PERLAWANAN KESULTANAN-KESULTANAN BENGKULU MENGHADAPI PEMERINTAH HINDIA BELANDA ABAD KE - 19

RESTU WULANDARI

 

A.  Latar Belakang

Bengkulu atau dulu yang dikenal sebagai Bencoolen, Benkoelen, Bengkulen atau Bangkahulu adalah sebuah wilayah yang terletak di Pulau Sumatera, Indonesia. Di sebelah utara berbatasan dengan Sumatra Barat, di sebelah timur dengan Jambi dan Sumatra Selatan sedangkan di sebelah selatan dengan Lampung. Nama "Bencoolen" diperkirakan diambil dari sebuah nama bukit di Cullen, Skotlandia, Bin of Cullen (atau variasinya, Ben Cullen). Penamaan ini kurang berdasar karena bukanlah tabiat bangsa Melayu untuk menamakan daerahnya dengan nama daerah yang tidak dikenal apalagi asal nama itu dari Skotlandia yang jauh disana. Sumber tradisional menyebutkan bahwa Bengkulu atau Bangkahulu berasal dari kata 'Bangkai' dan 'Hulu' yang maksudnya 'bangkai di hulu'.

Konon menurut cerita, dulu pernah terjadi perang antara kerajaan-kerajaan kecil yang ada di Bengkulu. dan dari pertempuran itu banyak menimbulkan korban dari kedua belak pihak di hulu sungai Bengkulu. Korban-korban perang inilah yang menjadi bangkai tak terkuburkan di hulu sungai tersebut maka tersohorlah sebutan Bangkaihulu yang lama-kelamaan berubah pengucapan menjadi Bangkahulu atau Bengkulu. Penamaan seperti ini mirip dengan kisah perang antara pasukan Majapahit dengan pasukan Pagaruyung di Padang Sibusuk, daerah sekitar bekas wilayah kerajaan Dharmasraya, yang juga mengisahkan bahwa penamaan Padang Sibusuk itu dari korban-korban perang yang membusuk di medan perang.

Di wilayah Bengkulu sekarang pernah berdiri kerajaan-kerajaan yang berdasarkan etnis seperti Kerajaan Sungai Serut, Kerajaan Selebar, Kerajaan Pat Petulai, Kerajaan Balai Buntar, Kerajaan Sungai Lemau, Kerajaan Sekiris, Kerajaan Gedung Agung, dan Kerajaan Marau Riang. Di bawah Kesultanan Banten, mereka menjadi vazal. Sebagian wilayah Bengkulu, juga pernah berada dibawah kekuasaan Kerajaan Inderapura semenjak abad ke-17. British East India Company (EIC) sejak 1685 mendirikan pusat perdagangan lada Bencoolen dan kemudian gudang penyimpanan di tempat yang sekarang menjadi Kota Bengkulu. Saat itu, ekspedisi EIC dipimpin oleh Ralph Ord dan William Cowley untuk mencari pengganti pusat perdagangan lada setelah Pelabuhan Banten jatuh ke tangan VOC, dan EIC dilarang berdagang di sana. Traktat dengan Kerajaan Selebar pada tanggal 12 Juli 1685 mengizinkan Inggris untuk mendirikan benteng dan berbagai gedung perdagangan. Benteng York didirikan tahun 1685 di sekitar muara Sungai Serut. Sejak 1713, dibangun benteng Marlborough (selesai 1719) yang hingga sekarang masih tegak berdiri. Namun demikian, perusahaan ini lama kelamaan menyadari tempat itu tidak menguntungkan karena tidak bisa menghasilkan lada dalam jumlah mencukupi. Sejak dilaksanakannya Perjanjian London pada tahun 1824, Bengkulu diserahkan ke Belanda, dengan imbalan Malaka sekaligus penegasan atas kepemilikan Tumasik/Singapura dan Pulau Belitung). Sejak perjanjian itu Bengkulu menjadi bagian dari Hindia Belanda.

