PERKEMBANGAN ISLAM DI TUNISIA (AFRIKA UTARA)


ALFY FERISSA / PIS / B

1.        ISLAM DI AFRIKA UTARA
Afrika Utara merupakan daerah yang sangat penting bagi penyebaran agama Islam di daratan Eropa. Ia menjadi pintu gerbang masuknya Islam yang selam berabad-abad berada dibawah kekuasaan Kristen sekaligus 'benteng pertahanan' Islam untuk wilayah tersebut. Menurut defenisi PBB Negara Afrika Utara terdiri dari: Aljazair, Libya, Maroko, Mesir, Sahara Barat, Sudan, Tunisia. Selain itu terdiri dari Mauritania, Ethiopia, Eritrea.

Afrika Utara merupakan pintu gerbang penyebaran Islam ke Eropa. Dari Afrika Utara lalu ke Spanyol yang termasuk benua Eropa. Penyebaran Islam ke Afrika Utara sudah dimulai sejak khulafaurrasyidin, yaitu pada masa Umar bin Khattab. Pada tahun 640 M Panglima Amr bin Ash berhasil memasuki Mesir. Kemudian pada khalifah Uthman bin Affan penyebaran Islam meluas ke Barqah dan Tripoli. 
2.        SEJARAH TUNISIA
Tunisia adalah negara kecil yang terletak di kawasan Afrika Utara. Tunisia juga merupakan negara Islam. Negara yang bersebelahan dengan Al-Jazair dan Libya ini pernah dijajah oleh prancis selama kurang lebih 75 tahun. Ibnu Khaldun, Khairuddin At-Tunisi, Muhammad Thalbi, Rachid Ghannouchi[1]
Tunisia adalah salah satu negara berpenduduk mayoritas muslim di belahan bumi bagian Afrika Utara. Dalam sejarah peradaban Islam, negara kecil ini memiliki peran yang sangat signifikan, terutama dalam penyebaran dan pengembangan agama Islam di Eropa karena letaknya yang secara geografis sangat strategis. Ia adalah penghubung antara negara-negara Timur dengan negara-negara Eropa dan merupakan pintu masuk bagi pengembangan dakwah Islam ke Eropa melalui Spanyol. Pada masa bani Umayah, setengah abad setelah hijrahnya nabi Muhammad Saw ke Madinah, Mu'awiyah telah mengirim 'Uqbah bin Nafi' ke Kairawan di bagian selatan Tunisia untuk melakukan ekspansi, dan setelah berhasil dalam misinya tersebut, ia pun diangkat sebagai Gubernur dan mendirikan kota dan masjid yang diberi nama sesuai dengan namanya dan menjadikan Kairawan sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam di Afrika.[2]
Pada abad ke-18 eropa sedang mengalami masa Renaissance. Semangat imperialisme dan kapitalisme mulai di sebarluaskan ke seluruh wilayah di dunia termasuk negara-negara islam di Afrika Utara. Kerajaan Turki Utsmani hanya berkonsentrasi pada perluasan wilayah kekuasaannya sehingga kemajuannya menitik beratkan pada bidang militer. Maka perkembangan di bidang filsafat dan sains mulai mengalami stagnan sehingga tidak menghasilkan ilmuan muslim baru. Kondisi inilah yang di manfaatkan oleh eropa untuk masuk ke dunia islam dan menyakinkan bahwa dunia islam membutuhkan pembaharuan untuk kemajuan dunia islam.
Pada tahun 1820 kondisi Tunisia memang tidak menguntungkan bagi rakyatnya. Keadilan ke zaliman terjadi secara kebetulan tergantung siapa yang memegang posisi jabatan itu. Jika gubernur yang memerintah adalah seseorang yang adil, maka rakyat merasakan keadila. Namun, jika gubernur yang memerintah itu adalah seseorang yang tidak adil, maka rakyat merasakan ketidakadilan itu. Selain itu Tunisia masih menggunakan teknologi sehingga perekonomiannya mengalami ketertinggalan. Kondisi inilah yang membuat Khairuddin At-Tunisi ingin melakukan perbaikan dalam pemerintahan Tunisia.
3.    PEMIKIR ISLAM DI TUNISIA
a.       Khairuddin At-Tunisi
Khairuddin At-Tunisi bukanlah orang Tunisia dan bukanlah seorang pemikir tulen. Secara genealogis, Khairuddin adalah seorang kaukasus berdarah Sdyarkasy, sebuah provinsi Rusia di Asia Tengah.
Khairuddin menuangkan gagasan pemikirannya ke dalam buku yang berjudul Aqwam al-Masalik fi Ma'rifati Ahwal al-Mamalik( saya mengetahui kondisi pemerintah atau kerajaan ). Kemudian di terjemahkan ke dalam bahasa prancis dengan judul Revormer Necessaires aux Etats Musulmans. Buku ini memaparkan kondisi berbagai negara Eropa dari segi negara sendiri, administrasi, tatanan hukum, keuangan, dan kekuatan militer. Selain itu, ia juga memaparkan sebab kemunduran kaum muslimin dan upaya membangkitkannya.
