Nurmahfuzah
Tuanku Tambusai lahir di Dalu - dalu, nagari Tambusai, Rokan Hulu, Riau. Dalu-dalu merupakan salah satu desa pedagang Minangkabau yang didirikan di tepi sungai Sosah, anak sungai Rokan. Tuanku Tambusai memiliki nama kecil Muhammad Saleh, yang setelah pulang haji, dipanggilkan orang Tuanku Haji Muhammad Saleh. Berikut ini nama – nama tuanku tambusai selama hidupnya yaitu:
1. Hamonangan atau si Monang panggilan sehari-hari di Batangonang.
2. Si Kosim panggilan sehari-hari di Daludalu sewaktu menjadi kernet penjaga kuda Pedagang Garam.
3. Abu Qasim namanya yang dikenali sewaktu menjadi murid diparpondokan (pesantren) Maulana Syekh Abdullah Halim dan Syekh Muhammad Saleh Tembusai.
4. Fakih Muhammad gelar yang diberikan kedua Syekh tersebut setelah dia menyelesaikan pelajaran dari mereka.
5. Tuanku Tambusai gelar yang diberikan Gerakan Wahabi (Padri) sebagai Panglima Padri untuk mengislamkan Tanah Batak bagian Timur. Yang dimulai dari Bentengnya di Tambusai (Daludalu).
6. Datuk Sutan Bagindo Ilang. Na Ilang-ilang tarida. Ilang di Lumban Bata Ditoru tarida di Lumban Bata Diginjang. Ilang di Lumban Bata Diginjang tarida di Lumban Bata Ditoru. Na sumolom laut Jabarulla. Lumban Bata Diginjang maksudnya di atas Khatulistiwa seperti negeri Arab, Turki dan Eropa. Laut Jabarulla maksudnya Selat Gibraltar. Kepergiannya ke Inggeris untuk mengikat perjanjian itu secara rahasia. Itulah sebabnya disebut na sumolom atau yang menyelam dia ke Inggeris itu.
7. Datuk Tuongku Aji Malim Leman namanya dalam turi-turian (folklore - cerita rakyat) yang sudah tersebar luas di Tapanuli Selatan.
8. Dolidoli Manjalak Dongan Guru na Baun Margondang Dua Saraban. Maksudnya seorang yang selalu mencari kawan dia orang Batak yang pandai membawakan irama Batak dan Minangkabau.
9. Syekh Abdul Wahab Tuan Guru Babussalam (Besilam). Nama Tuanku Tambusai selama bersembunyi di bawah ketiak Belanda di Langkat. Sejarah hidupnya dimulai dari Daressalam (Daludalu) dan berakhir di Babussalam (Besilam).
10. Syekh Abdul Wahab Rokan Alkhalidi Naqsyabandi.
Tuanku Tambusai merupakan anak dari pasangan perantau Minang, Tuanku Imam Maulana Kali dan Munah. Ayahnya berasal dari nagari Rambah dan merupakan seorang guru agama Islam. Oleh Raja Tambusai ayahnya diangkat menjadi imam dan kemudian menikah dengan perempuan setempat. Ibunya berasal dari nagari Tambusai yang bersuku Kandang Kopuh. Sesuai dengan tradisi Minang yang matrilineal, suku ini diturunkannya kepada Tuanku Tambusai. Sewaktu kecil Muhammad Saleh telah diajarkan ayahnya ilmu bela diri, termasuk ketangkasan menunggang kuda, dan tata cara bernegara. Untuk memperdalam ilmu agama, Tuanku Tambusai pergi belajar ke Bonjol dan Rao di Sumbar. Disana beliau banyak belajar dengan ulama-ulama Islam yang berpaham Paderi, hingga dia mendapatkan gelar fakih. Ajaran Paderi begitu memikat dirinya, sehingga ajaran ini disebarkan pula di tanah kelahirannya.
Disini ajarannya dengan cepat diterima luas oleh masyarakat, sehingga ia banyak mendapatkan pengikut. Semangatnya untuk menyebarkan dan melakukan pemurnian Islam, mengantarkannya untuk berperang mengislamkan masyarakat di tanah Batak yang masih banyak menganut pelbegu. Perjuangannya dimulai di daerah Rokan Hulu dan sekitarnya dengan pusat di Benteng Dalu - dalu. Kemudian ia melanjutkan perlawanan ke wilayah Natal pada tahun 1823. Tahun 1824, ia memimpin pasukan gabungan Dalu - dalu, Lubuksikaping, Padanglawas, Angkola, Mandailing, dan Natal untuk melawan Belanda. Dia sempat menunaikan ibadah haji dan juga diminta oleh ia untuk mempelajari perkembangan Islam di Tanah Arab.
