MUHAMMAD FIKRI MUZAKI / SI 4 / B
Dari sekian banyaknya tanggal yang berada pada bulan-bulan tertentu dalam satu tahun, khususnya bulan Mei, mempunyai sekelumat sejarah yang amat penting bagi Bangsa Indonesia. ada dua peristiwa bersejarah yang ada pada bulan Mei. Dua peristiwa besar yaitu Hari Kebangkitan Nasional dengan berdirinya Kongsi Dagang Belanda yakni VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Kembali pada Hari Kebangkitan Nasional, Bangsa Indonesia memperingati hari tersebut setiap tanggal 20 Mei. Peringatan ini mengacu pada organisasi Boedi Oetomo (BO) yang didirikan pada 20 Mei 1908.
Di Indonesia juga tedapat banyak organisasi-oerganisasi yang berdiri dari sebelum kemerdekaan dan juga sesudah kemerderkaan Indonesia. Organisasi yang pertama kali berdidi yaitu Budi Utomo atau dalam ejaan Bahasa Indonesia yang lama yakni Boedi Oetomoe.
Budi Utomo (Boedi Oetomo) adalah sebuah organisasi pergerakan nasional yang paling berpengaruh di Indonesia. Organisasi ini didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 oleh sejumlah mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) seperti Soetomo, Gunawan, Cipto Mangunkusumo, dan R.T Ario Tirtokusumo. Tanggal berdirinya Budi Utomo, 20 Mei, sampai sekarang diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional kerena organisasi ini dianggap sebagai organisasi kebangsaan yang pertama. Organisasi ini bertujuan sebagai berikut:Tujuan yang hendak dicapai dari pendirian organisasi Budi Utomo tersebut antara lain:
a. Memajukan pengajaran.
b. Memajukan pertanian, peternakan dan perdagangan.
c. Memajukan teknik dan industri.
d. Menghidupkan kembali kebudayaan.
Sebelum menjadi salah satu organisasi pergerakan yang bersifat nasional, Budi Utomo sebenarnya adalah sebuah perkumpulan kedaerahan Jawa. Ini terlihat sebelum diadakanya kongres.Namun sejak kongres di Batavia tahun 1931, keanggotaan Budi Utomo dibuka untuk semua orang Indonesia. Budi Utomo juga membuktikan diri sebagai sebuah organisasi yang bersifat nasional dengan cara bergabung di PBI (Persatuan Bangsa Indonesia). Penggabungan inilah yang kemudian membentuk sebuah organisasi baru bernama PARINDRA (Partai Indonesia Raya).
Akan tetapi perlu kita sadari bersama, bahwa Budi Utomo mempunyai hubungan dengan organisasi Freemason yang tak pernah diungkap sejarah selama ini. Yang hanya menyampaikan informasi masa lalu bagaimana pembentukan Budi Utomo, tujuan yang dicapai, serta pengaruhnya dalam Nasionalisme bangsa ini.Cita-cita Boedi Oetomo sejatinya tidak berlandaskan pada nasionalisme yang dikehendaki rakyat banyak. Cita-cita Boedi Oetomo yang tertuang dalam kongresnya yang menolak hasil Kongres Pemuda I tahun 1926 adalah: mengembangkan bahasa Jawa, kesenian Jawa, dan agama Jawa, dalam lingkup Jawa Raja.
Banyak dokumen-dokumen yang mengungkapkan kedekatan antara Freemason yang ada di Indonesia pada masa Kolonial dengan Budi Utomo, salahsatu dari fakta sejarah tersebut ialah buku yang ditulis oleh Dr. Th Stevens penulis buku Vrijmetselarij en Samenlaving in Nederlands Indie en Indonesie 1764-1962 (Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962) menyebutkan bahwa Freemasonry memperoleh aktualitas yang besar dengan munculnya gerakan nasionalis modern di Jawa.
Kata pengantar buku ini yang ditulis oleh Dr. Th Stevens ini menyebutkan dengan jelas, bahwa Freemason menjalin hubungan dengan satu organisasi politik Indonesia pertama ”Budi Utomo” .[1]
Nama Boedi Oetomo diambil dari bahasa sansakerta, ”Bodhi” atau ”Buddhi” yang berarti keterbukaan jiwa, pikiran, kesadaran, akal, dan daya untuk membentuk dan menjunjung konsepsi ide-ide umum. Sedangkan Oetomo berasal dari kata ”Uttama” yang berarti tingkat kebajikan utama. Jadi, Budo Utomo bisa disebut sebagai organisasi yang mengedepankan keterbukaan akal sebagai tingkat kebajikan utama. Mereka menyebut ”budi” sebagai puncak kegiatan moral manusia dan mengendalikan akal dan watak seseorang.