B.  Kerajaan-Kerajaan di Bengkulu

Pada masa sebelum tahun 1685, di wilayah Bengkulu sekarang terdapat beberapa kerajaan kecil, yaitu disamping Kerajaan Empat Petulai, yang juga terkenal dengan Kerajaan Depati Tiang Empat dengan Rajo Depatinya di Pegunungan Bukit Barisan di daerah Rejang Lebong serkarang, ada di bagian pesisir Bengkulu Kerajaan Sungai Serut di Bengkulu, Kerajaan Selebar di daerah Lembak Bengkulu Utara,Kerajan Sungai Lemau di daerah Pondok Kelapa Bengkulu Utara, dan Kerajaan  anak Sungai di daerah Muko-Muko. Kerajaan-kerajaan kecil tersebut, tidak terbentuk suatu Negara dengan kekuasaan mutlak. Kerajaan itu terdiri dari dusun-dusun yang dipimpin oleh seorang kepala yang dipilih oleh para penduduknya dan para kepala dusun secara sukarela menggabungkan diri pada kerajaan, dimana Raja adalah lambang kesatuan. Sebelum Inggris datang ke Bengkulu, di Bengkulu sudah ada Kerajaan-kerajaan yaitu Kerajaan Sungai Serut dan Kerajaan Sungai Lemau. Kerajaan Sungai Serut didirikan oleh Bintang Roano yang terkenal dengan gelar Ratu Agung yang berasal dari Kerajaan Majapahit, sedangkan Kerajaan Sungai Lemau dengan Rajanya Datuk Bagindo Maharaja Sakti yang berasal dari Kerajaan Pagaruyung Sumatera Barat.

Menurut naskah Melayu di pesisir Barat Sumatera terdapat satu kerajaan kecil Sungai Serut yang berkedudukan di sekitar muara Sungai Serut, yaitu mudik kualo air (Sungai) Bengkulu.  Sekarang di sebelah kanan disebut dengan Bengkulu Tinggi.  Sungai Serut adalah sebuah sungai yang cukup panjang dan lebar sehingga memudahkan transportasi ke pedalaman dan membawa hasil hutan ke muara. Raja pertama kerajaan ini adalah Ratu Agung.  Menurut kepercayaan rakyat saat itu, Ratu Agung adalah Dewa dari Gunung Bungkuk yang sakti. Salah seorang dari Ratu Agung yang bernama Putri Gading Cempaka memiliki wajah yang sangat cantik dan menawan hati bagi setiap orang yang memandangnya,  sehingga rona kecantikannya ini tersiar sampai ke Negeri Aceh. Oleh karena kecantikannya ini pulala seorang putra raja Aceh datang untuk meminang Putri Gading Cempaka. Setelah lamaran (pinangan) putra Raja Aceh tersebut diterima oleh Ratu Agung, Putra Raja Aceh Kembali ke Negerinya, akan tetapi ketika Putra Raja Aceh datang lagi ke Kerajaan Sungai Serut untuk melaksanakan pernikahan dengan Putri Gading Cempaka, Ayahanda dari Putri gading Cempaka yaitu Ratu Agung baru saja meninggal dunia. Karena Karajaan Sungai Serut masih  dalam suasana berkabung, rencana pernikahan terpaksa ditolak oleh kakak Putri Gading Cempaka yang bernama Raja Anak Dalam Muaro Bangkahulu yang menggantikan Ayahandanya sebagai Raja Sungai Serut. Mendapat penolakan itu, Raja Aceh sangat tersinggung dan terjadilah perang antara Kerajaan Sungai Serut dengan pasukan Raja Aceh. Dalam perang yang tidak seimbang, karena laskar Raja Aceh lebih banyak dan lebih siap, maka kerajaan Sungai Serut hanya mampu bertahan dengan membuat empang (blokade) ke hulu.

Dengan taktik blokade atau empang ke hulu Sungai Serut, tentara Aceh dapat dikalahkan dan akhirnya kembali ke Aceh. Keberhasilan membuat empang ke hulu inilah yang akhirnya diabadikan menjadi Bangkahulu yang lazimnya disebut masyarakat setempat menjadi Bengkulu. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1615 masehi. Seusai perang, Kerajaan Sungai Serut meninggalkan Kerajaan yang sudah hancur dan pindah ke dusun Rindu Hati dan Gunung Bungkuk. Beberapa tahun kemudian keluarga kerajaan ini turun gunung dan membuat daerah pemukiman baru di Muara Sungai Serut. Putri Gading Cempaka akhirnya menikah dengan Datuk Bagindo Maharajo Sakti dari Kerajaan Pagaruyung Sumatera Barat. Bandar muara sungai serut berganti nama menjadi Bandar Muara Bangkahulu.

