Halaman

Sistem Perdagangan Verenigde Oostindische Compagnie (VOC)


Mara Anjani/A/SI3

Sama halnya dengan bangsa Portugis, dalam masa Modern Awal, bangsa Belanda pun mengaitkan perdagangan (ekonomi) dan politik (kekuasaan). Berbeda dengan bangsa Portugis, bangsa Belanda melaksanakan perdagangan antar benua melalui suatu badan dagang yang dibentuk khusus untuk itu, dilengkapi dengan modal yang disetor oleh warga negaranya. Dengan demikian, sekalipun dalam perdagangan antar benua perusahaan perdagangan dari bangsa Belanda mendapat perlindungan politik. Akibatnya perusahaan perdagangan itu bukan menjadi milik negara, melainkan milik warga negaranya.
Sejak membebaskan diri dari penjajahan bangsa Spanyol, dalam tahun 1581 bangsa Belanda membentuk suatu Republik Belanda Serikat yang dinamakan De Republiek der Verenigde Nederlanden yang terdiri atas tujuh negara bagian. Setiap negara bagian memiliki penguasanya sendiri yang dilengkapi dengan dewan perwakilan masing-masing (Staten). Dalam zaman ini di Belanda belum ada raja, tetapi pengaruh keluarga Oranye berfungsi sebagai alat pemersatu. Selain itu, ada pula sebuah dewan perwakilan yang mencakup semua negara bagian yang dinamakan Staten-Generaal.
Sistem perdagangan yang memiliki aspek politik dan aspek swasta itu berkaitan dengan perkembangan masyarakat Belanda ketika waktu itu. Dalam perkembangan itu, ekonomi pada umumnya (khususnya pada perdagangan) berada dalam tangan lapisan sosial yang dinamakan kaum bourgeoisie (burjuis), sedangkan politik masih berada dalam tangan aristokrat. Kerja sama yang serasi antara kedua golongan sosial itulah yang memungkinkan diselenggarakannya perdagangan antar benua di masa Modern Awal itu.
Jalan laut ke arah Timur (Asia) dilakukan bangsa Belanda sejak akhir abad ke-16 karena berhasil memperoleh peta-peta dan informasi ke Timur dari Italia (Venesia) yang banyak berjasa membuat peta ke Timur (Asia) yang kemudian digunakan oleh bangsa Portugis.
Sebab itulah sudah sejak tahun 1595 kapal-kapal niaga Belanda mulai berdagang di Banten dan Sunda Kelapa. Perdagangan tersebut dipelopori oleh para pedagang kota Amsterdam yang mendapat lisensi dari wali kotanya untuk memegang monopoli perdagangan antara Amsterdam dan Asia. Daerah Zeeland di selatan juga membentuk perusahaan pelayaran niaganya. Tidak lama kemudian kota-kota lainpun berlomba-lomba membentuk perusahaan pelayaran niaga dengan lisensi dari walikota masing-masing.
Banyaknya perusahaan pelayaran niaga yang mengklaim memegang monopoli perdagangan antara kota masing-masing dengan Asia dengan sendirinya menimbulkan persaingan ketat. Persaingan terutama terjadi pada penentuan harga jual rempah-rempah yang diangkut dari Asia, khususnya Nusantara. Persaingan yang mengakibatkan merosotnya keuntungan itu menyebabkan pihak Amsterdam dan Zeeland memutuskan untuk menyatukan semua perusahaan pelayaran niaga itu dalam satu perusahaan saja. Dengan bantuan pemerintah masing-masing, dan intervensi keluarga Oranye (Pangeran Mauritz), pada tanggal 20 Maret 1602 Staten Generaal mengeluarkan sebuah surat izin (Octrooi) pada sebuah perusahaan yang dinamakan Verenigde Oostindische Compagnie (Serikat Perusahaan Perdagangan di Asia Timur). Octrooi tersebut berlaku 21 tahun dan dapat diperbarui seterusnya.
