Halaman

Thomas Stamford Raffles

Abdurrahman/SI   III/ A

1.     Gubernur yang pertama berjiwa Libelarisme.
Setelah kekalahan Belanda dan Prancis, semua daerah kekuasaan Belanda di Nusantara pindah ketangan pemerintah Inggris pada tahun 1811 sampai 1816. Kekuasaan itu mencakup Jawa, Pelembang, Banjarmasin, Makassar,Madura, dan sunda kecil,dan pusat pemerintahannya berkedudukan di Madras India, dengan Lord Minto sebagai gubernur jendral. Pemerintahan di bekas daerah belanda itu di pimpin oleh seorang letnan gubernur Thomas Stamford raffles.
            Selama empat setengah tahun pemerintahannya, Raffles berusahan melaksanakan pembaruhaan yang bersifat liberal di Nusantara. Secara teoritis pembaruan itu mirip dengan usul-usul yang perrnah dikemukakan oleh Dirk van Hogendorp. Intinya, kebebasan berusaha bagi setiap orang, dan pemerintah yang berhak menarik pajak tanah dari penggarap. Pemerintahan dijalankan untuk mencapai kesejahteraan umum. Motifnya, kesadaran baru bahwa baik serikat dagang, terlebih lagi kekuasaan negara, tak mungkin bertahan hidup dengan memeras masyarakat.
            Dalam praktik, sedikit sekali cita-cita pembaruan itu dapat diwujudkan. Mengapa demikian? Pertanyaan ini dapat menjadi pokok bahasan yang menarik dan penting hingga jauh ke masa depan. Yang sudah pasti, hampir tak ada unsure dalam suasana kemasyarakatan di Nusantara waktu itu yang memudahkan terlaksananya rencana Raffles dalam waktu sedemikian singkat. Bahkan, pengetahuan yang cukup memadai tentang suasana itupun tidak dimiliki oleh Raffles.
            Tidaklah mengherankan bahwa seluruh rencana Raffles hanya dapat mengandalkan keahlian segelintir pejaba Belanda, terutama Herman Warner Muntinghe. Dia ini bekas Sekretaris Jendral dan Ketua Dewan Hindia dibawah Daendels. Namun demikian, ide yang terkandung dalam rencana itu diakui sangat berjasa dalam meletakkan ukuran pemerintahan demi kesejahteraan rakyat masa-masa selanjutnya.
            Cita-cita pembangunan itu diumumkan oleh Lord Minto sendiri dalam proklamasinya di tengah pertempuran, 11 September 1811. Ia menegaskan bahwa system monopoli Belanda yang merusak itu (vexatious system of monopoly) harus segera diganti dengan politik pemerintahan yang lebih menyejahterakan. Kepala Desa akan diberi kuasa mengatur penarikan pajak yang serendah mungkin dari penggarap.
            Selain itu dihapus pula hak pemerintah atas sebagian hasil bumi penduduk (contingenten) dan atas kerja rodi (herendiensten). Hal serupa dikenakan pula atas penguasa local (pantjendiensten). Kekuasaan local dibatasi hanya di bidang kepolisian. Penanaman kopi tidak lago dipaksakan, tetapi didorong, dan pemerintah akan membeli dari petani kelebihan hasil dengan harga tertinggi menurut pasar. Kebebasan berusaha dan berdagang dijamin. Hanya dalam penyediaan dan distribusi garam pemerintah bertanggung jawab. Itu pun akan dilakukan demi melindungi rakyat dari permainan harga yang sering tak terkendali.
            Pada 15 Oktober 1813. Dari istananya di Buitenzorg keluar pula proklamasi Raffles mengenai kaidah-kaidah perubahan itu (Proclamation, declaring the principles of the intended change of system). Dirinci dalam tujuh butir, secara umum kaidah-kaidah itu lebih mempertajam lagi proklamaso Lord Minto. Disebutkan, pemerintahan Raffles bertujuan "memperbaiki keadaan hidup penduduk dengan member perlindungan bagi kegiatan individu, yang akan menjamin pemanfaatan hasil keringat dengan tenang dan adil bagi setia kelompok dalam masyarakat.
          Yangpaling terkenal dalam pembaruan Raffles berdasarkan kaidah-kaidah itu adalah pelaksanaan pajak tanah (land-rent). Hal ini terkenal sebagian karena sama sekali berbeda dengan pola Belanda yang sebelumnya, yakni penyerahan hasil bumi secara paksa (contingenten) dari petani, sebagian lagi karena penguasa local, bahkan pejabat yang orang Eropa tak boleh ikut campur dalam pemungutan pajak tanah.
2.     Tangan Liberal yang Mendahului Zaman Land-rent
Namun demikian, sebelum kaidah-kaidah itu mulai dilaksanakan, Raffles harus mengikisi wibawa kekuasaan para pembesar Bumiputra tak ubahnya seperti yang dikerjakan oleh Daendles. Pengikisan wibawa itu menimpa Palembang, Cirebon, Jawa Tengah dan Makassar. Macam-macam dalih yang digunakan oleh Raffles untuk melemahkan raja-raja tersebut, tetapi alasan utamanya adalah mereka cenderung menonjolkan kedaulatan dan kemandirian. Setelah kekuasaan likal dikikis, Raffles membagi daerahnya menjadi 16 keresidenan, termasuk empat daerah kekuasaan Jawa Tengah.penguasaan daerah itu disebut resident menggantikan prefek, istilah ciptaan Daendles.