Sejak pengaruh dari Kerajaan Banten, agama Islam masuk ke Bengkulu.  Pada abad ke XVII berkembang pula pengaruh dari Kerajaan Aceh dari utara melalui hubungan dagang, terutama perdagangan lada. Jika menilik kepada sejarah Banten yang memberitahukan bahwa Sultan Maulana Hasanuddin (1546-1570), putra Sultan Gunungjati yang kawin dengan Pangeran Ratu Nyawa (putri Sultan Demak), mempunyai seorang putra yang bernama Ratu Agung.  Maka dapat diambil kesimpulan bahwa Ratu Agung tidak berasal dari Majapahit, tetapi sebenarnya dari Banten.  Sebagai seorang pangeran merangkap pedagang, ia mengumpulkan lada di Sungai Serut.  Ia membina satu kerajaan Sungai Serut yang mengumpulkan hasil bumi dari pedalaman, terutama lada untuk Banten. Pendapat ini diperkuat oleh peristiwa bahwa yang menggantikan Sultan Maulana Hasanuddin (raja pertama Banten) bukan putranya Ratu Agung tetapi orang lain.  Usai Sultan Maulana Hasanuddin memimpin, ia digantikan Pangeran Yusup (1570-1580), Muhammad Pangeran Sedangrana (1580-1596), Pangeran Abdul Kadir (1596 – 1651) dan Abdul Fatah Sultan Agung (1951-1682).  Peristiwa pemakaman Ratu Agung secara Islam disebut dalam tambo Bengkulu, karangan Hassan Delais. Di Tambo itu dikatakan, bahwa Bilal, Khatib dan Qadi hadir di wafatnya Ratu Agung.  Beliau di makamkan di Bengkulu Tinggi yang sekarang terkanal dengan nama Keramat Batu Menjolo.

Kerajaan Islam Banten sebagai negara maritim sejak awal abad XVI menduduki tempat penting dalam perdagangan di pantai barat Sumatera.  Bahkan pada akhir abad XVI Banten merupakan bandar besar di sebelah barat Pulau Jawa, sebagai pusat perdagangan internasional, dimana hadir pedagang Portugis, Belanda, Inggris, Arab, Turki, Persi, Cina, Keling, Pegu, Malaya, Bengal, Gujarat dan daerah Nusantara (Bugis, Jawa Melayu dan lain-lain).  Banten sebagai kerajaan pesisir mementingkan pelayaran dan perdagangan di mana raja dan keluarga turut mengambil bagian. Kerajaan Sungai Serut ini diperkirakan muncul pertengahan abah XVI.  Pasalnya Sultan Banten Hasanudin melakukan perjalanan bersama Ratu Balo dan Ki Jongjo ke Lampung, Indrapura, Selebar dan Bengkulu. Sultan Banten Hasanuddin kawin dengan seorang putri dari Sultan Indrapura dan menerima hadiah perkawinan daerah pantai barat Sumatera sejauh Air Itam ke Utara.  Dengan ikatan perkawinan ini, mulailah pengaruh Kerajaan Banten atau daerah pesisir barat Sumatera tersebut.

Masuknya Pengaruh Inggris di Bengkulu

Pada tahun 1682, Belanda (VOC) mampu mengungguli The Honourable East India Company (EIC), khususnya setelah tercapai kesepakatan antara VOC dengan kerajaan Banten mengenai monopoli perdagangan rempah-rempah. Hal ini memaksa EIC keluar dari Jawa dan harus mencari tempat pangkalan baru yang secara politik dan militer dapat menguntungkan mereka dalam perdagangan rempah-rempah. Pada awalnya mereka berkeinginan untuk mendirikan perusahaan dagang di Aceh, namun keinginan ini ditolak oleh Ratu Aceh, Sultana Zaqiyat -ud-udin Inayat Shah. Penolakan ini membuat EIC berpaling ke wilayah lain yang bersedia untuk menerima mereka, yakni Pariaman dan Barus di Sumatera Barat. Keinginan kedua wilayah ini untuk menerima EIC didorong oleh ketakutan terhadap kekuatan Belanda yang sangat agresif. Namun pada akhirnya pilihan EIC jatuh kepada Bengkulu.

