Halaman

GERAKAN ACEH MERDEKA

PERTIWI RESTI/SIV

             Umum menganggap bahwa GAM dilahirkan pada 4 Desember 1976. Sebenarnya GAM sendiri sebagai wahana pergerakan baru didirikan pada 20 Mei 1977. Namun Hasan Tiro sendiri memilih hari lahir GAM adalah pada tanggal yang disebut paling awal, disesuaikan dengan proklamasi kemerdekaan Aceh Sumatera. Proklamasi ini dilangsungkan di Bukit Cokan, pedalaman Kecamatan Tiro, Pidie. Prosesi ini dilakukan secara sederhana, dilakukan di suatu tempat yang tersembunyi, menandakan bahwa awal-awalnya, gerakan ini adalah gerakan bawah tanah yang dilakukan secara diam-diam.
             Terdapat berbagai pendapat yang telah menjelaskan beberapa hal yang menjadi kausa peristiwa ini. Pertama, bahwa GAM merupakan lanjutan perjuangan—atau setidaknya terkait—Darul Islam (DI) Aceh yang sebelumnya pernah meletus pada 1950-an. Dukungan para tokoh DI pada awal lahirnya GAM memperkuat tesis bahwa ada yang belum selesai pada upaya integrasi yang dibangun oleh Sukarno untuk menyelesaikan pemberontakan DI/TII Daud Beureueh.
             Kedua, faktor ekonomi, yang berwujud ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi antara pusat dengan daerah. Pemerintahan sentralistik Orde Baru menimbulkan kekecewaan berat terutama di kalangan elite Aceh. Pada era Soeharto, Aceh menerima 1% dari anggaran pendapatan nasional, padahal Aceh memiliki kontribusi 14% dari GDP Nasional. Terlalu banyak pemotongan yang dilakukan pusat yang menggarap hasil produksi dari Aceh. Sebagian besar hasil kekayaan Aceh dilahap oleh penentu kebijakan di Jakarta. Meningkatnya tingkat produksi minyak bumi yang dihasilkan Aceh pada 1970-an dan 1980-an dengan nilai 1,3 miliar US Dolar tidak memperbaiki kehidupan sosial ekonomi masyarakat Aceh. Ketidakadilan di bidang ekonomi, politik, dan berbagai ketidakadilan lainnya merupakan faktor ketiga dari sebab kelahiran GAM.
             Penyelesaian konflik Aceh oleh pemerintah RI pada masa Orde Baru sampai era Reformasi. Pada masa Presiden B.J.Habibie, pemerintah tetap mengedepankan pendekatan keamanan dengan menggunakan militer dan polisi dalam menjaga keamanan di Aceh. Pada masa Presiden Abdurahman Wahid mencoba melakukan pendekatan baru, yang disebut dengan pendekatan ekonomi dan politik, dan mencoba membuka dialog damai dengan GAM. Pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri berlaku Kesepakatan Penghentian Kekerasan. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, tampak keduanya memilih cara non-militer untuk menyelesaikan persoalan. Terlebih inisiatif, Jusuf Kalla dengan cara bekerja di balik layar (second track diplomacy) agar dapat masuk ke pusat pimpinan GAM, dalam rangka melakukan komunikasi politik di satu sisi dan sekaligus membangun kepercayaan. Musibah yang mendatangkan berkah akhirnya terjadi, tsunami 26 Desember 2004 telah turut mengambil peran untuk mendamaikan para pihak yang bertikai. Musibah tersebut menuntut pemerintah dan GAM untuk lebih memikirkan solusi damai dalam menyelesaikan pemberontakan bersenjata di Aceh.    
Faktor-faktor perdamaian di Aceh:
1.      Bencana Alam Tsunami
Posisi pemerintah sangat jelas disini. Wakil Presiden M. Jusuf Kalla, beberapa hari setelah tsunami dengan jelas mengumumkan bahwa perdamaian harus segera dilakukan. Bagi Jusuf Kalla, sangat mustahil membangun puing-puing reruntuhan Aceh apabila pemerintah dan GAM masih bersebrangan.
2.      Keseriusan Pemerintahan SBY-JK
Keseriusan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, telah menunjukkan keseriusan untuk memulai perundingan damai dengan GAM. Keinginan kedua pemimpin ini bukan sekedar retorika tetapi aksi nyata.
3.      Dukungan TNI
TNI sendiri amat sangat mendukung dan mendorong terciptanya perdamaian di Aceh. Dalam konteks ini peranan presiden SBY sangat dominan. SBY dengan tegas menyatakan bahwa TNI harus ikut keputusan politik yang dilakukan pemimpin.