Menurut Azzam S. Tamimi, Khairuddin adalah pemimpin abad ke-19 gerakan revormasi di Tunisia. Khairuddin juga di juluki sebagai bapak kebangkitan Tunisia oleh Samir Abu Hamdan. Selain itu Khairuddin juga di juluki sebagai bapak renaissan pertama. Namun tokoh revomis Tunisia ini belum banyak di kaji oleh masyarakat Indonesia yang mayoritasnya adalah umat islam.
b.      Syaikh Muhammad Thahir bin 'Asyur
Muhammad Thahir bin 'Asyur lahir pada 1879 di pantai La Marsa sekitar 20 kilometer dari kota Tunis dalam sebuah keluarga yang cukup terpandang dan berpendidikan di mana kakeknya adalah seorang Hakim, Mufti, Pengawas Baitul Mal sekaligus Anggota Majelis Syura di Maroko dari keturunan imigran muslim Spanyol di Maroko karena kondisi yang memaksa.
Pada 1899 M. syaikh Muhammad Thahir bin 'Asyur muZaitunah. Karirnya dalam mengajar dengan cepat menanjak sehingga pada 1905 ia sudah berada di jajaran pengajar tingkat satu, suatu karir yang sangat sulit dicapai oleh orang lain dalam jangka waktu hanya delapan tahun. Selain itu, sejak 1904 ia juga telah mengajar di As Shadiqiyyah, suatu lembaga pendidikan yang di antara para muridnya  adalah aktivis pembaruan. Pada 1910 ia diangkat sebagai anggota Dewan Reformasi oleh Pemerintah periode pertama dan pada 1924 ia kembali diangkat sebagai anggota Dewan Reformasi untuk periode keduanya.
Pada 1932 ia ditetapkan sebagai Syaik Islam Al Maliki di Az Zaitunah, suatu gelar kehormatan yang belum pernah diberikan oleh siapapun pada waktu itu dan pada bulan September di tahun yang sama ia diangkat sebagai Rektor Az Zaitunah. Jabatan ini kembali dipegangnya pada 1945 dan selanjutnya pada 1956 setelah Tunisia mencapai kemerdekaannya dari Prancis.
Selain di bidang pendidikan, Syaik Muhammad Thahir bin 'Asyur juga berkarir di bidang peradilan di mana sejak 1911 ia sudah menjadi Hakim. Pada 1933 ia ditetapkan sebagai Mufti. Pada 1937 menjadi Ahlus Syura senior.
Berbicara tentang pemikiran pembaruan Ibn 'Asyur tentu tidak terlepas dari pengaruh pemikiran pembaruan sebelumnya dan yang semasa dengannya karena masa di mana Ibn 'Asyur hidup adalah masa-masa hangatnya ide-ide pembaruan dikumandangkan di Tunisia baik oleh pendahulunya, Khairuddin at-Tunisi yang telah diuraikan sebelumnya maupun oleh para-para pembaru Islam lainnya, terutama oleh Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh yang dilanjutkan oleh muridnya Muhammad Rasyid Ridla. Kalau tentang pembaruan Khairuddin telah diuraikan di atas, berikut ini akan dijelaskan sejauh mana ide-ide pembaruan sebelumnya dan yang semasa dengan Ibn 'Asyur berpengaruh pada pemikiran pembaruan Ibn 'Asyur ini.
Sebagaimana telah diketahui bahwa Tunisia merupakan titik temu peradaban dan penghubung antara dunia Timur (baca: Islam) dan Barat karena lokasinya yang strategis. Oleh karena itu pada masa Ibn 'Asyur, pemikiran pembaruan Islam telah menjadi buah bibir dan objek diskusi umat Islam di Tunisia. Hal ini bisa dilihat dari intensitas hubungan antara para modernis Islam dari berbagai wilayah di sekitarnya, terutama Muhammad Abduh yang telah dua kali mengunjungi Tunisia. Yang pertama pada tahun 1884 selama kurang lebih sebulan lamanya, dan kedua pada tahun 1903 selama 15 hari. Eratnya hubungan Tunisia dengan pembaruan Islam juga nampak dari keikutsertaan umat Islamnya dalam kelompok Al Urwatul Wutsqa pimpinan Jamaluddin Al Afghani. Di antara mereka adalah Muhammad Payram Al Khamis, Muhammad As Sanusi, Syaikh Muhammad an Najjar, Syaikh Salim Bou Hajib, Syaikh Ahmat al Wartani, Syaikh Muhammad at Thahir Ja'far, Syaikh Hasunah Musthafa dan Syadzili ben Furat.

