TRADISI DAN ADAT MASYARAKAT BANGKINANG

Feni Harti/PBM/BI

            Adat adalah aturan-aturan tentang beberapa segi kehidupan manusia yang tumbuh dari usaha orang dalam suatu daerah yang terbentuk di indonesia sebagai kelompok sosial untuk mengatur tata tertib tingkah laku anggota masyarakatnya. Di indonesia, aturan-aturan tentang segi kehidupan manusia itu menjadi aturan hukum yang mengikat dan disebut hukuk adat (Yayasan Kanisius, 1973). Sedangkan adat Riau itu sendiri adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur tingkah laku dan hubungan antara anggota masyarakat dalam segala segi kehidupan. Oleh karena itu, adat merupakan hukum tidak tertulis dan sekaligus sebagai sumber hukum. Sebelum hukuk barat masuk ke indonesia, adat adalah satu-satunya hukum rakyat yang kemudian disempurnakan dengan hukum islam, sehingga disebut "adat bersendikan syarak". Menyatunya adat melayu dengan hukum syarak diperkirakan terjadi setelah islam masuk ke malaka pada akhir abad ke-14, sebagaimana di ungkapkan Tonel (1920)

Bangkinang, ibukota dari kabupaten kampar Riau yang berjarak 60 km dari kota Pekanbaru. Memiliki banyak kontroversi tentang asal usul terbentuknya. Ada yang mengatakan bahwa orang bangkinang berasal dari Sumatera Barat, karena memang Kabupaten Kampar sendiri berbatasan langsung dengan provinsi Sumatera Barat. Pendapat ini dijadikan alasan yang sangat kuat karena budaya, adat istiadat, bahasa, struktur pemerintahan hingga gaya bangunan memiliki kemiripan dengan budaya Sumatera Barat. Selain itu juga ada yang mengatakan bahwa suku Ocu (sebutan untuk orang-orang Bangkinang) berasal dari Melayu daratan. Hal ini disebabkan daerah Riau memiliki persamaan  sifat dan karakteristik yang dimiliki dengan suku Ocu tersebut.
Selain sebuah suku, kata Ocu juga dapat disebut sebagai sebuah bahasa. Yaitu campuran bahasa Melayu dengan bahasa Minang, dan hampir mirip dengan bahasa Kuantan. Ocu juga berarti sebuah wilayah, dan sebutan untuk anak keempat hingga selanjutnya. Anak pertama disebut uwo (yang berarti yang paling tua), anak kedua dipanggil ongah (berarti tengah), anak ketiga dipanggil udo (paling muda). Kata ocu juga menjadi panggilan kebanggaan dan ciri khas dari orang Kampar.
Negeri Kampar juga disebut Negeri Serambi Mekah Riau karena sebagian besar dan bahkan semua masyarakat Kampar memeluk agama Islam. Dan juga pakaian sehari-hari orang kampar adalah pakaian muslim. Kota Bangkinang mendapat julukan sebagai "Kota Beriman" yaitu singkatan dari kota bersih, indah, nyaman. Jika kota Pekanbaru memiliki mesjid Agung Annur sebagai kebanggannya, Bangkinang memiliki ICB (Islamic Center Bangkinang) yang tak kalah megahnya. Mesjid ini berlokasi di jalan Prof. M. Yamin SH yaitu lalu lintas utama yang menghubungkan dua provinsi yaitu Riau dan Sumatera Barat. Islamic Center Bangkinang (ICB) dibangun dengan seni arsitektur timur tengah yang dominan dengan luas area 1,5 hektar. Bangunan yang menjadi icon kota bangkinang ini dibangun atas inisiatif mantan Bupati H. Jefri Nur dan juga partipasi masyarakat bangkinang dan antuasias para pemuda Ocu. Disamping sebagai sarana ibadah ICB juga berperan sebagai taman kota ditengah hiruk pikuknya kesibukan, mesjid ini memberikan kesejukan dan tempat bersantai bagi keluarga.
Kabupaten Kampar terutama Bangkinang memiliki banyak potensi terutama dibidang pertanian dan perikanan. Sebagian besar masyarakat memanfaatkan lahan pertanian, perkebunan, dan kehutanan sebagai tumpuan hidupnya. Mereka biasa menanam kelapa sawitdan karet dan juga membudidayakan ikan patin melalui keramba ( kolam ikan berupa rakit). Dan sebagian kecil bekerja di sektor listrik, gas, dan air bersih.
Bangkinang masih memegang teguh prinsip kekeluargaan dan gotong royong dalam hidup sehari-hari. Seperti pada saat ada acara penikahan , maka para tetangga membantu kegiatan memasak yang dilakukan selama tiga hari sebelum resepsi berlangsung.  Dan jarang sekali masyarakat melakukan "catering" untuk acara-acara tertentu seperti pernikahan dan salamatan. Ada banyak makanan khas dari suku ocu diantaranya ada kue palito daun yaitu kue dengan bahan utama tepung beras, bentuknya persegi, warna bagian atas putih dan diletakkan diatas daun pisang. Dikatakan kue palito daun karena apabila kita buka daun pisang bagian bawah kue ini maka akan tampak seperti sumbu palito. Selain itu juga ada kue jalo dengan bahan utama tepung terigu, bentuknya seperti jalo (jaring) karena dibentuk dengan adonan yang telah masuk kecetakan berbentuk corong yang mempunyai 4-5 corong. Selain keunikan bangunan dan makanan serta prinsip hidup gotong royong, bangkinang juga memiliki ciri khas lain yaitu:
