Halaman

PERLAWANAN PADRI (1821 – 1838)



IRMA LINDA / SI3
Perang padri adalah peperangan yang berlangsung di Sumatra Barat dan sekitarnya terutama dikawasan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838. Mengapa perlawanan di Sumatra Barat disebut perang Padri??  Istilah Padri berasal dari kata"Padre"yang berarti Ulama.Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya merupakan perang saudara yaitu perlawanan yang  bertentangan pada paham antara kaum Adat (masyarakat)dengan Kaum Padri (ulama) dalam masalah praktik  keagamaan. Gerakan kaum padri bertujuan untuk memurnikan islam dari praktik-praktik Sinkretisme yaitu (adat istiadat setempat) seperti perjudian, penyabungan ayam, minuman keras, tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan yang justru bertentangan dengan ajaran islam.
 Para ulama padrik seperti : Tuanku Kota Tua (daerah Cangking, Empat Angkat), Tuanku Nan Renceh (muridnya), Haji Sumanik (dari delapan koto), Haji Miskin (dari pandai sikat), dan Piobang (dari tanah datar). Cirinya adalah mereka semua berpakain serba putih, keadaan ini sangat kontras ini sangat kontras dengan pakaian kaum adat yang berpakain serba hitam.
Kekuatan kaum padri semakin kuat terutama setelah mendapat dukungan dari pimpinan adat tertinggi di Alahan Panjang, yaitu Datuk Bandaro. Sewaktu datuk bandaro meninggal,pimpinan diganti oleh Peto Syarif yang kemudian bergelar Tuanku Imam bonjol. Sebenarnya, kaum adat pernah meminta bantuan kepada inggris yang membuka kantor di Air Bangis, Padang dan pulau cinkuk. Pada bulan juli 1818, Reffles sempat mengunjungi Padang Darat dan bertemu dengan kedua belah pihak yang bertikai. Namun Inggris tidak dapat berbuat banyak karena harus menyerahkan kembali semua bekas taklukan  VOC  kepada Belanda.
 Pada 10 Februari 1821, Tuanku Suruaso dan 14 penghulu yang mewakili kerajaan Minangkabau (kaum adat) datang menghadap Residen Padang, Du Puy, untuk mengadakan perjanjian.kerena terdesak dalam peperangan yang di pertuan Pagaruyung yang tidak pasti, maka kaum Adat yang dipimpin oleh Sultan Tangkal Alam Babagar meminta bantuan kepada Belanda pada tanggal 21 Februari 1821. Walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak mengadakan perjanjian dengan mengata namakan kerjaan Pagaruyung, akibat dari perjanjian ini Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia-Belanda, kemudian mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah Datar.
Seminggu kemudian, Belanda menduduki Simawang, sejak 18 februari 1821.keterlibatan Belanda dalam perang ini karna diundang oleh kaum adat dan campur tangan Belanda dalam perang itu Belanda ditandai mulailah babak baru perang padri yaitu berperang melawan Belanda. Dalam periode 1821-1825,dan kaum adat disulit air dekat danau Singkarak. Pada 8 Desember 1821 Belanda mengirimkan tentaranya dari Batavia dibawah pimpinan Letkol Raaf untuk memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai tersebut.
Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda yang dibawah pimpinan Letkol Raaff berhasil memukul mundur kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Semangat perang kaum padri semakin meningkat karena tujuan perang mereka tidak semata-mata untuk mematahkan kekuasaan kaum adat, mekainkan juga mengusir Belanda yang akan menjajah mereka.
Pada mulanya, ekspedisi militer Belanda berhasil menembus kawasan pegunungen Sumatra Barat dan membangun benteng Van der Cappelen di Batusangkar, sedangkan kaum padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau. Namun, gerakan Belanda tersendat dan perang menjadi berlarut-larut karena pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam di hadang oleh kaum padri. Pada bulan September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batu Sangkar karena selalu tertekan oleh kaum padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh. Pada tangga 26 januari 1824 dan 1825 ,Letnan Kolonel Raaff yang menggatikan Du Puy mengajak kaum padri berunding dan terima baik oleh kaum padri di Alahan Panjang dan Bonjol.
Sebelum setelah perjanjian itu ditandatangi, pihak Belanda menyerang Guguk Sigundang dan Kota Lawas. Dengan penyerangan itu, Kaum Padri tidak lagi percaya kepada Belanda. Kaum Adat juga ikut kecewa, mereka melihat kepentingan Belanda lebih diutamakan melalui beberapa kerja paksa dan penarikan cukai yang memberatkan rakyat. Simpati kaum adat pun pindah kepada Kaum Padri sehingga perlawanan tidak lagi perlawanan padri semata, tetapi perlawanan padri dan adat dalam menyerang Belanda.
