ANISA MUTIARA PRIYADI/PIS
Situasi nasional sangat menyedihkan, kehidupan ideologi nasional belum mapan, sementara PKI ingin mengganti dasar negara Pancasila dengan dasar komunisme. Kondisi politik juga belum stabil, karena sering terjadi konflik antar partai politik. Demokrasi Terpimpin justru mengalah ke system pemerintahan diktator. Kehidupan ekonomi semakin suram, sehingga kemelaratan dan kekurangan makanan terjadi dimana-mana. Untuk mendapatkan bahan-bahan pokok, orang harus antri lebih dulu. Keamanan nasional juga sulit dikendalikan.
Itulah gambaran suram situasi nasional menjelang tahun 1965. Kenyataan ini sangat memprihatinkan putra-putri bangsa Indonesia yang berpandangan maju, sehingga mereka berpendapat bahwa keadaan seperti itu harus cepat diakhiri.
Setelah peristiwa G30S/PKI, mahasiswa yang didukung kekuatan ABRI menuntut pemerintah untuk membubarkan PKI. Namun, bagaimana tanggapan Presiden Soekarno terhadap peristiwa itu? Presiden Soekarno menyalahkan orang-orang yang terlibat di dalam perbuatan keji yang berakhir dengan gugurnya para jenderal dan rakyat yang tidak berdosa. Akan tetapi, Presiden Soekarno menyatakan bahwa hal semacam itu dapat saja terjadi dalam suatu revolusi. Peristiwa satu Oktober itu merupakan riak kecil di dalam gelombang besar. Presiden Soekarno belum dapat mengambil keputusan yang tepat, namun menyetujui pembentukan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) untuk mengadili tokoh-tokoh yang terlibat dalam G30S/PKI. Presiden tetap tidak mau mengutuk PKI. Oleh karena sikap presiden seperti itulah, rakyat, mahasiswa, dan ABRI mengartikan lain, yaitu Presiden Soekarno dianggap telah membela PKI. Akibatnya popularitas dan kewibawaan Presiden Soekarno menurun di mata rakyat Indonesia.
Sementara itu, keadaan ekonomi, politik dan keamanan semakin bertambah kacau. Harga barang-barang menjadi naik dan inflasi sangat tinggi, bahkan melebihi 600 persen setahun. Untuk mengatasinya, pada akhir tahun 1965 pemerintah mengadakan devaluasi rupiah lama menjadi rupiah baru, yaitu dari Rp. 1000,- menjadi Rp.100,- uang baru. Kebijakan lainnya adalah menaikkan bahan bakar menjadi empat kali lipat sejak 1 Januari 1966. Kenaikan bahan bakar itu menyebabkan naiknya harga secara tidak terkendali dan keresahan terjadi dimana-mana.
Sikap pemerintahan yang belum dapat mengambil keputusan untuk membubarkan PKI, ditambah lagi situasi politik, ekonomi, dan keamanan yang semakin bertambah kacau, mengakibatkan kemarahan rakyat tidak dapat terbendung lagi. Rakyat dan mahasiswa menuntut pemerintah untuk membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya.
Demonstrasi besar-besaran terjadi pada tanggal 10 Januari 1966. Para demonstrasi mengajukan tiga tuntutan yang terkenal dengan sebutan TRITURA (Tri atau Tiga Tuntutan Rakyat) yang meliputi sebagai berikut :
· Pembubaran PKI.
· Pembersihan Kabinet Dwikora dari unsure-unsur PKI.
· Penurunan harga-harga (perbaikan ekonomi).
Aksi semacam ini semakin meluas dan berlangsung cukup lama yaitu sekitar 60 hari dan berakhir dengan keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Tindakan pemerintah lainnya adalah mengadakan reshuffle (pembaharuan) terhadap cabinet Dwikora, yang terjadi pada tanggal 21 Februari 1966. Kabinet baru itu tidak dapat diterima oleh rakyat, karena lenyapnya kedudukan Jenderal A.H. Nasution (orang yang anti PKI) dan masuknya beberapa tokoh yang terindikasi mendukung PKI seperti Sumarjo dan Letkol Syafei serta Subandrio dan Ir. Surachman. Mengingat jumlah anggotanya hampir mencapai seratus orang, maka kabinet itu sering disebut Kabinet Seratus Menteri.
Menjelang pelantikan Kabinet Seratus Menteri itu pada tanggal 24 Februari 1966, KAMI melakukan aksi serentak turun ke jalan dengan mengempeskan ban-ban mobil para calon menteri di seluruh ibukota yang mengakibatkan kemacetan lalu-lintas. Dalam demonstrasi itu gugur seorang mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang tertembus peluru Pasukan Pengawal Presiden. Dengan gugurnya seorang mahasiswa itu berpengaruh besar terhadap maraknya gelombang aksi demonstrasi yang bukan hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di berbagai daerah yang juga menimbulkan jatuhnya banyak korban. Oleh pemerintah Orde Baru, korban-korban yang berjatuhan dari kalangan mahasiswa itu di angkat menjadi Pahlawan Ampera dan di kukuhkan oleh ketetapan MPRS No. XXIX/MPRS/1996.
Setelah supersemar diumumkan, perjalanan politik di Indonesia mengalami masa transisi. Kepemimpinan Soekarno kehilangan supermasinya. MPRS kemudian meminta Presiden Soekarno untuk mempertanggungjawabkan hasil pemerintahannya, terutama berkaitan dengan G30S/PKI. Dalam Sidang Umum MPRS tahun 1966, Presiden Soekarno memberikan pertanggungjawaban pemerintahannya, khususnya mengenai masalah yang menyangkut peristiwa G30S/PKI. Sidang Istimewa MPRS dilakukan pada tanggal 7 sampai 12 Maret 1967.
Dengan demikian, munculnya peristiwa G30S/PKI telah mengakibatkan terjadinya instabilisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Oleh karena itu, bangsa Indonesia mengutuk tragedi G30S/PKI itu dengan penuh harapan agar kelak kemudian hari tidak terulang kembali.
DAFTAR PUSTAKA :
Badrika,I Wayan.2006.Sejarah Untuk SMA Kelas XI Program Ilmu Alam. Jakarta : Penerbit Erlangga
No comments:
Post a Comment