Serikat perusahaan dagasng itu dikelola oleh sebuah badan (Bewindhebbers) yang berjumlah sekitar 70 orang yang mewakili perusahaan-perusahaan lokal yang ada sebelumnya. Para manajer tersebut memilih 17 orang yang menjadi direksi (Heeren XVII). Modal perusahaan disetor oleh setiap pengurus perusahaan-perusahaan lokal ditambah dengan saham yang dapat dibeli oleh siapa saja (Partiesipient). Sampai VOC dibubarkan tahun 1799, modal dasar yang pertama itu tidak pernah ditambah sehingga tambahan modal hanya bergantung pada penjualan saham. Hambatan modal itu sangat terasa ketika VOC meningkatkan perdagangannya di abad ke-18. Kekurangan dana tidak memungkinkan VOC menutup biaya penyediaan kapal dan modal dagang di Asia dari keuntungannya.
Jika orang Belanda mendapat peta dan keterangan mengenai jalan laut ke Asia dari Italia (Venesia), sistem perdagangan di Asia banyak mengikuti Portugis yang sudah berada di Asia sejak abad ke-16. Namun, sampai tahun 1619 VOC belum memiliki pusat perdagangan di Asia. Selama itu Gubernur Jenderal VOC yang sudah diangkat sejak 1602 selalu berkantor di sebuah kapal VOC yang berada di perairan Nusantara. Pada tahun 1619, Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen merebut Jayakarta beserta "dalem" dari Pangeran Wijayakrama yang memerintah sebagai wakil dari kerajaan Banten. Dengan menaklukkan Jayakarta, VOC menyatakan bahwa ia telah menduduki "kerajaan Sunda" yang membentang dari Teluk Jakarta hingga Samudra Hindia. Di bekas "dalem" itulah Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen membangun sebuah benteng yang diberi nama Batavia dan sebuah kota di bagian selatan benteng itu.
Selain itu, seperti halnya Portugis, VOC juga memiliki suatu jaringan birokrasi dan persenjataan. Cara berdagang yang tidak lazim di Asia itu (kecuali Cheng He) dapat disebut sebagai beaucratic and amred trade (berdagang yang didasari birokrasi dan tentara). Wujudnya adalah  benteng-benteng dengan pegawai dan tentaranya serta suatu hubungan surat-menyurat yang aktif dan laporan-laporan yang panjang dan lengkap antara berbagai pejabat di daerah dengan pusat di Batavia. Wilayah-wilayah yang dikuasai VOC untuk kepentingan dagangnya dikoordinasi oleh seorang goeverneur (gubernur), sedangkan di wilayah-wilayah lain yang tidak memiliki ikatan politik ditempatkan seorang opperhoofd (kepala) atau seorang gezaghebber (penguasa).
Sebelum membangun benteng Batavia, VOC telah merebut beberapa benteng Portugis dan membangun sejumlah benteng baru di tempat-tempat yang dipandang strategis. Seluruh sistem benteng yang saling dihubungkan dengan armada-armada VOC itu bertujuan menjamin monopoli VOC atas produksi rempah-rempah di Nusantara.
Suatu ciri lain sistem perdagangan VOC adalah yang dinamakan partnership (kemitraan). VOC mengupayakan suatu sistem monopoli atas rempah-rempah dengan cara membina kemitraan dengan para penguasa lokal. Sampai sekitar pertengahan abad ke-16 kemitraan itu berhasil dibangun karena para penguasa lokal membutuhkan VOC untuk memerangi bangsa Portugis. Pihak VOC juga berkepentingan secara ekonomis (dagang) maupun secara politis untuk memerangi bangsa Portugis. Hal ini disebabkan adanya kepentingan bersama dalam menghadapi Portugis, walau pada pihak VOC ada tambahan kepentingan dagang sedangkan pada pihak penguasa lokal praktis unsur ekonomi itu tidak ada.
Setelah dominasi Portugis lenyap dari Nusantara karena dilawan VOC, sejak sekitar pertengahan abad ke-16 kemitraan itu dibangun oleh VOC dengan salah satu pihak yang bertikai dalam suatu kerajaan tertentu. Sistem kemitraan itu didukung oleh sistem perbentengan dan armada.
DAFTAR PUSTAKA
·         Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajah di Indonesia(1700-1900). Jakarta: Balai Pustaka
·         Aziz, Dra. Maleha dan Asril S.Pd. (2006), Sejarah Indonesia III, Pekanbaru: Cendikia Insani

No comments:

Post a Comment