SEJARAH KESULTANAN SIAK


ANISA MUTIARA PRIYADI/SR

            Sebelum abad 16  wilayah siak masih termasuk daerah taklukan Kesultanan Malaka hingga tahun 1511, dan  sekitar tahun 1625 Kerajaan Aceh semasa Iskandar Muda untuk daerah Bintan masuk kedalam kekuasannya, sehingga Siak  belum tumbuh sebagai Kesultanan yang cukup kuat, sehingga daerah tersebut sebelum tahun 1641  masih berada pada naungan Kesultanan Aceh atau setidaknya masih dalam lindungan Kesultanan Aceh sama seperti halnya dengan Kampar dan Inderagiri. Selain itu peranan Kesultanan Aceh masih dominan sampai tahun 1641. Sedangkan Siak baru berdiri tahun 1708, semenjak Kesultanan Aceh memudar mulai timbul kerajaan Islam yang baru di Pulau Sumatera, rata-rata para pemimpin di sekitar kekuasaan Kesultanan Aceh berasal dari Aceh yang dimana para Panglima Aceh mengambil keuntungan semenjak kekuasaan Aceh meredup.

            Hubungannya Siak berdiri setelah supermasi/keuasaan Kesultanan Aceh sudah memudar selain itu Belanda mengadakan  perjanjian dengan Kesultanan Malaka pada1637 dan berhasil merebut Kota Malaka dari tangan Portugis dan mengusirnya, tahun1642, tapi Belanda mengingkari perjanjian yang telah disepakati,  dan Belanda mendirikan Benteng dengan persenjataan lengkap. Sebenarnya Kesultanan Siak masih merupakan lanjutan Kesultanan Malaka walaupun penerus tahta Kesultanan Siak  berasal dari selir Sultan Mahmud Syah , setelah mangkat Beliau tidak memiliki putera mahkota dari permaisuri melainkan dari selir Sultan, akibat gejolak poltik dan adanya kepentingan Datuk Bendahara setelah mengkanya Sultan, semasa Datuk Bendahara dengan gelar  Sultan Abdul Jalil Ria'yat Syah memindahkan ibukota dari Johor ke Kepulauan Riau, Bintan.
             Kemudian Raja Kecil melarikan diri ke Pagaruyung, Minangkabau akibat pergolakan politik tersebut. Pada tahun 1708 Sultan Abdul Jalil Riayat Syah memindahkan  ibukota Johor ke Bintan, Kepri.  Setelah dewasa Raja Kecil di daulat menjadi Sultan di Bengkalis dan melakukan penyerbuan terhadap Sultan Abdul Jalil dan akhirnya kalah sehingga menyerahkan kekuasaannya kepada Raja Kecil, Dalam Syair Perang Siak, Raja Kecil putra Pagaruyung, didaulat menjadi penguasa Siak atas mufakat masyarakat di Bengkalis, sekaligus melepaskan Siak dari pengaruh Johor.
            Sementara Raja Kecil dalam Hikayat Siak disebut juga dengan sang pengelana pewaris Sultan Johor yang kalah dalam perebutan kekuasaan. Berdasarkan korespodensi Sultan Indermasyah Yang Dipertuan Pagaruyung dengan Gubernur Jenderal Belanda di Melaka waktu itu, menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil merupakan saudaranya yang diutus untuk urusan dagang dengan pihak VOC. Kemudian Sultan Abdul Jalil dalam suratnya tersendiri, yang ditujukan kepada pihak Belanda menyebut dirinya sebagai Raja Kecil dari Pagaruyung, akan menuntut balas atas kematian Sultan Johor.  Sebelumnya dari catatan Belanda, telah mencatat pada tahun 1674, ada datang utusan dari Johor untuk mencari bantuan bagi raja Minangkabau berperang melawan raja Jambi.
            Dalam salah satu versi Sulalatus Salatin juga menceritakan tentang bagaimana hebatnya serangan Jambi ke Johor (1673), yang mengakibatkan hancurnya pusat pemerintahan Johor, yang sebelumnya juga telah dihancurkan oleh Portugis dan Aceh. Kemudian berdasarkan surat dari raja Jambi, Sultan Ingalaga kepada VOC pada tahun 1694, menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil dari Pagaruyung. Hadir menjadi saksi perdamaian dari perselisihan mereka  Pada tahun 1718 Sultan Abdul Jalil berhasil menguasai Kesultanan Johor sekaligus mengukuhkan dirinya sebagai Sultan Johor dengan gelar Yang Dipertuan Besar Johor, namun pada tahun 1722 terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Raja Sulaiman anak Bendahara Johor, yang juga menuntut hak atas tahta Johor, dibantu oleh pasukan bayaran dari Bugis.
