Halaman

KESEWENANGAN PIETER BOTH DI PULAU JAWA


Rizki Aiditya/SI3/B
A.    Awal Mula Ekspedisi
Kapal pihak asing yang pertama kali berlabuh di Nusantara adalah kapal Portugis yang berhasil menguasai Malaka pada tahun 1511. Pada tahun 1521, untuk pertama kalinya rempah-rempah diangkut secara lansung dari Nusantara, tepatnya dari Maluku menuju Eropa, Ekspedisi yang memelopori pembukaan jalur pelayaran dan perdagangan rempah-rempah ke Eropa, atau tepatnya ke Portugis adalah Sabastian del cano. Del cano berlayar dari tidore menuju selatan, kemudian ke Timor lalu ke arah barat daya menyeberangi Samudra Indonesia menuju selatan Afrika hingga kemudian sampai ke laut Atlantik dan muara Sungai Guadalquivir di Iberia Selatan, sampai akhirnya tiba kembali di Sevilla. Rempah-rempah yang saat itu banyak banyak digemari oleh orang Portugis antara lain cengkeh, pala, merica, dan lainnya.
Peristiwa tersebut menandakan bahwa Portugis telah membuka jalur pelayaran baru menuju Nusantara. Sebelum nya, rempah-rempah dari Maluku ini harus menempuh jalur yang berliku dan memakan waktu yang lebih lama untuk sampai di pasaran Eropa. Dahulu rempah-rempah tersebut diangkut dari Maluku Utara ke Hitu dan Banda, untuk kemudian diangkut ke bagian barat Indonesia yaitu ke pelabuhan-pelabuhan di pesisir jawa, pantai timur Sumatra, dan selat Malaka. Perjalanan laut dilanjutkan dengan melintasi laut Arab yang memiliki dua pilihan jalur. Jalur pertama di sebelah utara, dengan rute menuju Teluk Oman melalui selat Ormuz dan dilanjudkan ke teluk Persia. Jalur kedua dengan rute melalui Teluk Aden dan Laut Merah hingga Suez, kemudian Iskandariah. Melalui rute inilah sejumlah kapal asal Arab, Persia, hingga India telah pulang-pergi melintasai barat ke timur dan terus hingga ke Negri Tiongkok. Ada indikasi yang menunjukkan bahwa sesudah abad ke-9, kapal-kapal Tiongkok pun mengikuti jalur perlayaran tersebut. Menyadari akan pentingnya jalan dagang tersebut, Portugis bermaksud untuk menguasai jalur perdagangan yang melalui rute tersebut. Hingga kemudian Alfonso d'Albuquerque berhasil menduduki Goa di tahun 1510, Malaka di tahun 1511, dan Ormuz di tahun 1515. Inilah asal mula terjadinya penjajahan di Nusantara.
Setelah berhasil menguasai Malaka, kemudian di tahun 1522 d'Albuquerque bermaksud memperluas wilayah kekuasaannya dengan mengirim Enrique Leme ke Sunda Penjajaran untuk meminta izin kepada penguasa saat itu untuk membangun benteng di Sunda kelapa. Permohonan Lame dikabulkan dengan syarat mereka bersedia membantu Sunda Pajajaran jika diserang oleh pasukan Demak-Cirebon.
Akan tetapi, ketika Portugis kembali di tahun 1527 untuk membangun bentenng sesuai perjanjian sebelumnya, ternyata Sunda Kelapa telah dikuasai oleh pasukan Demak-Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah. Kehadiran Portugis pun berhasil dihadang dan akhirnya mereka harus kembali ke Malaka. Kemenengan ini dirayakan Fatahillah dengan mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta pada tanggal 22 Juni 1527.