Dalam kurun waktu 15 tahun, Tuanku Tambusai cukup merepotkan pasukan Belanda, sehingga sering meminta bantuan pasukan dari Jakarta. Berkat kecerdikannya, benteng Belanda Fort Amerongen dapat dihancurkan. Bonjol yang telah jatuh ke tangan Belanda dapat direbut kembali walaupun tidak bertahan lama. Tuanku Tambusai tidak saja menghadapi Belanda, tetapi juga sekaligus pasukan Raja Gedombang (regent Mandailing) dan Tumenggung Kartoredjo, yang berpihak kepada Belanda. Tuanku Tambusai adalah salah seorang tokoh ulama, pemimpin dan pejuang yang juga merupakan salah seorang tokoh Paderi terkemuka. Bersama ketujuh tulama lainnya, Tuanku Tambusai merupakan salah satu anggota Harimau Nan Salapan, sebutan bagi pimpinan beberapa perguruan yang kemudian menjadi pemimpin dari Kaum Paderi. Tuanku Tambusai lahir dengan nama Muhammad Saleh di Dalu-dalu, nagari Tambusai, Rokan Hulu, Riau pada tanggal 5 November 1784.
Tuanku Tambusai pernah belajar ilmu perang pada Tentera Turki di Arabia terutama bidang perbentengan (Fortification Technics). Pernah menjadi Duta Khusus Gerakan Wahabi untuk Saudi Arabia. Menggantikan Tuanku Tinaro yang meninggal di Arabia. Tuanku Tambusai berada di sana tahun 1818 - 1821. Dalam tahun ini juga Tuanku Tambusai berbulan-bulan mengikuti Raja Faisal bergerilya di Gurun Nesyed Hadramaut melawan kekuasaan Turki di Negeri Arab. Na Sumolom Laut Jabarullah atau menyelam Laut Gibraltar maksudnya Tuanku Tambusai pernah juga ke Eropah menyeberangi Selat Jibraltar. Mungkin ke Inggeris secara rahasia kepergiannya itu.
Di dalam negeri juga Tuanku Tambusai selalu berpindah-pindah sewaktu bergerilya melawan Penjajah Belanda untuk menghilangkan jejak. Kuburan Tuanku Tambusai yang palsu ada 6 tempat yang diketahui. Demikian Tuanku Tambusai memilih namanya Datuk Baginda Ilang yang dapat bercerita panjang tentang kehidupan dan perjalanannya. Dalam buku Riwayat Hidup Syekh Abd. Wahab pendiri pesantren Babussalam (Besilam) yang dikarang Fuad Said disebut nama kecil Tuan Guru Syekh Abd. Wahab adalah Abu Qasim. Sedang menurut penyelidikan Penulis (Ir. L.P. Hasibuan) Tuan Guru tersebut adalah Tuanku Tambusai yang bersembunyi di bawah ketiak Penjajah Belanda selama ini. Penjelasan dan bukti-bukti Tuan Guru Syekh Wahab adalah Tuanku Tambusai dapat dilihat pada buku yang berjudul: "Menapak Jejak Tuanku Tambusai" dan buku berjudul: "Menyingkap Riwayat Hidup Tuan Guru Syekh Abd. Wahab", karangan Ir. L.P. Hasibuan.
Tuanku Tambusai adalah nama yang diberikan Gerakan Wahabi kepadanya. Tuanku maksudnya pimpinan Padri (Jendral) di dalam kemiliteran. Sedang Tambusai adalah nama daerah di Riau sebesar kecamatan. Daludalu adalah ibukota Kecamatan Tembusai. Karena dari Daludalu inilah titik tolak Tuanku Tambusai dalam mengislamlkan daerah bagian timur Tapanuli. Benteng Daludalu itu oleh Tuanku Tambusai disebut Benteng Daressalam (pintu keselamatan).
Ompu Baleo adalah nama Tuanku Tambusai setelah beliau melepaskan semua yang berbau Minangkabau, dan selanjutnya berjuang melawan Belanda menurut versi orang Batak di Daerah Batak. Sebagai kesimpulan nama beliau dapatlah disebut Kosim Hamongan alias Fakih Muhammad alias Tuanku Tambusai alias Ompu Baleo alias Shakh Abd Wahab Rokan Alkhalidi Naqsyabandi bermarga Harahap.