            Akhir dari peperangan ini, Raja Sulaiman mengukuhkan diri menjadi penguasa Johor di pedalaman Johor, sementara Sultan Abdul Jalil, pindah ke Bintan dan kemudian tahun 1723 membangun pusat pemerintahan baru di sehiliran Sungai Siak dengan nama Siak Sri Inderapura. Sementara pusat pemerintahan Johor yang sebelumnya berada sekitar muara Sungai Johor ditinggalkan begitu saja, dan menjadi status quo dari masing-masing penguasa yang bertikai tersebut. Sedangkan klaim Raja Kecil sebagai pewaris sah tahta Johor diakui oleh komunitas Orang Laut, kelompok masyarakat yang bermukim pada kawasan kepulauan membentang dari timur Sumatera sampai ke Lautan Cina Selatan dan loyalitas ini terus bertahan sampai kepada beberapa keturunan Raja Kecil berikutnya.[1]
            Raja Kecil menjadi Sultan dan menetapkan Johor sebagai ibukota kerajaan Melayu sehingga adanya tindakan Raja kecil terhadap Sultan Abdul Jalil adalah Sebagai berikut :
·         Sultan Abdul Jalil dikembalikan fungsinya sebagai Datuk Bendahara
·         Semula Raja Kecil akan mengawini Tengku Tengah kemudian berpindah ke Tengku Komariah, Tengku Tengah merasa dipermalukan oleh Raja Kecil
·         Tidak semua pembesar kerajaan memihak kepada Raja Kecil, karena pusat pemerintahan Riau-Johor dipindahkannya ke Bintan tahun 1719.
·         Raja Kecil menggulingkan Datuk Bendahara kemudian dibunuh oleh Nahkoda Sekam.
            Akibatnya perbuatan Raja Kecil terhadap Keluarga Datuk Bendahara yang tidak Bijak dan adil, serta adanya pejabat pemerintahan Kesultanan tidak menyukai sikap Raja Kecil sehingga Putra Datuk Bendahara meminta bantuan Bugis untuk menggulingkan Raja Kecil, Pasukan Gabungan (Bugis dan Datuk Bendahara) melakukan pertempuran di Pulau Pengujan,Bayan,Penyengat dan Tanjung Bemban. Sehingga Raja Kecil melarikan diri ke Siak. Dan akhirnya mendirikan Kerajaan Siak sedangkan di Bintan Sultan Suleiman menjadi Raja Melayu bergelar Sultan Suleiman Badrul Alamsyah sebagai hadiah terhadap orang-orang Bugis maka Sultan memberikan mereka kedudukan sebagai Yang Dipertuan Muda Riau.
            Setelah Raja Kecil (Sultan Abdul Jalil Rahkmat Syah)  mangkat/wafat tahun 1746 klaim atas Johor telah memudar digantikan  penerusnya yaitu Sultan Muhammad Abdul Jalil Muzaffar Syah(1765)  memindahkan Ibukota Kerajaan dari Buantan  ke Mempura, selain itu Belanda melalui kongsi dagang VOC mendirikan kantor dagang(Lodge) di Pulau Guntung, muara sungai siak. pada tahun 1760 Belanda kalah sewaktu pertempuran di Pulau Guntung dan melarikan diri ke Malaka dengan cara Sultan mengirimkan surat kepada Belanda untuk berkerjasama dan memberi hadiah didalam Loji Sultan dan pasukannya menyerang secara mendadak kepada orang Belanda, selain itu Belanda merasa daerah Pulau Guntung tidak strategis untuk perdagangan monopoli dan melarikan diri ke Malaka, Setelah Sultan Abdul Jalil Muzaffar Syah wafat (1746-1765)digantikan oleh Tengku Ismail tapi di Johor Tengku Alam berkerjasama merebut Tahta Kerajaan Siak dengan bantuan Belanda,tapi dalam pertempuran Pasukan Siak berhasil mengalahkan Belanda sehingga Tengku Alam mengirimkan Surat kepada Siak agar perang dihentikan, pada tahun 1766 Tengku Alam memindahkan  Pusat Pemerintahan  Siak ke Senapelan pada  tahun 1767 karena campur tangan Belanda sangat kuat di Mempura.