Di akhir abad ke-16, yaitu pada tahun 1596, kapal-kapal Belanda pun mulai mengikuti jejak Portugis, berdatangan untuk berdagang di Nusantara. Pada saat itu sudah banyak terbentuk kota-kota pelabuhan besar di seluruh Nusantara, di antaranya Jayakarta, Banten, Demak, dan Gresik. Persaingan antara sejumlah kota pelabuhan pun terjadi dan hal ini tanpa disadari justru melemahkan penduduk setempat sehingga kalah bersaing dengan pihak asing.
Kondisi tersebut membuat kemampuan dan kekuatan Belanda semakin besar dalam menguasai jalur perdagangan yang ada, terutama jalur perdagangan di Jayakarta. Hal ini membuat kapal-kapal dagang bumiputra semakin sulit untuk melakukan hubungan satu sama lain, ataupun antara pulau. Pada tahun 1609 kapal Inggris di bawah komando Captain William Keeling, juga berlabuh di Jayakarta, dalam perjalanan dari Banten kr kepulauan Maluku. Kapal ini merupakan kapal Inggris pertama yang berlabuh di Jayakarta, miskipun beberapa waktu sebelumnya sudah pernah berlabuh di wilayah bumu Nusantara lainya, seperti tercatat di antaranya pada tahun 1602, 1604-1606, 1607-1609, dan 1615-1617. Sepuluh tahun semenjak kedatangan kapal Inggris pertama kali di Jayakarta, Inggris dan Belanda terlihat dalam pertikaian sengit karena bersaing dalam memperebutkan Nusantara, dan masa depan perdagangan  rempah-rempahnya. Peperangan tersebut dimenangkan oleh pihak belanda. Akibatnya, Inggris pun harus angkat kaki dari Jayakarta.
Setelah 100 tahun lebih berkuasa penuh di Batavia serta di wilayah Nusantara lainnya, Belanda tidak bisa menghindari perang yang berkecamuk di berbagai di berbagai daerah di Nusantara, sebagai bentuk perlawanan rakyat atas penindasan yang di lakukan VOC. Pada tahun 1799 VOC mengalami kerugian besar akibat perang local yang berkepanjangan. Nusantara kemudian menjadi rebutan antara Negara Perancis dan Inggris. Antara tahun 1808-1816, Nusantara sempat menjadi koloni Perancis (1808-1811) dan koloni Inggris (1811-1816). Selanjutnya, pemerintah Belanda baru mengundur ketika Perang Dunia II pecah. Saat itu negeri Belanda diserang oleh pasukan Jerman pada tahun 1940. Watak sesungguhnya dari pihak Belanda, Inggris, dan Perancis tidaklah berbeda. Mereka sama-sama ingin menjadikan Nusantara sebagai daerah koloninya. Dengan kata lain, siapa pun pihak asing yang menduduki Nusantara kala itu tetap akan membawa kesengsaraan dan penderitaan panjang bagi penduduk setempat.
B.     Penyebab Nya
Pada tahun 1580, setelah Portugal diintegrasi oleh Spanyol, Spanyol segera memblokir Lisabon, yang merupakan pasar rempah-rempah, agar Belanda mengalami berbagai kesulitan untuk membelinya. Oleh karna itu, Belanda terpaksa mencari rempah-rempah lansung ke negri penghasil rempah-rempah. Tindakan ini membuat kaum kapitalis Belanda merintis jalur perdagangan baru, dan akhirnya Belanda berhasil tiba di pelabuhan Banten pada tahun 1596. Setelah itu, semakin banyak kapal dagang Belanda yang berlayar ke Nusantara. Orang-orang Belanda saling berlomba mendatangi Nusantara untuk mencari ke untungan yang sebesar-besarnya. Semakin banyaknya orang Belanda yang berdagang di Nusantara, telah menyebabkan terjadinya persaingan, yang bukan hanya di antara mereka saja, tetapi juga dengan pedagang-pedagang bangsa lain.VOC terdiri atas enam bagian wilayah yaitu Amsterdam, Hoorn, Enkhuizen, Rotterdam, Delft, dan Middelburg. VOC memiliki pimpinan pusat, yang berpungsi sekaligus sebagai dewan pengurus, yang terdiri atas tujuh belas utusan atau disebut juga 'Heren 17', yang pada mulanya terdiri atas delapan dari Amsterdam, empat dari Zeelan/Middelburg,dan satu utusan dari setiap bagian wilayah lainnya. Heren 17 memiliki wewenang yang sangat besar dalam memutuskan segala bentuk perkara yang terjadi di setiap koloni VOC.
