Andri/SI3/A
Siapa yang tidak mengenal Raden Dewi Sartika. Beliau adalah Pahlawan Wanita Indonesia untuk memperjuangkan kepentingan para Wanita dan Pendidikan.
Perjuangannya dalam memberikan bekal ilmu pengetahuan dan pendidikan kepada masyarakat luas khususnya kaum perempuan, akhirnya membuahkan penghargaan yang luar biasa dari Pemerintah Republik Indonesia sebagai seorang Pahlawan Nasional di bidang pendidikan.
Itulah Raden Dewi Sartika, sosok perempuan asli dari tanah Pasundan (Jawa Barat) yang semasa hidupnya banyak mengabdikan diri dalam dunia pendidikan terutama pendidikan bagi kaumnya sendiri dengan mendirikan sebuah sekolah bernama "Sakola Kautamaan Istri" (Sekolah Keutamaan Istri). Bertepatan dengan peringatan Hari Ibu Tahun 2012, Redaksi Tabloid 'Taman Pramuka' pada edisi ke-XV, mencoba mengangkat kembali kilas balik sejarah Raden Dewi Sartika, sebagai salah satu tokoh perintis pendidikan di tanah air.
Dewi Sartika yang lahir di Bandung pada 4 Desember 1884 lalu, adalah anak dari pasangan Raden Somanagara dan Nyi Raden Rajapermas yang merupakan keturunan priyayi Sunda. Sejak kecil, Dewi Sartika telah mendapat pendidikan dasar dari orang tuanya dengan disekolahkan di sekolah Belanda. Namun saat ayahandanya wafat yang juga seorang pejuang kemerdekaan. Dewi Sartika kecilpun dirawat oleh pamannya yang tidak lain adalah seorang Patih di Cicalengka dan melanjutkan pendidikannya di sana.
Ketika itulah, bakat sebagai seorang pendidik muncul dalam diri Dewi Sartika kecil, bila ada waktu senggang, Ia menyempatkan diri untuk mengajari baca-tulis anak-anak pembantu yang berada lingkungan kepatihan. Dalam pendidikannya, Dewi Sartika banyak pula mempelajari tentang wawasan kesundaan dari pamannya dan wawasan kebudayaan barat dari seorang Asisten Residen bangsa Belanda
Bakat dalam cara Dewi Sartika memberi pelajaran kepada para masyarakat terutama kaum perempuan di sekitar lingkungan tempat tinggalnya, telah menjadikan semangat dan cita-cita untuk terus berupaya agar anak-anak dan kaum perempuan pribumi bisa mendapat kesempatan memperoleh ilmu pengetahuan. Semangat dan cita-cita yang besar tersebut, akhirnya Ia upayakan pula ketika kembali lagi menetap di Bandung, dengan dibantu kakeknya R.A.A. Martanegara dan Den Hamer, selaku Inspektur Kantor Pengajaran kala itu, Dewi Sartika berhasil mendirikan sebuah sekolah khusus bagi kaum perempuan yang diberi nama "Sekolah Istri" pada 1904.
Sekolah baru tersebut baru berisi dua kelas dengan jumlah murid pertamanya sekitar 20 orang ditambah dua tenaga pengajar yakni Ny. Poerwa dan Nyi Oewid. Karena aktivitas belajar mengajarnya banyak, maka Iapun meminjam beberapa ruangan Kepatihan Bandung sebagai ruang kelas tambahan. Di sekolah tersebut, para murid perempuan ini, diajari mulai dari baca-tulis, berhitung, menjahit, merenda, menyulam, dan pelajaran agama.
Tanggapan positif atas berdirinya Sekolah Istri, banyak bermunculan dari masyarakat. Bahkan dari waktu ke waktu jumlah muridnya terus bertambah. Karena jumlah murid makin banyak, akhirnya bangunan kelas tidak mencukupi lagi dan selanjutnya dipindahkan ke tempat yang lebih luas. Kemudian, setelah enam tahun berjalan, tepat di 1910, oleh pihak pengelola, nama sekolah yang sebelumnya bernama 'Sekolah Istri' diperbaharui menjadi 'Sekolah Keutamaan Istri'.
Tapi semua mata pelajarannya masih tetap seperti sediakala. Diakui, pembangunan sekolah ini, sebelumnya sempat menuai pertentangan, terutama karena budaya 'pengekangan' kaum wanita masih kuat dijalankan pada saat itu. Namun karena niat baik, cita-cita serta kegigihan Dewi Sartika yang tiada putusnya serta kebijakan dari keluarga, maka sekolah tersebut tetap terwujud.
Di saat yang bersamaan dengan perjalanan perjuangannya ingin mengentaskan kebodohan bagi kaum perempuan pribumi, Dewi Sartikapun menemukan jodohnya yaitu Raden Kanduruan Agah Suriawinata seorang Guru di Sekolah Karang Pamulang. Kemudian mereka menikah pada 1906.
Karena penilaian positif terhadap upaya pengembangan sumber daya kaum perempuan pribumi melalui dunia pendidikan yang di rintis Dewi Sartika begitu besar. Akhirnya banyak diantara kaum perempuan Sunda yang memiliki cita-cita dan harapan yang sama mendirikan 'Sekolah Keutamaan Istri' di beberapa tempat. Sekitar 9 sekolah berdiri di Kota Kabupaten se- Pasundan. Termasuk yang didirikan di Bukit Tinggi Sumatera Barat oleh Encik Rama Saleh.
Atas jasa-jasanya memperjuangkan hak kaum perempuan pribumi dalam bidang pendidikan terutama di tanah Pasundan. Pada September 1929, dalam acara peringatan 25 Tahun berdirinya 'Sekolah Keutamaan Istri',yang sekaligus dirubah namanya menjadi 'Sakola Raden Dewi', Dewi Sartika mendapat penghargaan dari Pemerintah Kerajaan Hindia-Belanda berupa Bintang Jasa.
Namun perkembangan Sekolah yang Ia bina sejak masih remaja dan telah banyak bermunculan di mana-mana, tidak membuat dirinya kuat untuk terus mengembangkannya.
Tepat di usia ke 62 tahun, pada 11 September 1947, Dewi Sartika meninggal dunia di Tasikmalaya dan oleh keluarga serta kerabat dan para sahabatnya, almarhumah dimakamkan di pemakaman Cigagadon Desa Rahayu Kecamatan Cinean. Namun tidak lama kemudian jasadnya dipindahkan ke pemakaman Bupati Bandung Jalan Karang Anyar Kota Bandung. Atas jasa-jasanya pula, Pemerintah Republik Indonesia (RI) pada 1 Desember 1966 menganugrahkan kepada Raden Dewi Sartika gelar Pahlawan Nasional.
Begitu lah besar jasa-jasa Dewi Sartika kepada Bangsa Indonesia, beliau mencurah kan seluruh jiwa dan raga untuk memperjuangkan hak-hak para wanita. Dan menghapuskan Emansipasi Wanita. Di era modern sekarang ini kita wajib untuk menghargai jasa-jasa Dewi Sartika. Semoga beliau mendapat tempat yang baik di sisinya amin.
Daftar pustaka :
2. Sutrisno Kurtoyo dkk, Buku Seri Pahlawan,Penerbit Mutiara Jakarta, 1979
No comments:
Post a Comment