            Muncul dualisme kepemimpinan di kerajaan ini yang awalnya tanpa ada pertentangan di antara mereka, Raja Muhammad Ali, yang lebih disukai Belanda, kemudian menjadi Sultan Siak, sementara sepupunya Raja Ismail (Sultan Abdul Jalil Jalaludin Syah (1766), tidak disukai oleh Belanda, muncul sebagai Raja Laut, menguasai perairan timur Sumatera sampai ke Lautan Cina Selatan, membangun kekuatan di gugusan Pulau Tujuh. Sekitar tahun 1767, Raja Ismail, telah menjadi duplikasi dari Raja Kecil, didukung oleh Orang Laut, terus menunjukan dominasinya di kawasan perairan timur Sumatera, dengan mulai mengontrol perdagangan timah di Pulau Bangka, kemudian menaklukan Mempawah di Kalimantan Barat. Sebelumnya Raja Ismail juga turut membantu Terengganu menaklukan Kelantan.
            Hubungan ini kemudian diperkuat oleh adanya ikatan perkawinan antara Raja Ismail dengan saudara perempuan Sultan Terengganu. Pengaruh Raja Ismail di kawasan Melayu sangat signifikan mulai dari Terengganu, Jambi dan Palembang. Laporan Belanda menyebutkan Palembang telah membayar 3000 ringgit kepada Raja Ismail agar jalur pelayarannya aman dari gangguan, sementara Hikayat Siak menceritakan tentang kemeriahan sambutan yang diterima oleh Raja Ismail sewaktu kedatangannya ke Palembang.Pada abad ke-18 Kesultanan Siak telah menjadi kekuatan yang dominan di pesisir timur Sumatera. Tahun 1780 Kesultanan Siak menaklukkan daerah Langkat, dan menjadikan wilayah tersebut dalam pengawasannya, termasuk wilayah Deli dan Serdang.[2]
            Di bawah ikatan perjanjian kerjasama dengan VOC, pada tahun 1784 Kesultanan Siak membantu VOC menyerang dan menundukkan Selangor, sebelumnya mereka telah bekerjasama memadamkan pemberontakan Raja Haji Fisabilillah di Pulau Penyengat.  Kesultanan Siak Sri Inderapura mengambil keuntungan atas pengawasan perdagangan melalui Selat Melaka serta kemampuan mengendalikan para perompak di kawasan tersebut.  Kemajuan perekonomian Siak terlihat dari catatan Belanda yang menyebutkan pada tahun 1783, ada sekitar 171 kapal dagang dari Siak menuju Malaka. Siak menjadi kawasan segitiga perdagangan antara Belanda di Malaka dan Inggris di Pulau Pinang.                             
            Pada tahun 1784 Sultan Yahya memindahkan Pusat Pemerintahan ke Mempura dengan alasan Tengku Said Ali putra dari Sayed Oesman berambisi menjadi Sultan Siak, Tengku Said Ali berhasil merebut tahta kerajaan dengan gelar Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syafiuddin Baalawi dengan memindahkan ibukota ke Mempura. Namun disisi lain kejayaan Siak ini memberi kecemburuan pada keturunan Yang Dipertuan Muda terutama setelah hilangnya kekuasaan mereka pada kawasan Kepulauan Riau. Sikap ketidaksukaan dan permusuhan terhadap Sultan Siak, terlihat dalam Tuhfat al-Nafis, di mana dalam deskripsi ceritanya mereka mengambarkan Sultan Siak sebagai orang yang rakus akan kekayaan dunia.  Peranan Sungai Siak sebagai bagian kawasan inti dari kerajaan ini berpengaruh besar terhadap kemajuan perekonomian Siak Sri Inderapura. Sungai Siak merupakan kawasan pengumpulan berbagai produk perdagangan, mulai dari kapur barus, benzoar bahkan timah dan emas.