Meskipun demikian, pihak Belanda untuk sementara tidak berbuat banyak menghentikan gerakan Kaum Padri karena sedang sibuk menghadapi perang dengan Perang Diponegoro sehingga perjanjian perdamaian dengan kaum padri dan adat sangat menguntungkan Belanda. Untuk menghadapi Kaum Padri, Belanda membangun benteng yang disebut Fort De Kock (nama panglima belanda)di Bukittinggi.
Tahun 1831-1837
Belanda bertekad mengakhiri perang padri  setelah berhasil  memadamkan perlawanan Diponegoro,  tindakan yang dilakukan Belanda adalah Belanda mendatangkan pasukan dipimpin oleh Letnan Kolonel Elout kemudian Mayor Michaels dengan tugas pokok mendukung kaum padri yang berpusat di ketiangan dekat tiku Di antara kontingen militer Belanda itu terdapat pasukan Jawa pimpinan Sentot Ali Basya Prawirodirdjo (bekas panglima di ponegoro)serta sejumlah pasukan dari Jawa walaupun kemudian berpihak kepada kaum padri. Sejak tahun 1831 kaum padri dan kaum adat bersatu untuk mnghadapi Belanda. Pihak Belanda menutup daerah pesisir barat dan timur sumatra yang merupakan pintu gerbang perdagangan Minangkabau . Belanda juga mengancam rakyat dengan hukuman berat agar tidak membantu Kaum Padri.
Pada 25 Oktober 1833 Belanda menawarkan siasat perdamaian dengan mengeluarkan Plakat Panjang yang berisi :
·         Belanda ingin menghentikan perang
·         Tidak mencampuri urusan dalam Negeri Minangkabau
·         Tidak akan menarik cukai dan iuran-iuran
·         Masalah kopi,lada dan garam akan ditertibkan
Imam Bonjol tetap waspada dengan siasat Belanda, setelah tahun 1834 terjadi lagi serangan, sasaran  utama serangan Belanda adalah banteng Bonjol  yang dapat di rebut Belanda  Pada 16 Agustus 1837. Benten Bonjol terletak diatas Bukit yang hampir tegakm lurus ke atas, yang dikenal dengan nama Bukit Tajidi, tidak jauh dari benteng mengalir batang alahan panjang sebuh sungai ditengah lembah dengan aliran yang deras, berliku-liku dari Utara ke Selatan. Benteng ini berbentuk segi empat panjang, tiga sisinya dikelilingi dinding pertahanan dua lapis setinggi kurang lebih tiga meter. Semak belukar dan hutan yang sangat lebat disekitar bentang bonjol menjadikan benteng ini tidak mudah di lihat Belanda. Keadaan ini di manfaatkan oleh kaum padri untuk membagun kubu pertahanan yang strategis sekaligus sebagai marjas utama Tuanku Imam Bonjol.
Melihat kokohnya benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba melakukan Blokade terhadap Bonjol dengan tujuan untuk melumpuhkan suplay bahan makanan dan senjata pasukan padri. Blokade ini ternyata tidak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan Belanda yang diserang oleh kaum padri. Awal September 1835 pasukan Belanda belum bisa menguasai Bukit Tajadi tapi malah tanggal 5 September 1835 kaum padri keluar dari kubu pertahanan nya lalu menyerbu Benteng pertahanan yang dibuat Belanda di sekitar Bukit Tajadi. Pada 3 Desember 1836 pasukan belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap benteng Bonjol,serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian benteng Bonjol. Akhirnya pada tanggal 15 Agustus 1837 bukit tajadi jatuh, sehari kemudian benteng  Bonjol secara keseluruhan dapat dikiasai oleh Belanda, namun Imam Bonjol dapat keluar dari benteng dengan didampingi oleh beberapa pengikutnya dan terus menuju di Marapak.
Pada bulan Oktober 1837, Belanda mengundang Imam Bonjol untuk berunding di Palupun tanpa membawa senjata. Namun seperti halnya Pangeran Diponegore, dia ditangkap ketika perundingan mengalami jalan buntu. Imam Bonjol kemudian dibawa ke Batavia lalu dipindahkan ke Miinahasa sampai wafatnya tahun 1864 dalam usia 92 tahun.
Akhir peperanganmeskipun benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut oleh  Sejumlah pemimpin Padri masih melakukan perlawanan terhadap belanda. Di antara mereka terdapat Haji Saleh dan Tuanku Tambusai di Dalu-Dalu (Rokan Hulu), dan jatuh pada 28 Desember 1838. Jatuh nya Benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, berasama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai kemudian kerajaan Pagaruyung ditetappkan menjadi bagian dari Pax Neerlandica dan wilayah Padangse Bovelanden telah berada dibawah pengawasan pemerintah Hindia-Belanda.
DAFTAR PUSTAKA
Iskandar, Mohammad. 2007. Sejarah Indonesia dalam Perkembangan Zaman. Jakarta : Ganeca Exact.
Habib, Mustopo dkk. 2006. Sejarah. Jakarta: Yudhistira.

No comments:

Post a Comment