Boedi Oetomo adalah organisasi yang kental dengan nilai-nilai kebatinan.Para aktivisnya mengaku ingin menyatukan antara kultur dan tradisi Jawa dengan pendidikan Barat. Budi Utomo ingin memadukan antara modernisasi Barat dan mistis Timur.Kedekatan Budi Utomo dengan organisasi Freemason dan Theosofi juga bisa dilihat setahun setelah berdirinya organisasi tersebut. Buku Soembangsih Gedenkboek Boedi Oetomo 1908-1918 yang diterbitkan di Amsterdam, Belanda, untuk mengenang 10 tahun berdirinya Budi Utomo, memuat laporan bahwa pada 16 Januari 1909, di Loge de Ster in het Oosten (Loji Bintang Timur), Batavia, ratusan anggota Budi Utomo berkumpul untuk mendengarkan pidato umum dari Dirk van Hinloopen Labberton, orang Belanda yang disebut oleh aktivis Budi Utomo sebagai ”Bapak Kebatinan” yang kemudian menjadi Ketua Nederlandsche Indische Theosofische Vereeniging (Theosofi Cabang Hindia Belanda). [2]
Dalam pidato berjudul ”Theosofische in Verband met Boedi Oetomo” (Theosofi dalam Kaitannya dengan Boedi Oetomo), Labberton bicara tentang masalah agama, tujuan Theosofi, dan hubungannya dengan hari depan bangsa Jawa.Bukti lain mengenai kedekatan Budi Utomo dengan Freemason bisa dilihat dari kiprah Paku Alam V, yang merupakan anggota Freemason, yang banyak membantu terselenggaranya kongres Boedi Oetomo di Surakarta. Kongres yang pernah diadakan di loge milik Freemason banyak dihadiri oleh para aktivis kebangsaan yang juga anggota Freemason.Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Abdurachman Surjomihadrjo, dalam Kata Pengantar buku ”Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918”, karya peneliti Jepang, Akira Nagazumi, mengatakan, “Paku Alam memberikan pengaruh pada terselenggaranya kongres-kongres Boedi Oetomo, khususnya mereka yang ada hubungannya dengan gerakan Mason (Freemasonry).”[3]
Banyaknya pembesar-pembesar Budi Utomo yang menjadi pengikut dari Freemason. Salahsatu nya adalah Radjiman menjadi ketua Budi Utomo pada periode 1914-1915. Ia masuk menjadi anggota Freemason pada 1913, selain juga aktif dalam perkumpulan Theosofi. Radjiman adalah orang pribumi yang mendapat kehormatan dari Freemason Hindia Belanda dengan dimuatnya artikel karyanya berjudul ”Een Broderketen Volks (Persaudaraan Rakyat)” dalam buku ”Kenang-Kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917”.[4]
Adapun ketua-ketua Budi Utomo lainnya juga adalah anggota Freemasonry, seperti R.A. Tirtokoesoemo, ketua Budi Utomo pertama (1908-1911) yang juga pernah menjadi bupati Karang Anyar, Pangeran Ario Notodirodjo (Ketua Budi Utomo kedua tahun 1911-1914), dan R.M.A Soerjosoeparto alias Mangkunegara VII (Ketua Budi Utomo keempat tahun 1915-1916). RM Tirtokoesoemo dan Pengeran Ario Notodirodjo adalah anggota Freemasonry Loge Mataram Yogyakarta.Ketua Budi Utomo selanjutnya, meski tak menjadi anggota Freemason, tetapi menjadi anggota Theosofi, seperti M Ng Dwijo Sewojo (1916), dan R.M.A Woerjaningrat (1916-1921).