Tuanku Tambusai merupakan anak dari pasangan perantau Minang, Tuanku Imam Maulana Kali dengan istrinya, Munah. Ayahnya berasal dari nagari Rambah dan merupakan seorang guru agama Islam. Oleh Raja Tambusai, ayahnya diangkat menjadi imam dan kemudian menikah dengan perempuan setempat. Sedangkan ibu Tuanku Tambusai berasal dari nagari Tambusai yang bersuku Kandang Kopuh. Sesuai dengan tradisi Minang yang matrilineal, suku ini diturunkannya kepada Tuanku Tambusai. Beberapa tahun kemudian, Tuanku Tambusai mendapatkan tugas untuk menyebarkan agama Islam ke daerah yang paling rawan waktu itu, yaitu Toba (sekarang Sumatera Utara) yang sebagian besar penduduknya menganut kepercayaan pelbegu. Ketika berdakwah di daerah itu, Tuanku Tambusai difitnah ingin merombak adat nenek moyang orang Batak. Hal ini menyebabkan nyawa Tuanku Tambusai terancam. Merasa Toba sudah tak aman baginya, ia pun memutuskan kembali ke Rao (sekarang Sumatera Barat). Di sana dia menyiarkan agama Islam bersama Tuanku Rao ke berbagai pelosok seperti Airbangis dan Padanglawas.
Pada tahun 1832, Tuanku Tambusai dipercaya untuk memegang komando dalam Perang Padri. Perjuangannya dimulai di daerah Rokan Hulu dan sekitarnya dengan pusat di Benteng Dalu-dalu. Tuanku Tambusai kemudian melanjutkan perlawanan ke wilayah Natal pada tahun 1823. Tahun 1824, Tuanku Tambusai memimpin pasukan gabungan Dalu-dalu, Lubuksikaping, Padanglawas, Angkola, Mandailing, dan Natal untuk melawan Belanda. Selama masa perang, Tuanku Tambusai sempat menunaikan ibadah haji sekaligus melaksanakan permintaan Tuanku Imam Bonjol untuk mempelajari perkembangan Islam di Tanah Arab. Dalam kurun waktu 15 tahun, Tuanku Tambusai cukup merepotkan pasukan Belanda, sehingga sering meminta bantuan pasukan dari Batavia. Berkat kecerdikannya, benteng Belanda Fort Amerongen dapat dihancurkan. Bonjol yang telah jatuh ke tangan Belanda dapat direbut kembali walaupun tidak bertahan lama.
Tuanku Tambusai tidak saja menghadapi Belanda, tetapi juga sekaligus pasukan Raja Gedombang (regent Mandailing) dan Tumenggung Kartoredjo, yang berpihak kepada Belanda. Oleh Belanda Tuanku Tambusai digelari "De Padrische Tijger van Rokan" (Harimau Paderi dari Rokan) karena amat sulit dikalahkan, tidak pernah menyerah, dan tidak mau berdamai dengan Belanda. Keteguhan sikapnya diperlihatkan dengan menolak ajakan Kolonel Elout untuk berdamai. Pada tanggal 28 Desember 1838, benteng Dalu-dalu jatuh ke tangan Belanda namun Tuanku Tambusai berhasil meloloskan diri dari kepungan Belanda dan para sekutu-sekutunya dengan melarikan diri melalui pintu rahasia.
Dalam perjuangannya ia tak hanya berhadapan dengan Belanda, namun juga saudara sebangsanya yang lebih memilih untuk berpihak kepada Belanda seperti Raja Gedombang (Regent Mandailing) dan Tumenggung Kartoredjo (bekas tentara Sentot Alibasyah). Tuanku Tambusai berusaha membujuk serdadu Belanda asal Jawa untuk membantu perjuangan karena dalam pertempuran di Lubukhari tahun 1833, Belanda menggunakan para
wanita setempat sebagai tameng. Solidaritas agama pun ia manfaatkan guna mendukung perjuangannya. Sayangnya Belanda mengetahui upaya tersebut. Akan tetapi sebanyak 14 orang serdadu Belanda asal Jawa sempat bergabung dengan Tuanku Tambusai. Dalam perang paderi, Tuanku Tambusai merupakan sosok pemimpin terkemuka. Kehadirannya selalu diterima oleh penduduk di daerah yang dikunjunginya. Hal itu tercermin dari sejumlah gelar yang disandangnya, seperti Ompu Bangun, Ompu Cangangna, Ompu Sidoguran dan Ompu Baleo. Ketika pemimpin Fort Amerongen menawarkan perdamaian padanya, ajakan itu ditolaknya mentah-mentah. Hal tersebut menunjukkan keteguhannya dalam menjaga prinsip. Hal serupa juga terjadi pada tahun 1832, saat itu Letkol Elout mengajaknya berdamai di Padang Matinggo, Rao. Dengan tegas ia berpesan pada Elout agar tidak mencampuri urusan dalam negeri orang lain. Mendengar hal itu, Elout membalasnya dengan mengatakan bahwa di mana ada Belanda di sana ia membuat kuburan. Dengan lantang Tuanku Tambusai menjawab "Jika begitu sediakan bedil!"
