Halaman

ANALISIS KONDISI SOSIAL-EKONOMI HINDIA BELANDA (MENGACU PADA FILM MAX HAVELAAR)

Muhammad Nur/ SI3/B


Setelah VOC tidak lagi memerintah di Hindia Belanda, kekuasaan secara langsung berada di bawah Pemerintah Kolonial Belanda. Pemerintahan ini menghadapi persoalan mengenai sistem eksploitas yang akan digunakan agar daerah jajahan dapat menghasilkan keuntungan secepat dan sebanyak mungkin bagi Belanda. Berbagai sistem eksploitasi telah banyak diterapkan di Hindia Belanda, namun sepertinya sistem eksploitasi yang banyak mengundang kritik adalah Tanam Paksa (Cultuurstelsel). Pada tahun 1830 sistem ini disahkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda atas usul dari Gubernur Jenderal Johannes Van den Bosch.
Pemerintah Belanda memberlakukan sistem tanam paksa bukan tanpa alasan, adanya defisit keuangan yang semakin besar antara lain akibat Perang Diponegoro (1825-1830) yang banyak menelan biaya, selain itu pemasukan pajak tanah belum berjalan dengan lancar. Di negeri Belanda sendiri kesulitan ekonomi bertambah besar ketika terjadinya Perang Belgia sehingga Belgia memisahkan diri dari Belanda (1830). Akibatnya Belanda banyak kehilangan industrinya serta tanah domein negara di Belgia yang disewakan.
Sistem tanam paksa merupakan penyatuan antara penyerahan wajib dengan sistem pajak tanah. Setiap desa wajib menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditi ekspor. Pungutan dalam sistem tanam paksa sendiri berbentuk in natura yaitu dalam bentuk hasil-hasil pertanian penduduk. Ketentuan-keteentuan sistem tanam paksa telah diatur dalam Staatblad No. 22 tahun 1834. Bila dicermati lebih lanjut, ketentuan-ketentuan dalam Staatblad tersebut sebenarnya tidaklah membebani rakyat. Namun pelaksanaan cultuurstelsel sendiri pada kenyataannya banyak sekali terjadi penyimpangan dari ketentuan tersebut, untuk itulah pelaksanaan cultuurstelsel merupakan sistem eksploitasi yang lebih kejam dan keras dibanding sistem monopoli VOC, terdapat sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah.
Meski bagi Pemerintah Kolonial Belanda sistem ini berhasil memberikan keuntungan yang luar biasa sehingga dapat menutup semua hutang-hutang yang pernah ditinggalkan oleh VOC serta menjadikan perekonomian negeri Belanda stabil, namun sebaliknya bagi sebagian besar penduduk pribumi sistem tanam paksa ini dirasakan sebagai penderitaan yang sangat menyiksa mereka.
Max Havelaar, merupakan sebuah novel karya Eduard Douwes Dekker (Multatuli) yang kemudian diangkat ke dalam sebuah film berjudul sama. Tulisan Eduard Douwes Dekker ini menjadi senjata ampuh dalam penghapusan sistem tanam paksa yang telah begitu lama menyengsarakan rakyat pribumi. Gambaran tentang bagaimana kondisi sosial-ekonomi Hindia-Belanda pada masa itu dapat kita ketahui setelah melihat film (novel) Max Havelaar ini.
Latar belakang tempat dalam film ini secara keseluruhan adalah di Lebak, Banten. Lebak merupakan salah satu daerah yang menjadi lahan untuk aksi eksploitasi tanam paksa. Daerah ini memiliki tanah yang subur, namun sangat ironis ketika penduduk pribumi yang tinggal di Lebak mengalami kemiskinan serta kelaparan. Dari hal ini kita dapat mengetahui bahwa daerah yang subur serta memiliki sawah-sawah yang hijau sekalipun ketika masa kolonial Belanda khususnya saat berlangsungnya sistem tanam paksa, tidak dapat menjamin masyarakat yang mendiami tempat tersebut menjadi makmur. Mengapa dapat terjadi hal sedemikian ironisnya?
Ternyata penindasan terhadap penduduk pribumi tidak hanya dilakukan oleh pemerintah Belanda tetapi juga dilakukan oleh pemimpin pribumi sendiri seperti bupati dan demang. Dapat diketahui bahwa yang sangat hakiki dalam rencana van den Bosch adalah digunakannya organisasi desa sebagai wahana yang paling tepat untuk meningkatkan produksi, dengan kata lain penggunaan organisasi desa berarti memperkuat ikatan-ikatan yang ada di desa sehingga rakyat tidak lagi memilki kebebasan pribadi atau mempunyai milik pribadi. Pengaruh kepala desa sebagai perantara warga desa dan dunia luar desa diperkuat dengan diikut sertakannya dalam sistem tanam paksa. Seperti yang digambarkan dalam cerita Max Havelaar, rakyat pribumi begitu takut dengan pimpinan pribuminya sendiri sehingga mereka rela ketika kerbau yang dimilikinya diambil secara paksa oleh demang dan para pengawalnya. Apabila terjadi perlawanan maka tak segan-segan mereka akan ditembak mati.
