Halaman

ISLAM DAN POLITIK LUAR NEGERI IRAN

Fatimah/PIS

Revolusi Islam Iran telah mencapai puncak kemenangannya pada bulan Februari tahun 1979,  berbagai sebutan disertai rasa optimis yang  meluap-luap segera dilontarkan kepada gerakan revolusi tersebut. Ada yang menyebutkan, Revolusi Islam Iran merupakan kelanjutan dari kejayaan dinasti Abassiyah dan Umayyah pada abad pertengahan Islam. Ada juga yang menyebutkan, Revolusi Islam Iran merupakan penyambungan lagi tali kemenangan yang telah terputus yang pernah diraih oleh pahlawan Iran Tarek bin Ziyad (seorang penakluk Andalusia/Spanyol) dan Salahuddin Al Ayyubi (seorang pembebas kota Yerussalem dari tangan Romawi).
Dari kalangan Mullah/elite politik Iran lah yang mempunyai rasa optimis tersebut. Munculnya rasa optimis itu lah yang menyebabkan proses Revolusi Islam Iran berlangsung cepat dibanding prose revolusi di negeri lain, kita contohkan seperti revolusi Perancis, Aljazair atau Rusia. Hanya memakan waktu satu setengah tahun saja, proses Revolusi Islam Iran mencapai puncak kemenangannya yaitu pada bulan Februari 1979.
Dari proses kemenangan revolusi tersebut, telah memberikan kepercayaan kepada para Mullah, sampai terbetik di benak mereka kemungkinan membangun kembali imperium Persia yang bersendikan Islam. Para Mullah menganggap pula, Republik Islam Iran yang baru lahir itu dapat dijadikan pusat atau pelopor gerakan Islam di dunia Islam yang membentang dari Maroko sampai Indonesia.
Berpegang dari rasa percaya diri tersebut, para elite politik iran menetapkan prinsip sentralisasi ideology/primordialisme dan prinsip kembali kepada khasanah budaya sendiri sebagai titik sentral atau doktrin  kebijakan luar negeri Iran. Maka, muncullah pada awal masa revolusi slogan" La syaqiyah, la Gharbiyah'( artinya tidak timur, tidak juga barat). Amerika serikat pun dijuluki Setan Besar dan Uni Soviet dinamakan Setan Merah.  
Para Mullah berambisi untuk menjadikan Iran bersendikan Islam Syiah. Oleh karena itu, Iran pada awal masa revolusinya tampil keras, tanpa kompromi. Para Mullah mempunyai keinginan agar menjadikan Iran sebagai lambang perlawanan Islam. Melalui kebijakan tersebut, diharapkan Revolusi Islam Iran berhasil meraih popularitas di negara-negara Islam lainnya dan kemudian mengikuti jejak Iran. Para Mullah memiliki cita-cita, jika Iran tidak bias membantu  secara langsung, setidak-tidaknya jiwa revolusi mengilhami negara Islam lainnya atau bahkan dunia ketiga keseluruhan untuk membebaskan mereka dari belenggu kapitalisme dan komunisme. 
Untuk memperluas pengaruh revolusi tersebut, pemerintah Teheran tidak ragu-ragu untuk mengirim sejumlah pengawal revolusi ke Lebanon tahun 1982, membantu gerilyawan Palestina dan Lebanon melawan Israel. Keberadaan pengawal revolusi di Lebanon ketika itu adalah embrio bagi lahirnya faksi Hezebollah pro-Iran yang terus eksis hingga saat ini. Oleh karena itu, cerita Lebanon dengan faksi Hezebollah-nya adalah cerita keberhasilan Revolusi Islam Iran.
Keterlibatan Iran, secara langsung maupun tidak langsung di negara sekitarnya telah mengundang pro-kontra yang menjadikan kisah permanen yang berkesinambungan. Contohnya, dengan disinyalir Iran yang menetapkan sebagian kekuatan angkatan lautnya di Sudan untuk membantu pemerintah Omar Hassan Bashir yang berorientasi Islam.
Keterlibatan Iran di sana sini seperti di Bosnia, Afganistan, aljazair, Bahrain,dan Arab Saudi seperti kisah yang tak pernah ada putusnya. Seringkali keterlibatan Iran tersebut malah menjadi sumber citra buruk yang menjauhkan dirinya dari kesan sebagai tali penyambung kejayaan dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Hal ini terjadi, karena disebabkan  tidak direstuinya oleh pemerintah setempat,  terhadap keterlibatan Iran.
Presiden palestina Yasser Arafat, pada November 1994, terang-terangan menuduh faksi Radikal Hamas dan Jihad Islami  mendapat santunan dana dan pengarahan dari Teheran. Dukungan moral dan politik dari Teheran terhadap Front penyelamatan Islam (FIS), menyebabkan terus memburuknya hubungan Iran-Aljazair hingga saat ini.
Namun, citra buruk terparah yang harus dipikul pemerintah Iran itu adalah teluk sendiri. Hal ini disebabkan, kebijakan luar negeri Iran di kawasan Teluk praktis tidak berbeda dengan dari zaman Shah Reza Pahlevi. Iran yang belum bersedia melepaskan kekuasaannya atas Pulau Abu Musa , Tunb Besar, dan Tunb kecil yang juga diklaim,oleh Uni Emirat arab. Tiga pulau tersebut dianeksasi Iran pada masa Shah Reza Pahlevi pada 1971.
Pemerintah Republik Islam Iran juga masih mempertahankan kesepakatan shatt El Arab yang ditandatangani oleh Saddam Hussein dan Shah Reza Pahlevi di Aljazair tahun 19975, yang kemudian menjadi pemicu meletusnya perak Irak-Iran selama 8 tahun, 1980-1988.
Seruan Iran untuk menjadikan kawasan Teluk bebas kekuatan asing pun ditanggapi skeptik oleh negara-negara Arab sekitarnya. Dalam konteks ini, Iran memiliki beberapa konsep yang diajukan kepada negara-negara Arab Teluk seperti konsep pembentuksn Organisasi Pertahanan Regional dan konsep Zona Keamanan Teluk.
Konsep tersebut tertumpu kepada empat prinsip pertama,keamanan teluk harus menjadi tanggung jawab setempat. Kedua, pengembangan hubungan bilateral antara sesama negara kawasan Teluk. Ketiga, Iran sebagai salah satu kekuatan regional. Keempat, saling menghormati kedaulatan masing-masing.
Namun,negara-negara Arab sekitarnya masih menaruh curiga terhadap seruan tersebut. Mereka kahwatir jangan-jangan seruan tersebut hanya kedok dari keinginan iran sesungguhnya kembali menjadi polisi kawasan Teluk seperti zaman Shah Reza Pahlevi. Apalagi konsep tersebut ditawarkan secara gencar setelah babak belurnya kekuatan militer Irak setelah perang teluk II lalu, yang menyebabkan Iran merasa di atas angin lagi.
Dengan ditolaknya konsep Iran tersebut, maka gagal pula penerapan doktrin politik luar negeri Iran di kawan teluk sendiri, yang berpijak atas prinsip semngat primordialisme dan kembali kepada khasanah budaya sendiri yang di gariskan sejak masa awal revolusi akibat tetap bercokolnya kekuatan asing. Karena itu, Iran menanamkan kekuatan asing di Teluk sebagai penjajah terselubung.

