Halaman

DAMPAK EKONOMIS SISTEM TANAM PAKSA PADA MASYARAKAT AGRAGRIS DI JAWA


AMRINA ROSADA / SI 3/ A

         Menjelang akhir dekade ke-3, pemikiran dalam bidang ekonomi politik sekitar Jawa jajahan semakin menjurus ke arah pihak konservatif dan menjauh dari politik liberal. Ada beberapa sebab yang mendorong perkembangan itu. Sistem pajak tanah dan sistem perkebunan (Landelijk Stelsel) selama 30 tahun banyak mengalami hambatan tidak lain karena sistem liberal ternyata tidak sesuai dengan struktur sosial yang sangat feodal di Jawa dengan segala ikatan tradisionalnya. Pemerintah kolonial tidak mampu menembusnya dan langsung berhubungan dengan rakyat secara bebas. Meskipun sistem perdagangan belum dapat berjalan secara bebas sepenuhnya, sudah tampak keramaian perdagangan hasil ekspor, namun dikuasai oleh Inggris yang memiliki modal yang sangat kuat.
         Konsep ekonomi politik dari van den Bosch tersusun berdasarkan pengalaman-pengalaman penguasa-penguasa yang mendahuluinya. Van den Bosch tidak ingin gagal seperti penguasa-penguasa sebelumnya. Sistem pajak tanah, yang telah diintroduksi oleh Raffles kemudian diteruskan oleh Komisaris Jenderal Van der Capellen dan du Bus de Gisignes, telah mengalami kegagalan, antara lain dalam merangsang para petani untuk meningkatkan produksi tanaman perdagangan untuk ekspor-ekspor. Berlawanan dengan Raffles, maka Sistem Tanam Paksa (STP) mengadakan pungutan tidak dalam bentuk uang tapi lebih berupa in natura (hasil pertanian), mengingat ekonomi uang di daerah pedalaman Jawa belum berkembang.
         Sistem Tanam Paksa yang diusulkan van den Bosch didasarkan atas prinsip wajib atau paksa dan prinsip monopoli. Prinsip yang pertama dipergunakan menurut model yang telah lama berjalan di Priangan yang dikenal sebagai Preanger Stelsel ataupun sistem yang dipakai oleh VOC, verplichte leveranties (penyerahan wajib). Selama sistem pajak tanah masih berlaku antara 1810 dan 1830 penanaman dan penyerahan wajib telah dihapus kecuali untuk daerah Priangan di Jawa Barat. Ini berarti bahwa Sistem Tanam Paksa akan menyandarkan diri pada sistem tradisional dan feodal dengan menggunakan perantaraan struktur kekuasaan lama.
         Dalam lingkungan tradisional tenaga kerja rakyat pedesaan terserap pelbagai ikatan, baik dari desa maupun yang feodal. Penyelenggaraan Sistem Tanam Paksa memang didasarkan sepenuhnya pada kelembagaan itu. Permintaan akan tenaga bebas baru timbul dengan adanya pendirian pabrik-pabrik tempat memprotes hasil tanaman terutama tebu. Pada awalnya, industri gula mengalami banyak kesulitan antara lain soal transportasi yang terasa amat membebani rakyat bila diharuskan memikulnya. Akibat tidak adanya pengangkutan tersebut, Gubernemen terpaksa menaikkan harga beli gula agar pemilik pabrik bersedia mengusahakan sendiri pengangkutan lewat pasaran bebas.
         Pada tahun 1835 pembayaran Plantloon (upah tanam) dalam tanaman tebu setiap tahun berjumlah 5,5 juta gulden. Ditambah ongkos pengangkutan sekitar dua juta gulden. Jadi Sistem Tanam Paksa telah meningkatkan peredaran uang sebesar 7,5  juta gulden setiap tahunnya. Disamping itu mulai ramai juga pamasaran barang-barang antara lain barang tekstil impor. Dengan demikian jelaslah pula bahwa Sistem Tanam Paksa telah menciptakan lalu lintas uang yaitu suatu faktor ekonomi yang dapat mempercapat timbulnya ekonomi uang di pedalaman.
         Beban yang di pikul oleh pemilik tanah dalam STP menjadi sangat berat sehingga ada kecendrungan untuk menyerahkan pengusahaan tanah kepada desa atau warga yang lain. Timbullah pula banyak tanah komunal dalam proses itu. Hak milik tanah sejak adanya STP juga diperlemah oleh kejadian-kejadian di Jawa Tengah, yaitu perang Diponegoro. Di Kedu, Semarang, dan Jepara banyak daerah di kosongkan dan penghuni baru datang bermukiman. Bebean berat seperti untuk pengankutan dalam peperangan, bagi rakyat Tegal dan Pekalongan mengakibatkan dislokasi penduduk desa. Kejadian-kejadia itu mempengaruhi struktur masyarakat pedesaan pada umumnya dan pemilik tanah pada khususnya. Banyak hak-hak atas tnah jatuh ketangan penghuni baru. Di daerah di sekitar pabrik gula timbul pula pergeseran milik tanah, sebab sebagai pengganti tanah yang dipakai untuk tanaman tebu di dekat pabrik.