4.      Perubahan semangat GAM
Hasil operasi pasukan TNI yang besar-besaran sebelum tsunami membuat pasukan GAM mengendur. Pasukan GAM mengalami kekalahan yang signifikan dan membuat semangat tempur orang-orang GAM di lapangan mengalami perubahan.
5.      Peranan Martti Ahtisaari
Kepemimpinan mantan Presiden Finlandia,  Martti Ahtisaari, dalam memediatori dan memfasilitasi perundingan damai tersebut sangat menentukan. Ia amat tegas dalam, penuh siasat dan ia juga memiliki rencana yang matang pada setiap perundingan. Ia selalu berkomunikasi langsung dengan Sekjen PBB, Koffi Annan selama perundingan. Dengan demikian ia amat gampang memobilisasi segala keperluan untuk mencapai perdamaian di Aceh.
6.      Agenda Konkret Pemerintah
Faktor ini sangat menentukan sebab tawaran konkret tersebut membuat posisi pemerintah Indonesia di meja perundingan, sangat menguntungkan. Manakala pihak GAM masih berputar-putar damal mengadu argumentasi dan berusaha mengelak memasuki subtansi persoalan, Ahtisaari selalu menggunakan tawaran konkret itu untuk menekan GAM.
7.      Dukungan Internasional
Dunia internasional amat mendukung ikhtiar damai yang dilakukan oleh pemerintahan baru SBY-JK.  Dukunga internasional untuk mempercepat perdamaian di Aceh ini tidak terlepas dari tsunami. Dunia internasioal secara serentak membantu melakukan rekonstruksi Aceh pasca bencana tsunami. Dunia internasional lebih rasional dan realistis bahwa adalah tidak mungkin melakukan bentuan kemanusiaan dan melakukan rekonstruksi Aceh tanpa adanya perdamaian antara pemerintah Indonesia dengan GAM.
8.      Format Dialog
Kali ini pihak pemerintah Indonesia dan GAM bertemu langsung di sebuah meja perundingan. Tak ada perantara yang menyampaikan masing-masing pesan. Denga demikian, tak ada kata yang ditafsirkan lain. Pertemuan langsung memang sangat efektif sebab selain masing-masing pihak mendengar secara langsung, juga segala rencana dan isi pikiran dengan mudah dikemukakan.
9.      Lobi Personal yang Intensif
Kontak person dengan para petinggi GAM yang dilakukan oleh pemerintah menjadi sangat signifikan. Hal yang sama juga dilakukan Wapres terhadap Ahtasaari. Dengan berkomunikasi langsung tersebut, baik dengan petinggi GAM maupun Ahtasaari, amat yakin tentang kesungguhan pemerintah untuk mencapai perdamaian.
10.  Kesabaran dan Toleransi Negositator Pemerintah
Daya tahan para perunding pemerintah untuk bersikap sabar dan toleransi terhadap serangan GAM, turut menentukan kelancaran perundingan. Dan sikap ini tidak terjadi begitu saja, sebab, setiap saat JK selalu mengingatkan agar berlatih menahan emosi dan reaksi. Ajaran JK tersebut bukan tanpa alasan. Pengalaman menyelesaikan konflik kekerasan di Poso dan Ambon beberapa tahun silam, membuat JK percaya bahwa bagian kesuksesan mendamaikan oranng adalah kesabaran.
11.  Komitmen Kedua Belah Pihak
Kepatuhan kedua belah pihak untuk menjaga komitmen bahwa subtansi pembicaraan selama dialog berlangsung, tidak boleh diketahui public. Baik pihak pemerintah maupun GAM, keduanya tunduk pada aturan main ini. Pihak mediator juga demikian. Ia hanya melakukan jumpa pers pada akhir tiap putaran dialog. Itu pun atas persetujuan kedua belah pihak.
12.  Kedisiplinan GAM
Kerapihan struktur organisasi GAM memungkinkan mereka amat disiplin. Selama perundingan berlangsung, tak ada satu un aktivis GAM yang melenceng dari perintah pemimpin mereka yang tengah berunding di Helsinki. Semuanya tunduk pada kepemimpinan Malik Mahmud dan Zaini Abdullah.

Daftar Pustaka
Haramain, A. Malik. 2004. Gus Dur, Militer, Dan Politik. Yogyakarta: LKiS
Awaludin, Hamid. 2008. Damai Di Aceh: Catatan Perdamaian RI-GAM Di Delsinki. Yogyakarta: Centre For Strategic And International Studies

No comments:

Post a Comment