Inggris menginjakkan kaki di Bengkulu pada tahun 1685 yang dipimpin oleh Kapten J. Andrew dengan menggunakan 3 buah kapal yang bernama The Caesar, The Resolution dan The Defance. Pelabuhan waktu itu ada di kuala Sungai Bengkulu. Dengan cara terhormat Inggris menyampaikan majksud dan kedatangannya untuk mengadakan kontak perdagangan. Kedatangan Inggris disambut oleh Pangeran Muda atau Depati Bangsa Raja dengan upacara kehormatan. Inggris menghadiahkan kepada Pangeran Muda 8 pucuk meriam yang terdiri dari 4 macam pucuk meriam kecil dan 4 pucuk meriam besar. Pangeran Raja Muda mengadakan suatu naskah perjanjian dengan Kompeni Inggris yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Dalam beberapa pertemuan selanjutnya pihak Inggris memperoleh izin untuk mendirikan faktori di Bengkulu dan menjalin hubungan dagang dengan para penguasa Bengkulu. Pangkalan pertama yang didirikan oleh Inggris di Bengkulu adalah benteng Fort York. Sejak saat itu Inggris menamakan faktori dagang mereka di Bengkulu sebagai Garnizun EIC di Pantai Barat pulau Sumatera (The Honourable East India Company's Garrison on the West Coast of Sumatra).

 Pada tahun 1714 kondisi Fort York menjadi kritis. Bangunan benteng dan barak-barak telah semakin rapuh, dan air hujan secara terus-menerus membasahi ruangan-ruangan tempat tinggal para penghuni. Selain itu, kondisi bahan makanan yang dikonsumsi oleh tentara Inggris sangat buruk sehingga disiplin para prajurit dan pegawai benteng menjadi turun. Berbagai macam penyakit, umumnya disentri dan malaria, telah menyebabkan sebagian besar prajurit garnizun tidak dapat melaksanakan tugas mereka. Joseph Collet yang menjadi pimpinan Garnizun di Bengkulu pada tahun 1712 menarik kesimpulan bahwa Fort York membutuhkan perbaikan-perbaikan besar dan lokasi benteng itu sebenarnya tidak tepat. Oleh sebab itu pada tanggal 27 Februari 1712, Joseph Collet menulis surat kepada Dewan Direksi EIC yang mengusulkan agar membangun benteng baru di tempat yang disebut Carrang. Lokasi Carrang yang diusulkan oleh Joseph Collet terletak sekitar dua mil dari Fort York (orang Bengkulu menyebutnya Ujung Karang). Usul Joseph Collet untuk membangun benteng baru disetujui oleh Dewan Direktur EIC dan pembangunan benteng baru tersebut dimulai pada tahun 1714. Benteng baru yang dibangun di Carrang diberi nama Marlborough. Nama ini dipilih oleh Joseph Collet untuk menghormati John Churchill, seorang komandan ternama Inggris yang pernah memenangkan pertempuran di Blenheim pada tahun 1704, Rammilies pada tahun 1706, Oudenarde pada tahun 1708, dan Malplaquet pada tahun 1709. Atas jasa-jasanya ini John Churchill kemudian diberi gelar Duke of Marlborough. Benteng baru yang dibangun oleh Joseph Collet ini kemudian dikenal dengan nama Fort Marlborough. Pembangunan Fort Marlborough selesai seluruhnya pada tahun 1741.

Kehadiran Inggris di Bengkulu berlangsung selama 140 tahun, yaitu dari tahun 1685 sampai dengan bulan Maret 1825, ketika seluruh kekuatan Inggris meninggalkan Bengkulu. Berakhirnya kehadiran Inggris di Bengkulu adalah disebabkan adanya perjanjian antara Raja Inggris dan Raja Belanda, yang ditanda-tangani pada tanggal 17 Maret 1824. Perjanjian ini oleh pihak Inggris disebut The Anglo-Dutch Treaty of 1824, sedangkan pihak Belanda menyebutnya sebagai Traktat London. Perjanjian ini mengatur pertukaran kekuasaan Inggris di Bengkulu dengan kekuasaan Belanda di Melaka dan Singapura (Singapura pada masa itu merupakan bagian dari kerajaan Melaka).