Pejabat Amerika serikat juga menjadi curiga terhadap Iran. Amerika menuduh iran telah menuduh Iran telah memilih jalan kekerasan (setelah ditolaknya konsep Iran itu)untuk mengusir kekuatan asing dari kawasan Teluk dengan cara mendalangi aksi peledakan di kompleks pemukiman militer Amerika serikat di Al Kohbar bulan juni tahun 1966 dan sebelumnya di Riyadh bulan November tahun 1995. Kecurigaan para pengambil keputusan di Washington itu bisa jadi hanya didasarkan kepada analisa makro tersebut, tanpa menunggu bukti mikro yang masih dalam proses penyelidikan di Arab Saudi.
Hal itu juga yang mendorong Presiden Bill Clinton tetap bertekad menandatangani Undang-Undang(UU) d'Amato hari senin 5 agustus 1996. Karena menurut analisa makro, selama kekuatan Barat bercokol dikawasan teluk, selama itu pula ancaman teroris terus muncul. Maka, ancaman itu pun harus dibendung sejak dini dengan berbagai cara termasuk UU d'Amato.

Kesimpulan
Jadi,  dengan ditolaknya konsep Iran tersebut, maka gagal pula penerapan doktrin politik luar negeri Iran di kawasan teluk sendiri, yang berpijak atas prinsip semangat primordialisme dan kembali kepada khasanah budaya sendiri yang di gariskan sejak masa awal revolusi. Karena akibat kekuatan Barat  yang masih bercokol di kawasan teluk tersebut.

Daftar Pustaka
Rahman Abd Mustofa, September 2003, Iran Pasca Revolusi'fenomena pertarunagn Kubu Reformasi dan konserfasif, Jakarta : Kompas
www.subhanagung.net( diakses pada  5 september 2013)
( diakses pada 5 September 2013)

No comments:

Post a Comment