4.        PERKEMBANGAN ISLAM DI TUNISIA PADA SAAT INI
Tunisia mempunyai peranan besar dalam perkembangan islam. Melalui lembaga pendidikan jam'iyah zaitunah, yang kemudian berubah menjadi institute ilmu-ilmu islam, kader-kader ulama dididik dan di latih agar kemudian menjadi ulama besar. Lembaga pendidikan tersebut berada dalam pengarahan dan pengawasan pemerintah Tunisia. Tunisia aktif dalam Organisasi Konfrensi Islam ( OKI ), dan ikut menentukan pengambilan keputusan tentang kebijakan-kebijakan diplomasi Timur Tengah, terutama yang menyangkut konflik di Timur Tengah, khususnyua konflik Palestina dan Israel. 
Kemenangan partai Islam Ennahda dianggap akan membangkitkan gerakan Islamis di wilayah. Pada Tanggal 23 Oktober 2015 Untuk pertama kalinya Tunisia menggelar pemilu bebas. Partai Islam Ennahda dipastikan memenangkan pemilu pertama sejak jatuhnya penguasa Zine El Abidine ben Ali ini. Respon positif datang dari masyarakat internasional atas jalannya pemilu yang dianggap demokratis ini, yang telah berjalan dengan lancar. Akan tetapi kemenangan yang diraih partai Islam Ennahda juga menimbulkan kekhawatiran negara Barat, kekhawatiran bahwa Tunisia akan beralih menjadi negara Islam. Dan juga kekhhawatiran, apakah Ennahda mampu membimbing Tunisia setelah negara ini lepas dari cengkraman diktator.

Daftar Pustaka
-     John L. Esposito- John O.Voll, tokoh kunci gerakan islam kontemporer, Raja Grafindo Persada, 2002
-     Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, buku kedua, Kalam Mulia, 2003, cet. ke-1




[1] Rachid Ghannouci adalah salah satu tokoh gerakan islam (baca: Esposito, John I, et al, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontenporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo,2002). Rachid Ghannouchi telah banyak menulis buku dan artikel, salah satu bukunya mengenai demokrasi (baca: Tamimi, Azzam S, Rachid Ghannouchi: a democrat within Islamism, London: Oxford University Press, 2001).
[2]  Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, buku kedua, (Kalam Mulia, 2003), cet. ke-1, hal 9.

No comments:

Post a Comment