Kekuasaan bupati juga bertambah kembali dalam sistem ini. Dengan perkembangan administrasi kolonial maka jumlah pegawai Eropa bertambah banyak, dan mereka terpencar ke pedalaman, sehingga terdapat pengawasan oleh residen dan pembantunya, asisten residen dan kontrolir, terhadap tingkah laku bupati serta bawahannya. Meskipun demikian, struktur feodal yang masih kuat menempatkan kepala desa tetap dibawah pengaruh pamong praja, maka mereka tidak dapat bertindak secara bebas dan berhubungan langsung dengan atasannya. Hal ini juga tergambar dalam cerita karya Multatuli, yaitu pada pertengahan abad XIX ternyata ikatan feodal sangat kuat sekali, seperti yang terungkap dalam cerita sebagai ledakan konflik antara bupati Kartanegara dan Max Havelaaar. Sebelum kedatangan Max di Lebak, yang menjadi asisten residen adalah Mr. Slotering. Slotering mengalami nasib yang kurang beruntung, ia sengaja diracun ketika melangsungkan jamuan makan malam di rumah bupati Lebak. Peringatan Slotering terhadap bupati agar tidak lagi mengambil keuntungan secara paksa dari penduduk ternyata telah menyinggung sang bupati. Akibatnya Slotering kehilangan nyawanya tak lama setelah ia pulang dari rumah bupati. Catatan mengenai akibat kematiannya ternyata dimanipulasi oleh dokter yang menanganinya. Mungkin hal ini dilakukan karena dokter tersebut juga meresa takut terhadap bupati, serta bupati dan gubernur jenderal sendiri memiliki hubungan kerjasama sehingga tidak mungkin apabila diberikan laporan mengenai kejanggalan yang mengakibatkan kematian Slotering.
Digantikannya Slotering dengan Max Havelaar sebagai asisten residen di Lebak, membuka babak baru dalam kehidupan masyarakat di Lebak. Max Havelaar diceritakan sebagai seorang yang cukup bersahabat dengan pribumi. Sebelum di Lebak, Max bertugas di wilayah timur Hindia-Belanda yaitu Manado. Ia telah mengetahui bahwa Lebak meupakan daerah yang sangat miskin, untuk itu ia memiliki keinginan besar agar dapat mengubah keadaan penduduk pribumi di Lebak sehingga terlepas dari penderitaan yang selama ini dialami.
Setelah menjadi asisten residen Lebak, Max mencari pokok permasalahan yang mengakibatkan kemiskinan di daerah Lebak. Disaat ia membuka kembali catatan laporan yang dibuat oleh asisten residen sebelumnya serta dari pengamatan yang ia lakukan sendiri, akhirnya dapat diketahui bahwa kemiskinan yang terjadi di Lebak adalah akibat dari penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh bupati Lebak dan para demangnya. Terlihat ketika bupati mempekerjakan rakyatnya melebihi waktu yang diperbolehkan, menarik pajak yang tinggi, merampas kerbau-kerbau yang dimiliki oleh rakyat. Hal ini dilakukan selain untuk menarik simpati dari pemerintah Belanda, juga untuk mengumpulkan kekayaan bagi mereka sendiri.
Sebagai perangsang dalam penyelenggaraan sistem tanam paksa baik para residen (bupati) maupun demang akan mendapat cultuur procenten yaitu presentase dari hasil penjualan tanaman ekspor yang diserahkan. Semakin besar jumlah tanaman ekspor yang diserahkan pada pemerintah kolonial, semakin besar pula jumlah imbalan yang diperoleh para pegawai Belandan dan para pemimpin pribumi. Akibatnya timbullah kecenderungan untuk memaksa rakyat berusaha mencapai target bila perlu dengan tambahan pekerjaan atau areal tanaman.
 Dalam cerita, ketika Max Havelaar mengetahui bahwa kemiskinan di Lebak adalah akibat dari penyelewengan yang dilakukan oleh bupati serta demangnya sendiri, ia melakukan berbagai upaya untuk menghentikannya agar dapat meringankan penderitaan rakyat Lebak. Max sendiri pernah memberikan sejumlah uang kepada bupati supaya harta rakyat tidak dirampas lagi oleh bupati. Ia juga telah melarang langsung perampasan kerbau oleh para demang. Karena rasa takut rakyat pribumi kepada pemimpinnya sendiri, alhasil usaha yang dilakukan Max gagal. Ini mengindikasikan bahwa feodalisme masih sangat berakar di kalangan rakyat pribumi. Sekalipun ada seseorang yang ingin membantu mereka lepas dari kesengsaraan sekalipun orang tersebut memiliki pangkat diatas bupati, rakyat pribumi akan lebih memilih dan akan lebih takut kepada pemimpin pribuminya yaitu bupati dan demang.