Rumah Lontiok yaitu rumah yang berbentuk melengkung ke atas yang memiliki simbol untuk menghormati Tuhan. Selain bentuknya yang unik rumah ini juga memilki nilai-nilai simbolik. Fungsinya yaitu sebagai tempat berkumpul atau bermusyawarah besar dengan melibatkan ninik mamak dan tokoh masyarakat sekitar. Rumah lontiak berbentuk panggung, yang berfungsi untuk menghindari serangan binatang buas dan terjangan banjir. Dan kolong rumah bagian bawah mempunyai fungsi sebagai kandang ternak, tempat bertukang, tempat bermain anak-anak, dan gudang kayu. Dasar dan dinding rumah berbentuk seperti perahu yang merupakan ciri khas masyarakat kampar, sedangkan atapnya yang lentik (lontiok) merupakan ciri khas arsitektur minangkabau.
Balimau kasai adalah upacara tradisional bagi masyarakat Kabupaten Kampar termasuk Bangkinang. Kasai itu sendiri adalah wangi-wangian yang dipakai untuk keramas yang berisi beberapa jenis bunga tertentu, daun-daunan yang wangi, dan jeruk limau. Balimau kasai dipercaya dapat membersihkan diri dari sifat-sifat buruk sebelum melakukan ibadah puasa. Acara ini dilakukan sehari sebelum mamasuki bulan puasa dan juga dilakukannya acara ini sebagai ungkapan rasa syukur karna dapat menyambut bulan puasa lagi. Tradisi ini sudah berlangsung berabad-abad yang lalu, sejak daerah ini masih berbentuk kerajaan. Tradisi ini dipercaya bermula dari kebiasaan raja pelalawan dalam menyambut bulan ramadhan. Masyarakat kampar menganggap bahwa tradisi ini merupakan pencampuran dari Hindu-Islam yang telah ada sejak kerajaan muara takus berkuasa. Tradisi ini memiliki keistimewaan adat yang sakral. Masyarakat berbondong-bondong menuju sungai untuk melakukan ritual balimau kasai tersebut. Dan sebelum ritual tersebut dimulai diawali dengan makan bersama yang disebut juga "makan majamba".
Hari rayo onam (hari raya enam) merupakan hari raya setelah melaksanakan puasa enam hari di bulan syawal atau tepatnya pada tanggal 7 syawal. Hari raya ini oleh masyarakat setempat merupakan hari berbagi dan bersilaturrahmi antar sesama baik masyarakat sekitar maupun para perantau yang telah lama meninggalkan kampung. Pada perayaan ini semua perantau diwajibkan pulang ke kampung dengan membawa serta seluruh anggota keluarga untuk diperkenalkan ke warga kampung. Tradisi ini setiap tahunnya selalu diisi dengan berbagai kegiatan seperti mengarak-arak anak yatim menuju pinggiran sungai, sesampainya di pinggir sungai kemudian diadakan makan bersama anak yatim, seluruh warga dan warga perantau. Setelah acara jamuan selesai kemudian dilanjutkan dengan pesta rakyat seperti pacu goni, panjat pinang dan tarik tambang bagi pemuda-pemudi untuk mempererat tali persaudaraan antar sesama. Di beberapa daerah seperti di kecamatan bangkinang seberang, bangkinang tambang, dan bangkinang barat, serta daerah lainnya melakukan ziarah kubur, dan ziarah kubur hanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Mereka mempercayai bahwa orang yang telah meninggal masih mempunyai hubungan dengan orang-orang yang masih hidup terutama orang dekatnya seperti anak-anak dan keluarganya. Ziarah kubur bertujuan untuk mendoakan arwah orang yang telah meninggal dunia agar jiwanya merasa tenang dan tentram di alam kubur. Ziarah kubur merupakan anjuran dari Nabi Muhamad SAW, karena dengan memberikan doa kepada mereka yang telah meninggal dapat memberikan perlindungan pada arwahnya serta sebagai pengingat bagi kita yang masih hidup supaya selalu meningkatkan keimanan kita kepada Allah, seolah-olah kita akan mati esok hari.
Kota serambi mekahnya Riau ini juga menyimpan sejuta pesona keindahan alamnya, salah satunya adalah objek wisata Bukit Naang yang berjarak  8 dari kota bangkinang. Disana kita akan disuguhi pemandangan alam yang asri dan sejuk karena banyak pepohonan yang rindang mengelilinginya. Dikawasan bukit naang kita akan disuguhi beberapa permainanan yang dapat dimainkan bersama keluarga ataupun teman. Seperti Flyaing fox area, kabarnya flying fox ini yang terpanjang di sumatera yaitu 280 m. Dalam permainan ini kita akan didampingi oleh beberapa instruktur dan dilengkapi juga dengan safety tool yang disediakan oleh pengelola, ATV track, berkuda, paintball area yaitu permainan perang-perangan layaknya seorang prajurit. Tak hanya itu, tempat wisata ini juga dilengkapi dengan waterpark area. Disini kita bisa bisa menyegarkan diri dengan berenang ditengah cuaca yang cukup panas. Wisata alam Bukit naang ini bisa menjadi destinasi wisata saat santai, selain banyak arena permainan juga dilengkapi dengan fasilitas umum seperti mushola, area parkir yang luas, dan restoran.
Daftar pustaka
(1)   De Saputra T. Syahrial., (1998), Pengetahuan, Sikap, Keyakinan Dan Perilaku Genarasi Muda Berkenaan Dengan Pewarisan Tradisional Daerah Riau, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
(2)   Luthfi. A., (1992), pola hukum kewarisan adat dan hak ulayat daerah kampar, yayasan lembaga studi dan pengembangan masyarakat kampar Pemda tingkat ll
(3)   Soekmono, R., (1973), pengantar sejarah kebudayaan indonesia 2, yogyakarta: kanisius



No comments:

Post a Comment