Terbentuknya VOC menjadikan praktek monopoli Belanda kian meluas. Hal ini dikarenakan VOC diberi wewenang penuh untuk melakukan perekrutan pasukan,membangun tempat penembakan meriam, mencetak uang, mengangkat pejabat, bahkan berperang atau gencatan senjata, serta berhak mewakili kongres untuk membuat perjanjian dengan Negara lain. Dalam hal ini terlihat jelas bahwa VOC bukan hanya organisasi dagang, melainkan juga sebuah badan politik colonial yang haus kekuasaan. Perdagangan  rempah-rempah di Nusantara hanya dijadikan kedok atas misi sesungguhnya untuk merampas kekayaan bumi Nusantara dan secara bertahap menjadikan Nusantara sebagai koloninya.
Untuk pertama kalinya di tahun 1610, VOC mengangkat gebnur jendral untuk pulau jawa, yaitu Pieter Both. Pengangkatan ini disertai sebuah tugas, bahwa Pieter Both harus mendapatkan sebuah tempat yang tepat untuk mendirikan kantor dagang dan dapat dijadikan sebagai pusat pelayaran seluruh Hindia. Pieter Both kemudian memilih banten karena letaknya sangat strategis. Sebelumnya, Banten merupakan tempat VOC membeli dan menumpuk barang-barang dagangannya. Akan tetapi, VOC merasa khawatir bahwa kepetingannya di Banten akan diganggu oleh penguasa setempat, karena kerajaan Banten saat itu masih terlalu kuat bagi VOC.Pada tahun itu juga pihak VOC melakukan perundingan kerjasama dengan pangeran Wijayakrama dari kerajaan Banten. Hasil perundingan tersebut ditandatangani pada bulan Januari 1611. Sebagian kecil ketentuan dalam perjanjian itu berkisar pada proses pengurusan pembayaran bead an proses hukum, sedangkan sebagian lagi berkaisar pada penjualan sebidang tanah di timur tepi kali Ciliwung untuk mendirikan sebuah rumah batu dan kayu (timmeren), yang berpungsi sebagai tempat tinggal, kantor, sekaligus gudang, di atas tanah seluas 50 X 50 depa/ vadem dengan pembayaran ganti rugi sebesar 1.200 real kepada pangeran Wijayakrama.
Akan tetapi, ternyata kedua rumusan naskah asli dengan sengaja disusun berbeda oleh VOC, untuk digunakan sebagai alasabn menyerang pihak Banten dengan dalih tidak menepati surat perjanjian. Adanya perbedaan rumusan perjanjian, telah menimbulkan pengertian yang berbeda antara Pangeran Wijayakrama dan VOC, khususnya dalam hal penjualan tanah. Dalam kerajaan Banten, termasuk Jayakarta kala itu, tanah tetap milik raja yang hanya boleh dipergunakan untuk waktu tertentu dengan syarat-syarat yang bisa berubah sewaktu-waktu. Akan tetapi bagi VOC, makna pembelian tanah itu berarti menjadi hak milik VOC.Meskipun sempat terjadi ketegangan, tetapi akhirnya tempat untuk VOC ditentukan berdampinagan dengan kampong Tionghoa yang dikepalai oleh Nahkoda Watting. Di masa kini, kampong Tionghoa itu terletak disekitar jembatan di atas Kali Besar, sedangkan kampong bumuiputra berada di sebelah timurnya, yang kepalai oleh Kiai Aira, Patih Pangeran Wijayakrama, dan kini  kira-kira berada di sekitar Jalan Tongkol dan Jalan Kembang.