            Lalu tibalah saatnya, Oktober 1813, Raffles coba memperkenalkan sumber pendapatan pemerintahnya dari pajak tanah (land-rent). Pajak ini diharapkan dibayar dalam bentuk uang kontan. Hanya dalam keadaan terpaksa, rakyat boleh menggantikannya dengan hasil bumi, khususnya padi. Sehubung dengan itu dibedakan dua jenis mutu tanah dengan tingkat pajak yang berbeda pula, yaitu sawah dan tegalan. Hasil sawah kelas satu dibebani 50 persen pajak, kelas dua 40 persen, dan kelas tiga 33 persen. Hasil tagelan kelas satu kena pajak 40 persen, kelas dua 33 persen dan kelas tiga 25 persen.
            Kendati demikian, tak bisa disangkal unggulnya ideal pemerintahan yang diinginkan oleh Raffles dibanding pola Belanda. Penyerahan paksa hasil bumi membutuhkan kekuasaan perantara yang rumit. Kekuasaan perantaraan itu tidak hanya terdiri dari pejabar Belanda dan pembesar Bumiputra, tetapi juga orang-orang cina yang memborong tugas-tugas pemungutan (tax farming). Mereka tidak hanya mengambil lebih banyak untuk diri sendiri dari pada yang diterima oleh pemerintah, tetapi juga melemahkan masyarakat dengan pemerasan hasil dan tenaga rodi. Ideal pemerintahan Raffles mensyaratkan, tak ada pemerintahan yang bisa bertahan jika aparatnya rusak oleh korupsi dan masyarakat yang tak berdaya oleh beban yang terlalu menindih.
            Mudah membayangkan betapa kuat daya tarik system pajak tanah ini bagi Raffles. Masalahnya adalah cocok tidaknya pola itu dengan susunan masyarakat Nusantar, khususnya Jawa. Dalam hal ini, tampaknya Raffles berpendapat bahwa pola itu sesuai sekali. Dari apa yang didengarnya, sejak dahulu tanah di Nusantarra dianggap merupakan milik pengusaha yang berdaulat. Dalam hal ini, Raffles keliru, sebagaimana ternyata setelah penelitian pemerintah Hindia-Belanda selama 1867-1912.
            Kendati demikian, Raffles menganggap bahwa pola pemilikan tanah oleh penguasa, seperti yang didengarnya itu, patut juga berlaku dibawah kekuasaan Inggris. Perbedaannya, Raffles menganggap bahwa antara pemerinttah dan masyarakat penggarap tanah tak boleh ada kekuasaan lain yang turut campur untuk mengambil keuntungan buat diri sendiri. Bahkan pemerintahnya pun hanya berhak menerima pajak dari para penggarap.
            Agar penerimaan pajak tidak kembali menjadi sumber penyelewengan para pejabat, Raffles menegaskan terpisahnya fungsi pendapatan (revenue) dan fungsi peradilan (judicial) dalam wewenang pemerintahan. Ia tentu berharap bahwa dengan demikian aparatnya sendiri akan terhindar dari penyelewengan kekuasaan, sepeti mengambil secara paksa dari penduduk, baik hasil bumi (contingenten) maupun kerja rodi (herendiensten).
            Pada mulanya Raffles melaksanakan rencana fiskalnya dengan kepala desa sebagai wakil penggarap sesuai dengan dua proklamasi tersebut diatas. Setahun kemudian, 1814, ia berpendapat lain. Aparat pemungut pajak menurutnya harus langsung berhubungan dengan setiap orang yang menggarap tanah, bukan kepala desa. Dalam penjelasannya kepada Lord Minto, ia mengatakan telah memutuskan memilih apa yang dikenal denga India sebagai ryotwari(individu), bukan zamindari (kepala desa).
            Dalam pelaksanaan pola fiscal Raffles tersebut tidak sebagus rencananya.dengan hanya 12 orang tenaga inti, sekedar pengawasan pun sudah jelas susah dilaksanakan, apalagi pekerjaan yang begitu luas, rumit dan rinci. Pejabat yang orang eropa, termasuk residen, kebingungan karena tidak mengenal lapangan. Karena pengumpulan pajak tak mungkin ditunda sampai petugas mahir lapangan, pelaksanaan berlangsung seenaknya saja. Akibatnya, pencatatan kacau dan pola Belanda pun sering terpaksa dilakukan.
            Petugas Bumiputra sendiri tak bisa berbuat banyak. Hamper setiap kepala desa buta huruf, jangankan mencatat data dalam formulir, menghitungpun mereka susah. Masuk akal jika kepala desa lebih sering mengarang data, menggampangkan tugas dengan menggabungkan beberapa desa sekaligus, bahkan menyelewengkan kekuasaannya.
                        Hasil penelitian komisi jendral pada 1816, ketika kekuasaan Belanda dipulihkan, menunjukkan tiadanya pola yang jelas dalam pemungutan pajak. Di Cirebon misalnya, mula-mula taksiran pajak berjumlah 156.000 rupiah. Oleh pejabat yang baru dating taksiran naik menjadi 399.000 rupiah. Pajak yang nyata terkumpul cuma 89.000 rupiah. Di Surabaya, taksiran pajak bisa mengambil 80 persen hasil. Penduduk sering menolak membayar sehingga pejabat harus main paksa. Betapa tidak, penaksiran memang sering tidak tahu mutu tanah dari peri kehidupan penggarapan.
Daftar Pustaka
Aziz, Maliha dan Asril .2006.sejarah indonesia III.pekanbaru :Cendikia Insani Pekanbaru
 Simbolon Parakitri. 2007. Menjadi Indonesia. Jakarta: Penerbit Kompas

No comments:

Post a Comment