Wulan Asih Novianti/B/SI3
Sejarah perkembangan Islam di Indonesia memberi gambaran kepada kita bahwa kontak pertama antara pengembangan agama Islam dan berbagai jenis kebudayaan dan masyarakat di Indonesia, menunjukkan adanya semacam akomodasi kultural. Di samping melalui perbenturan dalam dunia dagang, sejarah juga menunjukkan bahwa penyebaran Islam kadang-kadang terjadi pula dalam suatu relasi intelektual, ketika ilmu-ilmu dipertentangkan atau dipertemukan, ataupun ketika kepercayaan pada dunia lama mennurun.
Oleh karena itu, kedatangan kaum kolonial Belanda berhasil menancapkan kukunya di bumi Nusantara dengan misi gandanya, (imperialisme dan Kristenisasi) sangat merusak dan menjungkirbalikkan tatanan yang sudah ada.
Memang diakui bahwa Belanda cukup banyak mewarnai perjalanan sejarah (Islam) di Indonesia. Cukup banyak peristiwa dan pengalaman yang dicatat Belanda sejak awal kedatangannya di Indonesia, baik sebagai pedagang perseorangan, ataupun ketika diorganisasikan dalam bentuk kongsi dagang yang bernama VOC, atau juga sebagai aparat pemerintah yang berkuasa dan menjajah. Oleh sebab itu, wajar bila kehadiran mereka selalu mendapat tantangan dan perlawanan dari penduduk pribumi, raja-raja dan tokoh-tokoh agama setempat. Mereka menyadari bahwa untuk mempertahankan kekuasaannya di Indonesia, mereka harus berusaha memahami dan mengerti seluk-beluk penduduk pribumi yang dikuasainya. Mereka pun tahu bahwa penduduk yang dijajahnya mayoritas beragama Islam.
Kedatangan bangsa Barat di satu pihak membawa dampak pada kemajuan teknologi, kendati kemajuan tersebut tidak dinikmati penduduk pribumi. Tujuannya hanyalah meningkatkan hasil penjajahannya. Begitu pula halnya dengan pendidikan, mereka telah memperkenalkan sistem dan metodologi baru, dan tentu saja lebih efektif, namun semua itu dilakukan sekadar untuk menghasilkan tenaga-tenaga yang dapat membantu segala kepentingan penjajah dengan imbalan yang murah sekali dibandingkan dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat. Kenyataannya, Belanda sebagai negara penjajah benar-benar mengeksploitasi dan mengeruk keuntungan dari bumi Nusantara ini.
Apa yang mereka sebut pembaharuan pendidikan, tidak lain adalah westernisasi dan Kristenisasi, yang kesemuanya dilakukan untuk kepentingan Barat dan Nasrani. Dua motif inilah yang mewarnai kebijaksanaan penjajahan Belanda di Indonesia yang berlangsung selama 3,5 abad.
K.H Zainuddin Zuhri menggambarkan bahwa rakyat Indonesia yang mayoritas umat Islam tidak memandang orang-orang Barat tersebut, melainkan sebagai penakluk dan penjajah. Dalam dada penjajah tersebut terdapat ajaran dari politikus curang dan licik Machiavelli, yang antara lain mengajarkan :
1. Agama sangat diperlukan bagi pemerintah penjajah (kolonial);
2. Agama tersebut dipakai untuk menjinakkan dan menaklukkan rakyat;
3. Setiap aliran agama yang dianggap palsu oleh penduduk yang bersangkutan harus dimanfaatkan untuk memecah-belah dan mendorong mereka agar mencari bantuan kepada pemerintah;
4. Janji dengan rakyat tak perlu ditepati jika merugikan;
5. Tujuan dapat menghalalkan segala cara.
Demikianlah, Jan Pieter Zoon Coen (1587-1929) dengan meriah dan politik Machiavelli-nya menduduki Jakarta yang dulu bernama Batavia. Namun, orang-orang pribumi tidak tinggal diam. Meskipun Belanda baru mengepakkan sayapnya sebagai kolonial, mereka sudah ditantang dan dilawan oleh Sultan Agung Mataram yang dikenal dengan gelar Sultan Abdurrahman Khalifatullah Sayidin Panotogama.
Politik yang dijalankan pemerintah Belanda terhadap rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam sebenarnya didasari oleh adanya rasa ketakutan, rasa panggilan agamanya yaitu Kristen dan rasa kolonialismenya. Dengan begitu, mereka menerapkan berbagai peraturan dan kebijakan, diantaranya :
1. Pada tahun 1882 pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus yang beertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang mereka sebut Priesterraden. Dari nasehat badan inilah, pada tahun 1905, pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan baru yang isinya menyatakan bahwa orang yang memberikan pengajaran atau pengajian agama Islam harus terlebih dahulu meminta izin kepada pemerintah Belanda.