Usaha Max dalam mencari bukti dan saksi atas penderitaan yang dialami oleh rakyat Lebak sedikit menemukan titik terang setelah seorang warga berani jujur dan melapor kepada Max serta bersedia untuk menjadi saksi di pengadilan. Rencananya Max akan meminta bantuan kepada atasannya yaitu Residen Serang yang juga seorang Belanda untuk memaksa bupati dan demang Lebak berhenti dari kesewenangannya, hal ini juga tidak berhasil karena ternyata diantara mereka (bupati dan residen) telah terjalin kerjasama. Langkah yang dilakukan oleh Max selanjutnya adalah mencari keadilan kepada Gubernur Jenderal Belanda namun lagi-lagi Max gagal, dengan alasan kekuasaan Gubernur Jenderal Belanda tersebut lebih berpihak kepada bupati Lebak. Oleh Gubernur Jenderal, Max akan dipindahkan ke Ngawi namun hal ini ditolak olehnya. Sebagai bentuk protes, Max kemudian memilih untuk mengundurkan diri sebagai asisten residen dan tidak lagi mengabdi kepada pemerintah Hindia Belanda. Dapat dilihat disini bahwa kekuasaan kolonial tetap merupakan tiran yang sangat sulit untuk dirobohkan.
Dari penjelasan tersebut dapat kita simpulkan mengenai kondisi sosial ekonomi di Hindia Belanda (khususnya di Lebak, Banten;film Max Havelaar) ketika diberlakukannya sistem tanam paksa (cultuuurstelsel) oleh Pemerintah Kolonial Belanda :
  • Hindia Belanda atau Indonesia (sekarang) menganut sistem eksploitasi yaitu cultuurstelsel atau sitem tanam paksa. Namun kondisi penduduknya tak semujur pelaksananya (Pemerintah Kolonial dan para kepala pribumi).
  • Daerah yang subur sekalipun tidak dapat menjadi jaminan penduduknya makmur dan sejahtera, seperti yang terjadi di Lebak, kemiskinan dan kelaparan terjadi di daerah tersebut.
  • Meskipun penduduk memiliki tanah serta ternak (kerbau) bukan berarti mereka dapat mengantongi uang.
  • Sistem tanam paksa yang menggunakan organisasi desa mengakibatkan ikatan-ikatan yang ada di desa (ikatan komunal, ikatan tradisional, dan ikatan feodal) menjadi sangat kuat. Hal inilah yang akhirnya menimbulkan pemerasan terhadap penduduk yang tidak hanya dilakukan oleh pemerintah Belanda namun dilakukan juga oleh para penguasa pribumi. Dalam pembayaran pajak tanah para penguasa pribumi memungut semacam persekot dari rakyat namun tidak disetor kepada pemerintah Belanda dan digunakan sendiri. Kemudian rakyat masih dipungut jumlah pajak yang utuh.
  • Banyak penduduk Lebak yang akhirnya memilih merantau ke Lampung karena disana terdapat penguasa yang lebih bijak dari pada di Lebak, namun pilihan ini juga menjadi bumerang bagi penduduk yang melakukan perantauan karena belum sampai memiliki kehidupan di sana, mereka telah ditembak mati oleh para serdadu Belanda.
  • Dualisme kekuasaan, menjadi hal yang harus dihadapi rakyat pribumi. Selain mereka harus bekerja wajib kepada Belanda, mereka juga harus memenuhi segala kebutuhan pemimpin pribuminya sendiri.

Dari segala macam bentuk kegiatan sistem tanam paksa, pada akhirnya berpengaruh panjang pada struktur sosial-ekonomi adalah sistem tanam paksa merupakan suatu intensifikasi sistem produksi pre-kapitalis, sehingga tidak mampu menciptakan kekuatan ekonomis yang otokhton yang melahirkan pertumbuhan ekonomi dengan perkembangan kapitalismenya. Sistem tanam paksa menciptakan usaha pertanian yang padat karya pada pihak pribumi serta usaha industri pertanian yang padat modal pada pihak pengusaha Eropa atau asing. Akibatnya timbul dualisme dalam ekonomi, yang mengakibatkan diskriminasi antara golongan penguasa dan penjajah dan yang diperintah dan dijajah.

Daftar pustaka
-          Marwati Joened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta : Balai Pustaka, 2008
-          Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Dari Emporium ke Imporium jilid I, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1992

No comments:

Post a Comment