            Sementara pada saat bersamaan masyarakat Siak juga telah menjadi eksportir kayu yang utama di Selat Malaka serta salah satu kawasan industri kayu terutama untuk pembuatan kapal maupun untuk bangunan. Dengan cadangan kayu yang berlimpah, pada tahun 1775 Belanda mengizinkan kapal-kapal Siak mendapat akses langsung kepada sumber beras dan garam di Pulau Jawa, tanpa harus membayar kompensasi kepada VOC namun tentu dengan syarat Belanda juga diberikan akses langsung kepada sumber kayu di Siak, yang mereka sebut sebagai kawasan hutan hujan yang tidak berujung.
            Dominasi Kesultanan Siak terhadap wilayah pesisir pantai timur Sumatera dan Semenanjung Malaya cukup signifikan, mereka mampu mengantikan pengaruh Johor sebelumnya atas penguasaan jalur perdagangan, selain itu Kesultanan Siak juga muncul sebagai pemegang kunci ke dataran tinggi Minangkabau, melalui tiga sungai utama yaitu Siak, Kampar, dan Kuantan, yang sebelumnya telah menjadi kunci bagi kejayaan Malaka. Namun demikian kemajuan perekonomian Siak memudar seiring dengan munculnya gejolak di pedalaman Minangkabau yang dikenal dengan Perang Padri. Ekspansi kolonialisasi Belanda ke kawasan timur Pulau Sumatera tidak mampu dihadang oleh Kesultanan Siak, dimulai dengan lepasnya Kesultanan Deli, Kesultanan Asahan dan Kesultanan Langkat, kemudian muncul Inderagiri sebagai kawasan mandiri.
            Begitu juga di Johor kembali didudukan seorang sultan dari keturunan Tumenggung Johor, yang berada dalam perlindungan Inggris di Singapura. Sementara Belanda memulihkan kedudukan Yang Dipertuan Muda di Pulau Penyengat dan kemudian mendirikan Kesultanan Lingga di Pulau Lingga. Selain itu Belanda juga mempersempit wilayah kedaulatan Siak, dengan mendirikan Residentie Riouw pemerintahan Hindia-Belanda yang berkedudukan di Tanjung Pinang. Pada tanggal 31 Agustus 1818 Siak sewaktu Teraktat London diperebutkan oleh kedua belah pihak yaitu Inggris-Belanda dengan perjanjian antara Sultan Siak dengan Inggris di boikotnya Belanda dengan perjanjian Sultan dengan Belanda tahun 1822 yang isinya Siak tidak boleh mengadakan hubungan dagang dengan Negara lain. Perjanjian Inggris dengan Siak tahun 1823 yang mengancam Sultan jangan mau mengikuti permintaan Belanda tahun 1822.[3]
            Pada tanggal 10 februari 1858 perjanjian Sultan dengan Belanda yang disebut Traktat Siak yang isinya Kerajaan Siak dan taklukannya berada di bawah Kerajaan Belanda. Pada tanggal 25 oktober 1891 ditandatangani Kontrak Politik baru dengan Belanda yang berisi tentang pengaturan batas wilayah kekuasaan Kerajaan Siak semasa Sultan Siak ke 11 yaitu Sultan Syarif Hasyim. Disamping Traktat Siak ada juga Traktat Sumatera yang dimana Belanda pada masa itu mengira daerah Kampar dan Inderagiri masuk daerah kekuasaan Kesultanan Siak tapi sebenarnya daerah tersebut masih masuk daerah Kekuasaan Kesultanan Aceh atau setidaknya masih termasuk daerah lindungan Kesultanan Aceh secara langsung maupun tidak langsung. Pada tahun 1897 Syarif Hasyim menghadiri penobatan Ratu Wilhelmina di Belanda dan diberi gelar Rider In de Orde van deNederlandse Leuw, selain itu mendirikan Istana Assirayatul Hasyimiah (Istana Matahari Timur) oleh arsitek berkebangsaan Jerman. Arsitektur bangunan merupakan gabungan antara arsitektur Melayu, Arab, Eropa.[4]
DAFTAR PUSTAKA
[1] Maleha Aziz, 1984. Latar Belakang Pembangunan Istana Kerajaan Siak Sri   Indrapura, Pekanbaru.
[2] Tenas Efendi, 1993. Lintasan Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura, BPKD Riau, Pekanbaru.

           

No comments:

Post a Comment