Berkuasanya Belanda atas Bengkulu

Setelah pelaksanaan serah terima antara pemerintahan jajahan Inggris dan pemerintah jajahan Belanda, pihak pemerintahan Inggris telah menarik semua pajabat-pejabatnya yang menduduki atau menguasai daerah yang berada di bawah pengawasannya, diganti oleh pejabat-pejabat dari pemerintahan jajahan Belanda. Pada waktu itu perdagangan lada sedang menurun. Tindakan pertama yang dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda adalah mengumumkan tentang cara pembelian lada. Terlihat sedikit ada kemajuan dalam perdagangan lada, namun pada pertengahan abad 19 mengalami kemerosotan kembali. Pada tahun 1833, pemerintah Hindia Belanda menggunakan peraturan tanam paksa bagi komoditi kopi. Peraturan tanam paksa ini tidak menunjukkan hasil yang memuaskan, hanya meraih sedikit keuntungan di wilayah Krui. Selanjutnya pada tahun 1870, sistem tanam paksa untuk lada dan kopi dihapuskan. Untuk mengisi kas negara, rakyat dikenai pajak kepala.

Pada tahun 1838 pemerintahan Hindia Belanda belum mengadakan suatu pengamatan penelitian (opname) di Ampat Lawang dan Rejang Musi. Pada tahun 1878 Bengkulu ditingkatkan menjadi Residensi Bengkulu. Sistem pemerintah Hindia Belanda yang bercorak pembagian teritorial sentralisasi dengan pimpinan pegawai negeri, tentu tidak sepenuhnya bercorak sama dengan susunan adat di Bengkulu, sehingga hubuungan antara rakyat kerajaan di Bengkulu dengan orang-orang asing dari pemerintah Hindia Belanda seringkali tidak harmonis dan menjadi buruk hingga menimbulkan berbagai perlawanan melawan pemerintah Hindia Belanda.

C.  Perlawanan Melawan Kekuasaan Belanda

Selama pemerintahan Asisten Residen J.H. Knoerle (1831-1833), posisi elite pribumi Bengkulu semakin terjepit. Dengan diaktifkannya para pegawai Eropa yang menduduki posisi sebagai posthouder, maka kekuasaan para kepala pribumi di wilayah luar ibukota semakin terbatas karena mendapat kontrol yang ketat. Tekanan dan intervensi terhadap kehidupan tradisional elite pribumi semakin dirasakan terutama yang berkaitan dengan lembaga adat yang sudah mapan. Penghapusan gelar kepangeranan, penghapusan hak-hak tradisional para kepala pribumi yang sudah mengakar, serta mereformasi sistem pengadilan tradisional yang sudah mapan, jelas merugikan posisi elite pribumi Bengkulu. Menurutnya, pemakaian gelar pangeran bagi para kepala pribumi Bengkulu tidak perlu diteruskan karena tidak ada fungsinya, serta tidak bermanfaat bagi masyarakat, dan pemerintah Belanda, kecuali gelar regent (bupati), bagi mereka yang telah diangkatnya.

Tampaknya, J.H. Knoerle tidak hanya menghapuskan gelar pangeran kepada penggantinya Pangeran Linggang Alam dari Sungai Lemau, tetapi sekaligus juga memotong tunjangan gaji tetapnya dari f. 706 (termasuk pelepasan haknya atas gelanggang adu ayam sebesar F.106) hingga menjadi f. 200 per bulannya. Selanjutnya semenjak meninggalnya Pangeran Khalipah Ajah (Khalipa Raja) dari Sungai Itam pada bulan September 1829, kekuasaannya sementara dibebankan kepada kedua anak laki-lakinya, sampai keduanya menentukan sendiri siapa di antaranya yang berhak menggantikannya. Demikian halnya dengan Pangeran Sungai Lemau. Tunjangan gaji Pangeran Sungai Lemau juga disunatnya. Gajinya yang semula f. 400 per bulan dipotong hingga menjadi f. 140 per bulan. Sementara itu, gaji para kepala distrik, seperti Kepala Distrik Andalas Sungai Keruh, Kepala Distrik Lima Buah Badak, dan Kepala Distrik Sillebar, hanya mendapatkan gaji sebesar f. 40 per bulan. Kecuali Kepala Distrik Lais, Raden Muhammad Zein, masih mendapat tunjangan gaji sebesar f. 100 per bulannya. Demikian pula dengan penghulu (kepala) orang asing, yaitu Daeng Mabella, yang semula menerima tunjangan bulanan sebesar f. 600, kemudian dipotong hingga menjadi f. 150 per bulan. Akan tetapi setelah Daeng Mabella meninggal dunia, tepatnya pada tanggal 7 Agustus 1832, jabatan penghulu orang asing dibiarkan kosong dengan alasan Daeng Mabella tidak mempunyai keturunan yang sah.