Pada tahun 1611, akhirnya di jayakarta didirikan kantor dagang tak permanen berukuran 31,5 X 11,4 meter yang terbuat dari bahan gedek dan batu. Gudang ini kemudian disebut Nassau, yang selesai dibangun pada tahun 1613 oleh Abraham Theunemans. Gudang ini terletak di tepi timur Kali Besar, yang jaraknya kurang lebih 150 meter di sebelah selatan jembatan dekat Menara Syahbandar pada saat ini.Sebelum jatuhnya kekuasaan Pangeran Wijayakrama, ternyata VOC kembali melakukan penambahan pada isi rumusan kesepakatan antara VOC dan Pangeran Wijayakrama yang telah dibuat sebelumnya. Tambahan pada versi VOC yaitu, diberikannya izin membongkar rumah-rumah warga etnis Tionghoa yang dianggap terlalu dekat dengan gudang mereka. Alasan penambahan pada isi rumusan adalah karena tidak adanya kepastian mengenai beacukai. Menurut perjanjian versi VOC, Nahkoda Watting juga bertugas sebagai penerjemah dan perantara antara kedua belah pihak. Di kemudian hari, Nahkoda Witting dibunuh oleh pihak Banten ketika Pangeran Wijayakrama dipecat oleh Pangeran Ranamanggala.
c. Ketidak  Adilan yang dirasakan
Sejalan dengan meningkatnya perdagangan di Batavia, meningkat pula jumlah para imigrannya seperti dari Jepang, Tiongkok, Moor/Moro, dan Mestizo. Sebagian besar imigrasi Jepang pada saat itu bekerja pada kompeni VOC, Inggris, ataupun Sepanyol, dan sebagian lainya memiliki mata pencaharian sebagai pedagang atau penyewa tanah. Orang Tionghoa kebanyakan bekerja sebagai pedagang, penyuling arak, kuli, pandai besi, hingga petani. Bidang perdagangan juga banyak diketahui oleh orang Moro. Orang Moro, yaitu orang keling islam, yang berasal dari Koromandel. Mayoritas orang Mesotizo juga berpropesi sebagai pedagang atau tuan tanah.
Pada saat itu, VOC membangun kota Batavia di atas tanah rawa, maka untuk mencegah banjir, kompeni VOC banyak membuat kanal. Proyek borongan pembangunan kanal itu banyak dipegang oleh orang Tionghoa. Bersinergi dengan meningkatnya jumlah proyek kebutuhan kompeni, jumlah kuli pun meningkat, termasuk kuli etnis Tionghoa. Hal ini sebenarnya lebih banyak menguntungkan pihak VOC, karena kebutuhan akan tenaga kerja kasar terpenuhi, dan pendapatan pajak kepala yang juga dibebankan kepada kuli etnis Tionghoa pun jadi meningkat.
Bukan dibidang pekerjaan saja VOC melakukan orang Tionghoa dengan perlakuan yang tidak adil, bahkan dalam setiap tahun sejumlah 4.000 budak diperdagangkannya. Tak hanya itu, VOC bahkan melakukan penculikan penduduk di daerah pantai tenggara Tiongkok dan India.Tampak jelas sekali kekejaman VOC dalam menerapkan berbagai cara demi keuntungan pribadi dan negaranya. Sementara, kondisi ekonomi penduduk Nusantara kian terpuruk. Dampaknya meluas pada buruknya kondisi sumber daya manusia dengan kesehatan dan kesejahteraan yang sangat rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Wijayakusuma, M. Hembing. 2005. Pembantataian Massal 1740, Tragedi Berdarah Angke. Jakarta: Pustaka Populer Obor.
SEJARAH INDONESIA IV, Marwati Djoened Poesponegoro,Nugroho Susanto/ Depatermen Pendidikan dan Kebudayaan/Pn Balai Pustaka Jakarta 1984

No comments:

Post a Comment