Catatan lain memuat ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yakni Dr. Radjiman Wediodiningrat tercatat sebagai tokoh pribumi yang gencar mengampanyekan gerakan kemasonan (istilah yang digunakan penduduk lokal dalam menyebut gerakan freemasonry). Radjiman sangat dekat dengan lingkar dalam kekuasaan keraton. Selama 30 tahun dirinya mengabdi sebagai dokter di Keraton Surakarta Hadiningrat. Radjiman adalah anggota Freemason, tercatat tahun masuknya adalah 1913. Setahun kemudian, Radjiman memimpin Budi Utomo. Namanya tercatat dalam dokumen ‘The Freemason in Boedi Oetomo’ ditulis C G van Wering.[5]
Ini sudah jelas menggambarkan bagaimana tindak-tanduk pemimpin-pemimpin Budi Utomo juga aktif didalam keanggotaan Freemason yang pada saat itu. Sejatinya Freemason sendiri sudah memulai pergerakan ini sejak tahun 1760an. Kejelasan ini bisa kita bukti dengan adanya buku Kenang-kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917, yang memuat secara lengkap operasional, para tokoh, dokumentasi foto, dan aktivitas loge-loge yang berada langsung di bawah pengawasan Freemason di Belanda. Buku setebal 700 halaman yang ditulis oleh Tim Komite Sejarah Freemason ini adalah bukti tak terbantahkan tentang keberadaan jaringan mereka di seluruh Nusantara.[6]
Ada beberapa catatan yang memperjelas Budi Utomo tidak dekat dengan islam, bahkan melakukan pelecehan. Goenawan Mangoenkoesoemo pun menulis sebuah artikel yang berisi pelecehan terhadap ajaran Islam dalam buku kenang-kenangan Boedi Oetomo 1908-1918. Berikut beberapa kutipannya:
“……..Jika kita berlutut dan bersembahyang, maka bahasa yang boleh dipakai adalah bahasanya bangsa Arab. Gamelan kita nasibnya tidak lebih beruntung. Dia sudah dikutuk dan dibuang. Kita hanya boleh menunjukkan kegembiraan hati dengan musik padang pasir, agaknya hanya terbanglah yang mampu membawakan suara yang membuat hati Allah berkenan. Namun demikian dan bagaimanapun juga, di sinilah Islam sebenarnya menderita kekalahan besar terhadap kita. Sebab, gamelan tetap merupakan musik kesayangan bagi lingkungan tua….......Kemana larinya bakat dasar kita, hadiah Tuhan yang dahulu telah menciptakan dan membangun Borobudur dan banyak candi-candi lainnya? Bukankah candi-candi itu juga dipersembahkan kepada Tuhan? Tidakkah bakat dasar itu masih tetap tinggal dan berkembang di Pulau Bali? Hasil-hasil karya yang banyak ahli seni dan pujangga kagum melihatnya? Begitulah kita saksikan. Bagaimanapun tinggi nilai kebudayaan Islam, ternyata kebudayaan itu tidak mampu menembus hati rakyat. Bapak penghulu boleh saja menuntut supaya kita mengucapkan syahadat: Hanya ada satu Allah dan Muhammad-lah nabi-Nya”, tetapi dia tidak akan dapat berbuat apa-apa, bila cara hidup kita, jalan pikiran kita masih tetap seperti sewaktu kekuasaan Majapahit dihancurkan secara kasar oleh Demak.”
Kritik terhadap dijadikannya Budi Utomo sebagai landasan kebangkitan nasional tak hanya datang dari umat Islam. Peneliti Robert van Niels juga mengatakan, “Tanggal berdirinya Budi utomo sering disebut sebagai Hari Pergerakan Nasional atau Kebangkitan Nasional. Keduanya keliru, karena Budi Utomo hanya memajukan satu kelompok saja. Sedangkan kebangkitan Indonesia sudah dari dulu terjadi…Orang-orang Budi Utomo sangat erat dengan cara berpikir barat.Bagi dunia luar, organisasi Budi Utomo menunjukan wajah barat.” [7]
organisasi ini mati tahun 1935 dan tiba-tiba seolah dihidupkan kembali tahun 1946 lewat keputusan Kabinet Hatta yang menjadikannya sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Ini lah seajrah yang tidak kita ketahui selama ini tentang suatu kebenaran yang tersembunyi rapat.
Notes :
[1] Dr. Th Stevens,1764-1962. Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Hal : 18
[2] Dr. Th Stevens, 1764-1962. Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Hal
[3] Abdurachman Surjomihadrjo, Kata Pengantar buku ”Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918”,
[4] Mansur Surya Negara, 1767-1917. Kenang-kenangan Freemason di Hindia Belanda. Jakarta : hal 7
[5] C G van Wering, 1920. ‘The Freemason in Boedi Oetomo’
[6] Artawijaya, Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara” dan “Gerakan Theosofi di Indonesia”, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta
[7] Robert van Niels, Munculnya Elit Modern Indonesia, hal. 82-83
No comments:
Post a Comment