerintahan Indonesia di Jakarta yang terdiri dari Abikusmo Cokrosuyoso sebagai perdana menteri dan Sukarno sebagai wakilnya meskipun pada waktu itu belum di bebaskan oleh pemerintah Jepang. Rupanya usaha semacam ini yang merupakan sekedar pancingan terhadap Indonesia tidak menghasilkan apa-apa (Suhartono, 1994:120-122).
            Rencana pembentukan badan pemerintahan Indonesia itu di gagalkan Jepang sendiri karena tidak disetujui pemerintah pusat, yang tidak lama kemudian keluarlah undang-undang tertanggal 20 Maret 1942 yang melarang setiap pembicaraan tentang susunana Negara. Namun setelah pemerintah Jepang tahu besarnya antusias bangsa Indonesia terhadap cita-cita kemerdekaan, maka dimulailah propaganda untuk bekerja sama dengan bangsa Indonesia. Memang tidak dapat disangkal bahwa kerjasama itu dimaksudkan untuk mensuplai kebutuhan perang Jepang dalam menghadapi sekutu yang dalam pertahanannya semakin mundur  (Elsbree, 1953:76-77).
            Untuk merealisasikan kerja sama dengan bangsa Indonesia, Jepang mendirikan sebuah badan guna membantu peperangan. Badan itu di beri nama “Gerakan Tiga A” yang bersemboyan “Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia, dan Nippon Cahaya Asia” yang didirikan pada bulan April 1942. Organisasi itu di maksudkan untuk mengkonsolidasikan kekuatan guna menghadapi kekuatan Barat di bawah satu komando dan dikatakan bahwa pengaruh yang sudah ada selama ini telah mengkorup “jiwa orang Timur”. Selain itu Jepang telah mengindoktrinasikan fanatisme Asia guna merealisasikan cita-citanya “Asia untuk Asia dan Jepang induk negeri Asia”. Untuk memimpin organisasi itu di angkatlah Mr. Samsudin menjadi ketua, seorang tokoh politik yang terkemua pada waktu itu yang sangat dekat dengan pemerintah. Ia adalah bekas pemimpin Parindra yang sejak lama sudah menaruh simpati terhadap fasisme Jepang (Wertheim, 1959:275).
                
Daftar Pustaka

DR. Kaeland, M.S, 2004. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma Offset.
Drs. Sudiyo, 2003. Arus Perjuangan Pemuda dari Masa ke Masa. Jakarta: PT Asdi Mahasatya.
Prof. Dr. Suhartono, 1994. Sejarah pergerakan nasional .Yogyakarta: Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI).

No comments:

Post a Comment