            Kemudian pembayaran plantloon (upah tanam) sehabis menyerahkan hasil tanaman wajib dapat dipandang sebagai penukaran tenaga dengan uang, suatu langkah ke arah pembebasan tenaga dari ikatan tradisional. Dan secara sinkronis dapat kita lihat bahwa telah berkembang di Indonesia suatu lalu lintas uang dan pasaran tenaga sehingga lebih terbuka kemungkinan untuk mrngubah ekonomi politik di daerah jajahan sesuai dengan prinsip-prinsip liberalisme. Sudah ada langkah-langkah dan tanda-tanda kearah perubahan struktur dari cara produksi, antara lain perjuangan idiologis untuk membebaskan tenaga kultur dan pemakaian tanah, penyusunan sistem perundang-undangan yang sesuai dengan hal tersebut, merubah sistem agraris dan feodal dari masyarakat pribumi. Dalam perkembangan politik Nederland yaitu kira-kira pertengahan abad ke XIX kaum borjuis atau kelas menengah memegang peranan penting, terutama dalam memberi dasar hukum bagi suatu pemerintah daerah jajahan.
         Sistem Tanam Paksa dijalankan berdasarkan Regering Reglement dari Van De Bosch (1836) masih ada di bawah Otoritas Gubernur Jendral yang telah dapat mandat dari raja Belanda. Kecaman-kecaman dari oposisi kolonial, yang di pelopori oleh Van Hoevell terhadap STP dengan segala penyimpangan dan penyalahgunaanya, kemudian di susul oleh Douwes Dekker dengan Max Havelaar mereka mempercepat penghapusan STP, karena keuntungan dari ekspor digunakan untuk kepentingan pemerintah kolonial, dan menyebabkan buruknya perekonomian terhadap rakyat. Selain itu banyak rakyat yang menderita karena beban pekerjaan yang berat diletakkan di atas pundak rakyat serta penanaman tanaman-tanaman di atas yang kurang cocok dan sebagainya.
         Buruknya perekonomian tersebut mula-mula terlihat di daerah Cirebon pada tahun 1843 ketika pemerintah kolonial berusaha untuk mengekspor beras yang dihasilkan para petani. Suatu perusahaan yang ditunjuk pemerintah kolonial ditugaskan untuk memungut pajak dari petani yang harus dibayar dengan beras. Karena penanaman padi di daerah Cirebon relatif sedikit dibanding dengan penanaman tanaman dagang seperti kopi, gula dan nila serta teh, maka pemungutan tersebut sangat memberatkan penduduk daerah Cirebon. Keadaan menjadi parah, pada tahun 1843 panen padi di beberapa daerah Pantai Utara Jawa  mengalami kegagalan. Kegagalan panen dan beban pajak beras yang sangat berat mengakibatkan bahaya kelaparan di wilayah Cirebon. Sehingga mengakibatkan ribuan keluarga mengungsi. Banyak orang yang terlampau lemah turut mengungsi dan meninggal di pinggir jalan. Kejadian serupa juga terjadi di daerah Demak pada tahun 1848 dan di daerah Grobogan dua tahun kemudian.
Dan adapun dampak negative STP yang lainnya terhadap masyarakt jawa adalah:
1.      Meluasnya bentuk milik tanah bersama(komunal) tujuannya mempermudah menetapakan target yang harus dicapai oleh masing-masing desa sebagai satu keseluruhan. Hal ini berarti kepastian hukum individu telah lepas.
2.      Meluasnya kekuasaan bupati dan kepala desa yang digunakan pemerintah Belanda sebagai alat organisir masyarakat. Menimbulkan banyak penyelewengan salah satunya dari cultuurprocenten.
3.      Tanah tanah pertanian  yang harus dijadikan untuk tanaman dagang sering melebihi seperlima dari seluruh tanah pertanian di desa.
4.       Disintegrasi struktur sosial masyarakat desa.
          Kemudian dengan pengusutan dan penghapusan Tanam Paksa maka NHM terpaksa menggeser lapangan kegiatannya antar lain dengan mnyediakan modal bagi pengusaha-pengusah swasta yang semakin meningkat jumlahnya. Pada tahun 1869 NHM membiayai 17 pabrik gula, jadi berfungsi sebagai Bank Kultur. Karena sangat menguntungkan, segera di ikuti oleh pihak lain, maka berdirilah Rotterdamsche Bank, N.I. Handelsbank, Crediet en Handelsvereeniging, kesemuanya itu mewujudkan bentuk-bentuk kapitalisme finansial.
Daftar pustaka :
Marwati Joened P. dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV, Balai Pustaka, Jakarta, 1990. hlm. 97.
Katodirdjo sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia. Buku: 1500-1900dari emperium sampai emperium jilid 1. Jakarta: PT Gramedia Graha Utama.

No comments:

Post a Comment