Sementara itu Bupati Muko-Muko, Sultan Khalifatullah Hidayat Syah (Tuanku Seri Maharaja Chalipatullah Indiyat Shah), juga tak luput dari pemangkasan tunjangan bulanannya. Tunjangan bulanannya yang semula diterima sebesar f. 600 perbulan, kini dipangkas menjadi f. 150 per bulan. Bahkan di wilayah Muko-Muko telah di tempatkan seorang controleer yang dibantu oleh 22 orang Opas (polisi Belanda), yang secara tidak langsung juga untuk mengontrol dan mengurangi ruang gerak kekuasaan Sultan Muko-Muko. Nasib Sultan Muko-Muko bahkan lebih tragis dibanding dengan nasib para bupati lainnya (Pangeran Sungai Lemau dan Pangeran Sungai Itam). Laporan de Perez yang disampaikan kepada Dewan Hindia, Komisaris Pemerintah untuk Sumatra di Batavia, menyebutkan bahwa Knoerle telah menurunkan Bupati Muko-Muko, karena dianggap menindas rakyatnya. Bupati Muko-Muko tersebut kemudian di bawa ke ibukota Bengkulu, dan akhirnya meninggal di Bengkulu pada awal tahun 1834.

Posisi para bupati, serta para kepala pribumi lainnya, termasuk anak keturunannya benar-benar mendapat tekanan yang berat selama masa pemerintahan Belanda di bawah kepemimpinan Asisten Residen J.H. Knoerle. Reformasi di bidang hukum (pengadilan) yang dilaksanakan oleh J.H. Knoerle tidak hanya berdampak bagi surutnya pendapatan bagi para kepala pribumi dan anak keturunannya, tetapi juga membawa akibat jatuhnya prestise mereka di dalam masyarakat tradisionalnya. Sebaliknya, J.H. Knoerle menganggap bahwa golongan anak raja (anak keturunan elite pribumi) sangat berbahaya bagi masyarakat, dan merugikan pemerintah Belanda. Dalam sistem pengadilan sebelumnya, golongan anak raja ini selalu lepas dari jeratan tindak pidana kriminal, meskipun telah melakukan pelanggaran tindak kriminal. Oleh sebab itulah, Knoerle lalu menerapkan sistem pengadilan yang keras terhadap mereka. Beberapa dari mereka ada yang terkena vonis hukuman mati, dan dipecat dari pekerjaannya, serta ada pula yang dibuang ke Pulau Jawa.

Tindakan Knoerle yang terlalu keras terhadap para kepala pribumi dan tradisinya ini jelas bertentangan dengan kebijaksanaan politik pemerintah kolonial Belanda itu sendiri. Dalam hal ini, Komisaris Jendral Van Der Capellen pernah menginstruksikan agar para pegawai Eropa memperkokoh posisi para bupati serta mendukung sistem pewarisan jabatannya. Instruksi itu kemudian dituangkan melalui Surat Keputusan Gubernur Batavia tertanggal 21 Desember 1827 Nomor 15. Intinya menganjurkan agar para pegawai Eropa menyambut para bupati dan para kepala pribumi lainnnya dengan ramah-tamah, serta memperlakukan dengan penuh hormat sesuai dengan kedudukan dan jabatannya. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga stabilitas keamanan serta memupuk rasa persahabatan baik dengan para kepala pribumi maupun dengan rakyat bawahannya. Tindakan keras yang dilakukan oleh Knoerle ini juga mendapat kecaman dari Francis, pengganti sementara setelah kematian Knoerle. Menurut Francis, penghapusan lembaga adat daerah, seperti penghapusan gelar kepangeranan, serta hak-hak tradisional para kepala pribumi di Bengkulu, tidak hanya memutuskan ikatan pemerintahan tradisional dengan pemerintah Belanda, tetapi juga akan menimbulkan gejolak sosial. Selanjutnya, Francis juga memberikan komentarnya mengenai penyebab terbunuhnya Asisten Residen Knoerle. Dikatakan, bahwa akibat tindakannya yang terburu-buru itu telah menimbulkan berbagai macam persoalan yang dihadapinya, sehingga Knoerle harus menebus dengan nyawanya.