2. Tahun 1925 keluar lagi peraturan yang lebih ketat terhadap pendidikan agama Islam, yaitu bahwa tidak semua orang (kiai) boleh memberikan pelajaran mengaji, terkecuali telah mendapat semacam rekomendasi atau persetujuan pemerintah Belanda.
3. Tahun 1932 keluar lagi peraturan yang isinya berupa kewenangan untuk memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah Belanda yang disebut Ordonansi Sekolah Liar (Wilde School Ordonantie).
Tidak hanya sampai disitu tindakan pemerintah Belanda. Berbagai usaha lain juga mereka tempuh, dengan maksud menekan dan mematikan kegiatan-kegiatan orang Islam. Hal ihwal tentang pribumi dan Islam di Indonesia mereka pelajari dengan sebaik-baiknya secara mendalam. Di negeri Belanda, ilmu khusus berkenaan dengan pribumi dan Islam di Indonesia dikenal dengan nama Indologi.
Sebelum tahun 1900, kita mengenal pendidikan Islam secara perseorangan, melalui rumah tangga dan surau/langgar atau masjid. Pendidikan secara perseorangan dan rumahtangga itu lebih mengutamakan pelajaran praktis, misalnya tentang ketuhanan, keimanan, dan masalah-masalah yang berhubungan dengan ibadah. Belum ada pemisahan mata pelajaran tertentu dan pelajaran yang diberikan pun brlum sistematis.
Pendidikan Islam pada masa ini bercirikan hal-hal sebagai berikut:
1. Pelajaran diberikan satu demi satu:
2. Pelajaran ilmu sharaf didahulukan dari ilmu nahwu;
3. Buku pelajaran pada mulanya dikarang oleh ulama Indonesia dan diterjemahkan ke dalam bahasa daerah setempat;
4. Kitab yang diguanakan umumnya ditulis tangan;
5. Pelajaran suatu ilmu hanya diajarkan dalam satu macam buku saja;
6. Toko buku belum ada, yang ada hanyalah menyalin buku dengan tulisan tangan;
7. Karena terbatasnya bacaan, materi ilmu agama sangat sedikit;
8. Belum lahir aliran baru dalam Islam (M.Yunus, 1985:62).
Lembaga-lembaga pendidikan Islam sebelum tahun 1900 masih relatif sedikit dan berlangsung secara sederhana. Setelah itu, dalam priode yang disebut peralihan ini telah banyak berdiri tempat pendidikan Islam terkenal di Sumatera, seperti Surau Parabek Bukit Tinggi (1908) yang didirikan oleh Syekh H. Ibrahim Parabek dan di Pulau Jawa seperti Pesantren Tebuireng, namun sistem madrasah belum dikenal.
Adapun pelajaran agama Islam pada masa peralihan ini bercirikan hal-hal sebagai berikut:
1. Pelajaran untuk dua sampai enam ilmu dihimpun secara sekaligus;
2. Pelajaran ilmu nahwu didahulukan atau disamakan dengan ilmu sharaf;
3. Semua buku pelajaran merupakan karangan ulama Islam kuno dan dalam bahasa Arab;
4. Semua buku dicetak;
5. Suatu ilmu diajarkan dari beberapa macam buku; rendah, menengah, tinggi.
6. Telah ada toko buku yang memesan buku-buku dari Mesir atau Mekah.
7. Ilmu agam telah berkembang luas berkat banyaknya buku bacaan.
8. Aliran baru dalam Islam seperti yang dibawa oleh majalah al-Manar di Mesir mulai lahir.
Pada waktu itu kebijakan pemerintah kolonial Belanda terhadap pendidikan Islam Indonesia sangat ketat. Di samping itu, juga pemerintah kolonial gencar mempropagandakan pendidikan yang mereka kelola, yaitu pendidikan yang membedakan antara golongan priyayi atau pejabat bahkan yang beragama Kristen.
Gaung isu nasionalisme merambah ke mana-mana. Ini berkat tampilnya Budi Utomo pada tahun 1908, yang menyadarkan bangsa Indonesia, bahwa perjuangan bangsa Indonesia yang selama ini hanya mengandalkan kekuatan dan kedaerahan tanpa memperhatikan persatuan, sulit untuk mencapai keberhasilan. Karena itulah, sejak tahun 1908 timbul kesadaran baru dari bangsa Indonesia untuk memperkuat persatuan.
Sistem madrasah baru dikenal pada permulaan abad ke-20. Sistem ini membawa pembaharuan, antara lain :
1. Perubahan sistem pengajaran dari perseorangan atau sorogan menjadi klasikal.
2. Pengajaran pengetahuan umum di samping pengetahuan agama dan bahasa Arab.
Rukiati, Enung dkk. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. 2004. Bandung. CV Pustaka Setia.
Thohir, Ajid. Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam. 2004. Bandung. Raja Grafindo Persada.
No comments:
Post a Comment