wanita setempat sebagai tameng. Solidaritas agama pun ia manfaatkan guna mendukung perjuangannya. Sayangnya Belanda mengetahui upaya tersebut. Akan tetapi sebanyak 14 orang serdadu Belanda asal Jawa sempat bergabung dengan Tuanku Tambusai. Dalam perang paderi, Tuanku Tambusai merupakan sosok pemimpin terkemuka. Kehadirannya selalu diterima oleh penduduk di daerah yang dikunjunginya. Hal itu tercermin dari sejumlah gelar yang disandangnya, seperti Ompu Bangun, Ompu Cangangna, Ompu Sidoguran dan Ompu Baleo. Ketika pemimpin Fort Amerongen menawarkan perdamaian padanya, ajakan itu ditolaknya mentah-mentah. Hal tersebut menunjukkan keteguhannya dalam menjaga prinsip. Hal serupa juga terjadi pada tahun 1832, saat itu Letkol Elout mengajaknya berdamai di Padang Matinggo, Rao. Dengan tegas ia berpesan pada Elout agar tidak mencampuri urusan dalam negeri orang lain. Mendengar hal itu, Elout membalasnya dengan mengatakan bahwa di mana ada Belanda di sana ia membuat kuburan. Dengan lantang Tuanku Tambusai menjawab "Jika begitu sediakan bedil!"
Pada awal tahun 1838, pasukan Belanda menyerang Dalu-dalu dari dua arah, yakni Pasir Pengarayan dan dari Tapanuli Selatan. Serangan itu gagal karena Tuanku Tambusai sudah mendirikan benteng berlapis-lapis. Serangan berikutnya dilancarkan Belanda pada Mei 1838. Beberapa benteng dapat mereka rebut, namun Belanda memerlukan waktu beberapa bulan lagi sebelum perlawanan Tuanku Tambusai dapat mereka akhiri. Pada 28 Desember 1838, benteng pertahanan terakhir di Dalu-dalu jatuh ke tangan Belanda. Namun ia berhasil meloloskan diri dari kepungan Belanda dan para sekutu-sekutunya lewat pintu rahasia. Sebagai seorang ulama besar ia telah menunaikan kewajibannya. Keberadaannya sebagai pejuang pembela tanah air yang gigih dan pantang menyerah selalu dihargai masyarakat sekitar, mereka pun tak segan membantu. Meskipun harus hidup dalam pengasingan, ia tak mau tunduk pada perintah Belanda.
Jejak Tuanku Tambusai ditemukan di sungai Rokan. Di sungai tersebut ditemukan sampan kecil milik Tuanku Tambusai bersamaan dengan barang-barang miliknya seperti cincin stempel, Al-Quran, serta beberapa buah buku yang dibawanya dari Mekkah. Di usianya yang telah cukup renta, 98 tahun, ia kemudian mengungsi ke Seremban, Malaysia. Tuanku Tambusai meninggal dunia pada 12 November 1882 di Negeri Sembilan, Malaysia. Atas jasa-jasanya pada negara, Tuanku Tambusai Memimpin paderi, 1832 Tuanku Tambusai dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 071/TK/Tahun 1995, tanggal 7 Agustus 1995.
DAFTAR PUSTAKA
Said,Mahidin. 1996. Rokan Tuanku Tambusai Berjuang. Pekanbaru: C.V Daya Karya
Ahmad Tambusai, Umar. 1981. Perjuangan Tuanku Tambusai. Pekanbaru: Pustaka As
www.wikipedia.com
No comments:
Post a Comment