Posisi para kepala pribumi dan anak keturunannya justru semakin tertekan kehidupan tradisionalnya. Intervensi yang terlalu mendalam dalam kehidupan tradisional para kepala pribumi telah menimbulkan sikap antipati. Sikap antipati para kepala pribumi ini jelas sangat merugikan pemerintah kolonial Belanda dalam rangka eksploitasinya. Akibat intervensi yang terlalu mendalam terhadap kehidupan tradisional para kepala pribumi serta tindakan yang sewenang-wenang itulah yang diduga kuat telah membawa kematian Knoerle. Peristiwa terbunuhnya Asisten Residen Knoerle ini telah mengundang perhatian serius pemerintah pusat Batavia. Komisaris Jendral Van den Bosch selaku peletak dasar dari sistem tanam paksa pun datang ke Bengkulu untuk mempelajari kasus itu. Setelah dipelajari dengan seksama, akhirnya diputuskan untuk tidak akan mengambil tindakan yang kerasterhadap para kepala pribumi dan rakyatnya yang telah terlibat dalam pembunuhan itu. Sebaliknya, van den Bosch menyarankan agar para pegawai Eropa lebih berhati-hati serta bersikap lunak terhadap para kepala pribumi dan penduduk Bengkulu.

Selama tahun 1835, telah terjadi dua kali peristiwa perlawanan rakyat terhadap pemerintah kolonial Belanda. Pertama, terjadi pada bulan Mei oleh rakyat disekitar dusun Tertik yang telah menghancurkan pos keamanan Belanda yang ada di susun Keban. Perlawanan rakyat terus berlanjut hingga bulan Juni. Sikap antipati Radja Malio (Depati Tjinta Mandi) dapat diketahui melalui isi suratnya yang ditujukan kepada Depati Tanjung Erang dan Proatin Benkoeloe Sabha Boekit serta anak-buahnya yang ditulis pada tanggal 26 Juni 1835. Isi suratnya menganjurkan agar tidak bekerja-sama dengan pemerintah kolonial Belanda terutama dalam hal penyediaan tenaga kerja (kuli). Tampaknya anjuran itu cukup serius karena disertai dengan ancaman, bahwa apabila ada diantara mereka yang masih bekerja-sama dengan Belanda, maka akan bermusuhan dengan Depati Tjinta Mandi yang sudah bersepakat dengan para proatin lainnya.

Sistem kontrol langsung yang dilakukan oleh para ambtenar Belanda tidak saja dapat menimbulkan sikap antipati para kepala pribumi, tetapi juga dapat menimbulkan antipati spontan dari penduduk pribumi yang tidak suka ditekan kebebasannya. Insiden terbunuhnya seorang gezag-hebber (penguasa) di Selumah oleh orang-orang Pasyemah yang terkenal sifat kerasnya merupakan salah satu bukti antipati spontan penduduk pribumi terhadap pemerintah kolonial Belanda. Insiden yang menewaskan Tuan Boss itu terjadi pada tanggal 28 Juni 1835, ketika orang-orang Pasyemah yang akan pergi ke Ibukota Bengkulu ditahan di perjalannya oleh Tuan Boss dan akan dirampas senjata mereka. Orang-orang Pasyemah memang terkenal sangat keras sejak zaman Inggris di Bengkulu. Sebagai kelompok preman mereka tidak mempunyai pekerjaan selain sebagai pencuri, penyamun, dan perampok yang selalu disertai dengan tindak kekerasan, bahkan tidak segan-segan melakukan pembunuhan terhadap siapapun yang dianggap menghalanginya. Menurut laporan para kepala pribumi di Selumah, orang-orang Pasyemah di samping telah membunuh Tuan Boss, juga telah merusak dan menyerbu beberapa dusun di Distrik Selumah dan Distrik Talllo. Tindakan brutal yang dilakukan oleh orang-orang Pasyemah itu tidak hanya menimbulkan rasa takut di kalangan pejabat birokrat kolonial saja, tetapi juga di kalangan kepala pribumi dan penduduk pribumi lainnya. Perlawanan rakyat pegunungan suku Rejang terhadap Belanda telah terjadi pada tahun 1838, yang mengakibatkan terbunuhnya Asisten Residen Boogard. Perlawanan rakyat suku Rejang terus berlanjut hingga tahun 1857.  Perlawanan rakyat dari dusun Tumedak, Tertik, Taba Padang, dan Kelilik juga mengakibatkan tewasnya seorang kapten Belanda yang bernama Deleau yang dikenal angkuh bahkan melecehkan penduduk, terutama para kepala dusunnya (Ginde). Disinyalir tokoh yang berada dibalik peristiwa Tumedak diketahui bernama Rajo Alam, Ginde Sebetok, dan Ginde Ubei.

Kebijakan politik kolonial Belanda tentang penerapan sistem pajak kepala (hoodfbelasting) dianggap sebagai pemicu utama timbulnya perlawanan rakyat. Namun demikian, kebijakan politik kolonial Belanda sebelumnya juga memmpunyai andil yang cukup penting dalam memicu gerakan perlawanan anti penjajah. Penghapusan pemerintahan bupati (regentenbestuur) telah mengakibatkan sikap antipati para elite pribumi Bengkulu. Seperti yang terjadi pada Pangeran Muhamad Syah II dari wilayah Sungai Lemau yang telah dibebas tugaskan dari jabatan regent secara resmi melalui Surat Keputusan Pemerintah tertanggal 5 Desember 1861 La Me yang sifatnya rahasia. Pada tanggal 25 Desember 1862, Pangeran Bangsa Negara juga telah dibebastugaskan dari jabatan Regent Sungai Itam melalui Surat Keputusan Pemerintah tertanggal 25 Desember 1862, Surat Rahasia La K. Jabatan Regent Sungai Itam itu tetap dibiarkan kosong, hingga Pangeran Bangsa Negara sendiri telah meninggal pada tanggal 6 Januari 1863. Sultan Takdir Kalipa Tullah Syah. Sultan Muko-Muko pun telah dibebastugaskan dari jabatan regent melalui surat Keputusan Pemerintah Hindia – Belanda tertanggal 22 April 1870 Nomor 41.

Selama tahun 1873, setidaknya tercatat ada dua perstiwa perlawanan rakyat terhadap pemerintah kolonial Belanda. Perlawanan rakyat dari dusun Tanjung Terdana pada bulan April yang dimotori oleh Burniat dan Meradayan nyaris melumpuhkan pusat pemerintahan kolonial Belanda di Fort Marlborough hingga mengancam nyawa Asisten Residen H.C. Humme. Munculnya perlawanan rakyat Tanjung Terdana, selain dipicu oleh pajak kepala hoofdbelasting juga karena kebijakan penghapusan regenten bestuur. Menurut sebuah sumber, peristiwa penyerangan tersebut dilakukan pada tanggal 18 April 1873. Demikian juga perlawanan rakyat dari Bintunan yang dipelopori oleh pasirah Mardjati – yang lebih dikenal dengan nama Ratu Samban. Menurut catatan sejarah, peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 2 September 1873 yang menewaskan Asisten Residen Vam Amstel dan Controleur E.F.W. Castens.

 

DAFTAR PUSTAKA

Burhan, Firdaus. 1988. Bengkulu dalam Sejarah, Jakarta: Yayasan Pengembangan Seni Budaya Nasional Indonesia

Dalip, Achmadin dkk. 1984. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bengkulu. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1982. Seksi Sejarah Perlawanan Terhadap Belanda 1. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional

Sidik, Abdullah. 1990. Sejarah Bengkulu 1500-1990. Jakarta: Malai Pustaka

No comments:

Post a Comment